Sedang Membaca
Menghormati Tamu: Antara Orang Madura dan Gus Dur
Mohammad Rifki
Penulis Kolom

Mohammad Rifki, lahir di Sumenep 23 November 1991. Sempat nyantri di PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Kini tinggal di Sumenep Madura.

Menghormati Tamu: Antara Orang Madura dan Gus Dur

Barang kali sampai saat ini masih saja ada orang yang memandang bahwa orang Madura itu suka berperilaku keras nan kasar. Segala persoalan harus diselesaikan dengan hilangnya nyawa (carok), bukan musyawarah. Pandangan demikian, tentu tidak adil, dan sepertinya belum mengenal-menyelami weltanschauung orang Madura yang sebenarnya.

Salah satu sikap luhur orang Madura adalah penghormatan terhadap tamu. Mereka akan salah tingkah jika tamu tiba-tiba datang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Apalagi tamu dimaksud datang dari daerah jauh, teman lama, dan atau kiainya waktu mondok dulu. Repotnya minta ampun; apa baiknya yang harus disuguhkan, bagaimana kalau si tamu itu bermalam, apa gerangan yang layak diberikan nanti sebagai oleh-oleh, dan sebagainya.

Orang Madura akan berlagak sok sempurna di hadapan para tamunya. Walau harus hutang tetangga kanan kiri yang dijadikan suguhan atau oleh-oleh. Karena, tamu di mata orang Madura adalah raja yang layak mendapat penghormatan atau servis yang memuaskan.

Bahkan di beberapa daerah di Madura, penghormatan terhadap tamu, dengan menyuguhkan makanan dan oleh-oleh yang masuk kategori ‘berat’ sudah menjadi tengka.

Suatu aturan tak tertulis yang disepakati adanya untuk dijadikan sebagai bahan acuan atau mengatur bagaimana berinteraksi antarsesama anggota masyarakat.

Misalnya, jika ada hajatan, maka tetangga sebelahnya ikut membantu; jika ada tetangga wafat, tetangga yang sebelahnya pergi melayat; jika ada tetangga menggelar pesta perkawinan, tetangga sebelahnya harus menyumbangkan sedikit uang atau penghasilannya. Inilah yang disebut tengka di dalam tradisi orang Madura.

Baca juga:  Imajinasi Kiai Asyhari Marzuki tentang Perpustakaan

Hal demikian saya alami saat bertandang ke salah satu teman di pulau Giri Raja, Kabupaten Sumenep, ujung timur pulau Madura. Kepada tuan rumah saya memang sengaja tidak memberi kabar terlebih dahulu, hitung-hitung sebagai kejutan karena sudah lama tak bersua. Walau sedikit kaget dengan kedatangan saya yang mendadak ia tetap menyambut penuh kehangatan. Obrolan masa-masa mondok dulu makin menambah gayeng silaturrahmi dadakan sore itu.

Tiba-tiba ia mohon diri ke dalam rumahnya. Saya melihat di samping rumah ia bersama sang istri berusaha menangkap seekor ayam. Dan anak semata wayangnya yang masih kelas empat SD keluar masuk halaman rumah. Menenteng mi instan dan kerupuk, pergi lagi, sudah membawa gula dan kopi. Dalam hati saya berkata; betapa kedatangan saya ini menyusahkan saja.

Betul saja, si empunya rumah menyuguhkan saya ayam goreng dan mi, kerupuk, persis seperti yang dibawa anak tadi. Saya tidak tahu apakah suguhan ini hasil hutang tetangga atau milik pribadi.

Saya pun memutuskan menginap di rumah teman lama ini. Walau saya sadar akan menambah kesibukan bagi tuan rumah. Esok harinya, sehabis salat subuh saya mohon pamit, tapi tak diizinkan oleh tuan rumah sebelum menikmati suguhan ‘pamungkas’. Seperti yang saya duga, kepulangan dari rumah teman lama ini saya mendapat aneka oleh-oleh. Sedang saya, betapa malunya, tak membawa apa-apa hanya modal sebungkus rokok.

Baca juga:  Gus Ali dan Bumi Sholawat

Dengan pengalaman ini saya teringat almarhum Gus Dur. Siapa saja yang datang kepadanya akan disambut dengan senyum dan dekapan penuh kehangatan. Tak peduli apakah tamu yang datang itu beragama Kristen, berasal dari pelosok kampung, golongan berduit, dan lain semacamnya. Selama yang datang bertamu itu manusia Gus Dur akan memperlakukannya serta menghormatinya sebagai manusia, sebagaimana Tuhan juga menghormati bani Adam ini.

Suatu ketika Gus Dur pernah berkata bahwa orang-orang yang bertamu padanya tiada mungkin lepas dari kehendak Allah SWT. Konsekuensi logisnya, mengecewakan atau bahkan menolak tamu sebelum masuk pagar rumah adalah pelecehan terhadap kuasa Allah SWT. Begitu pun sebaliknya.

Dalam catatan KH Husen Muhammad, dalam Sang Zahid Mengarungi Sufisme Gus Dur (2012), Gus Dur belum pernah mengecewakan orang-orang yang bertamu dengan segala macam kepentingan, termasuk soal minta bantuan dana. Suatu ketika, tulis Kiai Husen, seorang temannya bertamu pada Gus Dur.

Dengan menyampaikan perkembangan pesantren yang diasuhnya dan soal kurangnya pendanaan, sampai menyebut angka tertentu. Gus Dur yang tak punya uang berusaha untuk tidak mengecewakan sang tamu dan berkata, “Saya tak punya uang sebesar itu, tapi insya Allah saya akan berusaha mencarikannya”.

Tak heran bila orang-orang yang pernah bertamu kepada Gus Dur merasakan ketenangan, seakan terlepas dari pelbagai persoalan. Itu tak lain karena Gus Dur dengan ikhlas menyuguhkan rasa hormat, cinta, dan empati terhadap tamu-tamunya yang datang.

Baca juga:  Tentang Siluet Negara Islam

Menghormati tamu bukan hanya perkara adab sosial melainkan juga dapat menjadi media aktualisasi akan keimanan kita. Sebagaimana disabdakan Nabi Muhammad SAW bahwa barang siapa seorang Muslim mengaku beriman kepada Allah SWT maka ia harus menghormati tamunya. Gus Dur dan orang Madura sudah mengajarkan akan hal itu. Wallahu ‘alam.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top