2004 adalah tahun yang membuktikan ketangguhan masyarakat Pulau Simeulue menghadapi bencana tsunami. Kearifan lokal yang selalu dituturkan melalui nandong di setiap kesempatan bisa sebagai pengingat warga mengenai adanya ancaman. Smonge, demikian warga menyebutnya, jika alam memberikan sinyal-sinyal bencana.
“Jika ada linon atau gempa maka tidak lama air akan naik, untuk itu segera menuju bukit atau tempat yang tinggi”. Demikian tutur para orang tua dahulu. Karena selalu dituturkan di setiap kesempatan, seperti hajatan warga atau momen-momen tertentu, maka rekaman masyarakat mengenai bahaya gempa cukup kuat.
Tanpa ada yang menginstruksikan, semua orang lari menuju bukit saat gempa terjadi pada 2004. Tak ada korban di pulau ini, padahal bencana besar yang sama telah menewaskan ratusan ribu jiwa di Aceh.
Akan tetapi, bagaimana dengan bencana ekologis? Kini sudah lebih dari tiga belas tahun tsunami berlalu. Sisa-sisa kehancuran masih nyata terlihat, begitu juga dengan ingatan warga.
Sejak 2009 Pulau Simeulue telah menjadi kabupaten tersendiri yang definitif. Denyut dan geliat pembangunan begitu marak dan melaju kencang. Jalan lingkar Simeulue yang menghubungkan desa-desa terpencil dengan pusat kota telah dibangun. Bangunan-bangunan berdiri dengan lebih megah. Toko-toko kelontong, pasar, dan warung kopi kian semarak seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan pendatang.
Namun, pembangunan selalu menyisakan persoalan, terutama terkait dengan ekosistem pulau. Pembangunan mensyaratkan adanya pasokan bahan baku, seperti batu, pasir, kayu dan lain sebagainya. Semua dipenuhi dari pulau. Galian C yang ada di kawasan Gunung Sibau telah nyata mengubah wajah sungai. Begitu juga dengan sisi lain Gunung Sibau yang tersusun dari batuan karst. Lobang-lobang besar dan kecil jelas terlihat menganga akibat digali, baik oleh masyarakat maupun perusahaan.
Pulau Simeulue dan problem ekologis
Bukit-bukit yang semula hijau menawan kini telah berubah menjadi gersang dan terbuka karena telah beralih fungsi menjadi ladang. Burung-burung yang sebelumnya ramai berkicau di pagi hari, kini sudah mulai menghilang akibat diburu orang untuk kesenangan. Permintaan burung dari Simeulue terus meningkat dan perburuan juga masih terus dilakukan.
Sungai-sungai yang semula mengalirkan air jernih dan menjadi habitat berbagai jenis ikan endemik/khas Simeulue dan sidat yang mahal harganya kini telah berubah arah dan terkadang kerontang.
Masyarakat seringkali memburu sidat, udang, maupun ikan air tawar menggunakan racun padi. Akibatnya, habitat menjadi rusak dan tidak ada regenerasi ikan. Sopyan Sauri, peneliti ikan air tawar dari Pusat Penelitian Biologi-LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) mengatakan bahwa ikan-ikan yang ditemui seragam ukurannya dan jenisnya tidak terlalu banyak. Kuat dugaan bahwa hal ini akibat perburuan dengan menggunakan racun yang tidak terkendali.
Ancaman bencana ekologis lain adalah penanaman sawit di atas ratusan hektar lahan yang dikelola pemda melalui BUMD. Masyarakat juga ikut-ikutan menanam sawit. Wajah Desa Laut Tawar, Kecamatan Simeulue Barat, yang terletak di pedalaman, pun telah berubah, menjadi perkebunan sawit. Sebelumnya, hutan-hutan dan bukit sudah ditanami pohon cengkeh. Warga antusias menanam untuk mengejar keuntungan ekonomi yang menjanjikan.
Itu baru fakta di terestrial. Kondisi laut dan pantai yang kaya sumber daya maupun keindahan juga setali tiga uang dengan problem yang dialami di darat.
Islam kultural di Pulau Simeulue
Sebagaimana daerah Aceh lainnya, Pulau Simeulue juga menerapkan ‘syariat Islam’ yang dituangkan dalam beberapa qanun atau peraturan, seperti peraturan daerah. Qanun-qanun itu disusun dan diberlakukan untuk mengatur kehidupan masyarakat, supaya lebih tertib, teratur, dan sesuai syariat Islam.
Formalitas syariat pada satu sisi justru membelenggu berkembangnya spirit agama. Bila merunut sejarah persebaran agama di pulau ini, yang mula-mula datang dan berdakwah adalah kaum sufi. Syekh Tengku Diujung, demikian masyarakat mengenal tokoh agama ini. Syekh ini mendapatkan tugas dari Raja Aceh saat itu untuk berdakwah di Pulau Simeulue.
Syeh Tengku berasal dari Padang dan murid dari Syekh Burhanuddin Ulakan. Dalam menyebarkan misi agama, ia mengajarkan cara beragama yang ramah dan tidak membebani masyarakat. Ia juga dikisahkan mampu mengalahkan penguasa saat itu yang bertindak sewenang-wenang.
Peninggalan bersejarah yang sampai saat ini masih ada adalah bangunan makamnya, yang terletak di pantai. Makam ini masih terjaga sampai saat ini dan pada hari-hari tertentu banyak peziarah.
Peninggalan lain berupa praktek-praktek beragama masih diterapkan oleh masyarakat desa hingga kini. Nandong dan debus, dua tradisi yang masih bertahap sampai sekarang kuat dugaan dikembangkan oleh Syekh Diujung. Nandong adalah tradisi tutur dengan diiringi syair. Biasanya diamainkan saat ada hajatan atau ada peristiwa lainnya. Masyarakat Pulau Simeulue dapat terhindar dari bencana tsunami karena diingatkan melalui nandong.
Berbeda dengan nandong adalah debus. Yakni permainan ketangkasan yang menggunakan senajata tajam dengan cara ditusukkan pada anggota badan. Walaupun demikian, tidak membuat celaka. Dalam memainkan debus, satu tim ada yang berperan menabuh alat musik seperti rebana sambil membaca syair, dan satu orang memainkan senjata tajam. Setiap tim dikepalai oleh khalifah atau pemimpin regu debus.
Baik nandong maupun debus merujuk pada Syekh Diujung dengan pertimbangan bahwa. Pertama, nandong yang sakral menggunakan bahasa Minang. Kuat dugaan, nandong ini digubah oleh Syek Diujung untuk mengenalkan agama. Seperti umumnya tradisi sufi, media penyampai pesan agama yang paling mudah duterima oleh masyarakat adalah melalui kesenian.
Sedangkan dalam debus pengaruh tarikat Syattariah sangat kuat. Syekh Burhanuddin adalah salah satu mursyid tarekat ini. Indikasinya adalah penggunaan kata khalifah untuk menyebut ketua rombongan. Tarekat Tijani biasanya memanggil pemimpin spiritualnya dengan muqoddam. Di tarekat lain ada yang menyebut dengan sulthon.
Islam dan kepercayaan ekologis
Selain kukuh dengan syariat Islam, masyarakat Simeulue memiliki laku atau praktek yang jika diinterpretasi adalah semacam konservasi lahan. Laku tersebut bersumber dari kepercayaan yang merupakan hasil akulturasi dari paham keagamaan yang dibawa oleh sufi dan kepercayaan lokal yang lebih dulu ada.
Masyarakat Pulau Simeulue mengenal situs keramat alami. Bagi mereka, Gunung Sibao adalah tempat keramat alami yang perlu dijaga kelestariannya. Jika sedang berada di Gunung Sibao, siapa pun tidak boleh sembarangan berbicara dan mengambil sumber daya.
Ada banyak cerita terkait dengan ‘kekeramatan’ dari Gunung Sibao yang menambah nilai pelestarian. Di antara cerita dimaksud adalah ihwal masyarakat Simeulue yang berasal dari kawasan Gunung Sibao, yang secara legal formal adalah hutan lindung yang dikelola oleh pemda.
Cerita kedua adalah spesies sakral. Masyarakat Simeulue mengenal pohon-pohon keramat, di antaranya adalah beringin (Ficus padana), yang dibiarkan terus membesar sampai ada di pinggir jalan raya. Masyarakat percaya di pohon ini menyimpan benda-benda pusaka peninggalan masa lalu, sehingga tidak bisa ditebang. Beringin itu hingga kini masih tegak berdiri di depan masjid tertua yang konon dibangun oleh murid dari Syekh Tengku Diujung. Masyarakat mengenal tokoh tersebut dengan Bakudo Batu (Berkuda batu).
Pohon keramat lainnya adalah “pohon persumpahan”, yaitu Diospyros simalurensis. Pohon ini cukup keras dan bernilai. Pada masa lalu, karena kerasnya pohon ini maka orang-orang Simeulue bersumpah tidak akan menebang. Akan tetapi seiring dengan banyaknya pendatang dan alat yang digunakan makin modern maka pohon ini pun ditebang.
Masyarakat juga memiliki kesadaran mengenai fungsi hutan sebagai penyimpan air bersih/tawar, sehingga mereka tidak menggunduli hutan habis-habisan. Pohon-pohon besar tetap ada walaupun di sekitarnya ditanami cengkeh. Mereka meyakini, jika hutan ditebang habis maka tanah akan tandus dan gersang tidak ada air.
Melibatkan masyarakat dan budaya: tawaran solusi
Kembali ke soal krisis ekologi, bagaimana mengatasinya? Jika tidak segera dicari jalan keluar yang bijak dan berkeadilan, langkah Simeulue adalah jalan menuju kehancuran dirinya sendiri. Dalam mengatasi ancaman bencana ekologis yang sudah di depan mata, pemerintah daerah perlu membuat regulasi yang jelas mengenai pengelolaan kawasan. Dalam regulasi ini, perlu dimasukkan batasan-batasan tata kelola lahan, selain mempertimbangkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat juga keberlanjutan kehidupan dengan menjaga lingkungan.
Masyarakat juga perlu lebih dilibatkan karena masyarakat seringkali dijadikan operator eksploitasi alam. Selain melalui regulasi, hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah “kearifan tradisional” masyarakat Simeulue. Ada berbagai macam pantangan dan larangan yang menggunakan mitos tertentu untuk menjaga lingkungan. Hal ini suatu problem tersendiri, mengingat penduduk Pulau Simeulue dari berbagai ragam etnis.
Problem lainnya adalah masih adanya anggapan bahwa berbagai praktik dan kepercayaan dalam mengelola lingkungan yang berdasarkan praktik terdahulu dianggap primitif, tradisional, tidak sesuai dengan norma agama, dan tertinggal. Padahal, jika diperhatikan dengan seksama pengelolaan tradisional seringkali lebih efektif dalam menjaga lingkungan.
Melalui dua cara pengelolaan tersebut, diharapakan langkah Simeulue akan menuju kesejahteraan dan keberlangsungan kehidupan. Cara ini juga membuktikan bahwa masyarakat Pulau Simeulue adalah masyarakat yang tangguh dalam menghadapi bencana, tidak saja bencana tsunami tetapi juga bencana ekologi yang terus mengintai.
Kox 2009 menjadi kabupaten defenitif, ,
Tahun 1999 yg benar
Menarik temuan hasil penelitiannya. Barangkali u memperbaiki sistem ekologi yg semakin rusak. Pendekatan religius bisa dipakai misalnya dg mengacu pada fiqh madzhab syafii ada bab ttg ikhyaaul mawaat…. mungkin ini bs dijadikan bab dalam setiap kajian sebagimana pendekatan nandong dalam mengenalkan bahayanya tsunami.