Sedang Membaca
Jangan Pula Merendahkan Beragama ala “Orang-Orang Awam”
Ulil Abshar Abdalla
Penulis Kolom

Founder Ngaji Ihya Online, aktif menulis dan ceramah tentang pemikiran keagaman. Menulis beberapa buku, antara lain Menjadi Manusia Rohani (Alif.ID). Dosen Unusia, Jakarta.

Jangan Pula Merendahkan Beragama ala “Orang-Orang Awam”

Dalam tulisan kemaren, saya menekankan pentingnya beragama secara “ngintelek”. Dalam tulisan itu, saya menjadikan Cak Nur sebagai contoh paradigmatik bagi “beragama yang ngintelek”.

Tetapi, Cak Nur hanya salah satu contoh saja. Sebetulnya, inilah cara beragama yang dikerjakan oleh mereka yang sering disebut “kaum intelektual”.

Tetapi, pertanyaannya: Apakah beragama sebagaimana dikerjakan oleh orang-orang awam memiliki nilai yang rendah, inferior, dan tidak patut dibanggakan? Bagaimana corak keberagamaan yang diperlihatkan oleh para ibu di kampung-kampung yang menjalani agama dengan cara yang sederhana? Apakah “beragama yang tidak ngintelek” seperti ini mesti dinilai rendah?

Di sini, kita dipaksa ulang untuk menelaah kembali, apa yang dimaksudkan dengan “beragama”? Apakah kualitas beragama terkait dengan tingkat pendidikan seseorang? Ataukah beragama terkait dengan suatu kualitas yang jauh lebih dalam ketimbang sekedar titel pendidikan?

Saya akan bercerita tentang dua orang perempuan yang sangat mempengaruhi saya dalam mendefinisikan tindakan “beragama”: yang pertama adalah nenek dari pihak ibu; kedua, ibu saya sendiri, Salamah. Saya biasa memanggil: Emak.

Kedua perempuan itu, di mata saya, memperlihatkan corak beragama yang amat “sederhana”, beragama ala orang-orang awam di dusun, tetapi, saya sungguh percaya bahwa mereka menunjukkan “kualitas beragama” yang tak kalah mendalam ketimbang para penyandang titel doktor. Mereka, menurut saya, memiliki intensitas, kedalaman pengalaman beragama yang mungkin jauh melebihi orang-orang “intelek”.

Baca juga:  Menjiwai Toleransi dan Gotong Royong Melalui “Gugur Gunung”

Nenek dan ibu saya menjalani agama dengan cara yang amat sederhana, tidak dilandasi oleh penalaran yang canggih, keterangan yang njlimet, sebagaimana umumnya orang beragama di mana-mana. Mereka beragama begitu sederhana, dalam cara yang mirip dengan sebuah puisi yang terkenal dari Sapardi Djoko Damono itu: seperti “…kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.”

Selain berguru kepada suami mereka masing-masing yang kebetulan seorang kiai kampung, baik nenak maupun ibu saya menggali pengetahuan agama dari dua sumber bacaan yang sederhana: Tafsir al-Ibriz dan Munjiyat, sebuah ringkasan kitab Ihya’ dalam bahasa Jawa yang ditulis oleh Kiai Soleh Darat (Semarang; guru ngajinya Kartini).

Setelah selesai melaksanakan tugas-tugas rutin sebagai ibu rumah tangga pada pagi hingga tengah hari (tugas yang jelas tidak sederhana!), biasanya ibu saya akan beristirahat hingga pukul 2 siang.

Setelah itu, ia (hal yang sama juga dilakukan oleh nenek saya) biasanya akan mengambil kitab yang mulai agak lusuh itu: tafsir al-Ibriz atau Munjiyat. Ia membacanya dengan tekun, dengan penghayatan yang mendalam. Ia tidak buru-buru ingin mengkhatamkan kitab itu. Ia menyelami kata demi kata dalam buku bahasa Jawa dengan huruf pegon. Ibu saya tidak lancara membaca dalam aksara Latin. Literasi yang ia miliki hanya ditempuh melalui satu jalan saja: bahasa Jawa berhuruf pegon.

Begitulah beragama secara sederana sebagaimana dijalani oleh ibu dan nenek saya. Islam sebagai “tradisi pengetahuan”, sebagai “a learned discourse” memang saya peroleh melalui ayah saya yang mengajari saya, selama bertahun-tahun, ilmu-ilmu Islam yang ditulis dalam apa yang disebut dengan “kitab kuning”.

Baca juga:  Nalar Bermatematika, Humor, dan Tantangan ke Depan

Tetapi agama sebagai “experience of individual men in their solitude” (ini istilah dari William James dalam karyanya yang sering dirujuk untuk menggambakran corak beragama yang sederhana, “The Varieties of Religious Experience”), beragama sebagai pengalaman personal dalam perjumpaan dengan Yang Ilahi di ruang yang sunyi; ya, beragama yang seperti ini justru saya peroleh dari nene dan ibu saya.

Dengan kata lain, agama sebagai diskursus pemikiran, saya peroleh dari ayah. Tetapi agama sebagai “pengalaman puitik”, saya dapatkan dari ibu saya yang amat sederhana dan tak lancar membaca aksara Latin itu.

Mengutip kembali William James (saya amat menyukai bukunya itu!), agama sebagaimana tampil dalam kitab-kitab yang tebal dan rumit itu, agama sebagaimana diwakili oleh “birokrasi keagamaan” yang rumit dan bertakik-takik itu, adalah agama pada level sekunder. Sumber yang mendasari praksis beragama sebagai “pengalaman keimanan dan spiritual” berasal dari iman yang sederhana tetapi mendalam itu; iman yang diperlihatkan oleh ibu saya.

Setelah menghabiskan umurnya untuk mempelajari dan mengembangkan sistem teologi dan filsafat, dan terlibat dalam debat selama bertahun-tahun dengan lawan-lawannya, konon Imam Fakhr al-Din al-Razi (w. 1210), pengarang tafsir “raksasa” berjudul “Mafatikh al-Ghaib” itu, konon melontarkan kalimat bernada keluhan di ujung hayatnya, menjelang meninggal. Ia berbisik lirih kepada orang-orang di sekitarnya: Andai aku bisa beragama dengan sederhana seperti beragamanya orang-orang awam itu. Allahumma imanan ka-iman al-du’afa’.

Baca juga:  Syi’ah, Ahlul Bait, dan Sikap Kaum Muslim yang Sewajarnya

Dengan catatan ini, saya hanya ingin menegaskan satu hal: Kaum intelektual dan cendekiawan yang merasa telah mampu merumuskan cara beragama yang “ngintelek”, jangan memandang remeh orang-orang awam, para ibu yang mengikuti pengajian di musalla pada akhir minggu, dan menyanyikan lagu-lagu pujian lewat load-speaker dengan suara yang agak “false”.

Beragama secara “ngintelek” memang perlu dan penting, terutama dalam menghadapi perubahan-perubahan zaman yang makin kompleks sekarang. Tetapi mereka tak boleh pongah dan sombong, memandang remeh cara beragama orang-orang awam di dusun-dusun.

Orang-orang awam itu, dalam hal intensitas keimanan dan pengalaman beragama dalam “solitude”, ruang sunyi yang jauh dari hirup-pikuk “parade sosial”, jangan-jangan justru memiliki kualitas beragama yang jauh lebih mendalam.

Saya, hingga sekarang, masih melihat cara beragama ala ibu saya yang hanya bermodal kitab berbahasa Jawa yang sederhana itu dengan rasa takjub.

Jika anda ingin melihat beragama yang dijalankan dengan ikhlas, dengan intensitas yang mendalam, tanpa pretensi keilmiahan, lihatlah cara beragama emak-emak kita di kampung. That is what religion is all about!

Sekian.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
3
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top