Siapa yang tidak mengenal Mbah Bisri? Ia adalah seorang ulama Jawa yang berhasil melahirkan sebuah karya tafsir Alquran bernuansa khas nusantara. Tafsirnya tersebut ia namai dengan al-Ibriz li Ma’rifat Tafsir al-Qur’an al-‘Aziz atau lebih dikenal dengan Tafsir al-Ibriz.
Mbah Bisri, begitu orang sekarang menyebut-nyebut namanya, menulis tafsir ini dengan menggunakan bahasa Jawa dan aksara Arab Pegon. Kitab tafsir ini sangat populer di kalangan masyarakat Jawa, hingga saat ini masih sering dijadikan bahan pengajian terutama di pesantren-pesantren. Orang umum Pantai Utara Jawa, memahami Alquran ya pakai tafsir ini. Untuk orang yang lebih umum, mengajinya dengan cara mendengar; seroang kiai baca, puluhan bahkan ratusan orang berkumpul mendenarkan. Ini disebut ngaji kuping.
Kiai Bisri merupakan ayah kandung dari seorang kiai sekaligus budayawan Indonesia, Mustofa Bisri atau sering disapa Gus Mus. Ayah kandung Gus Mus ini lahir pada tahun 1915 di Kampung Sawahan Rembang Jawa Tengah dan tutup usia pada Rabu 17 Februari 1977 di usia 62 tahun. Beberapa sumber mengatakan, Kiai Bisri Mustofa mulanya diberi nama Mashadi. Lalu diganti menjadi Bisri Mustofa setelah beliau kembali dari menunaikan ibadah haji di kota Mekkah pada tahun 1923, tepatnya ketika beliau masih berumur 7-8 tahun.
Baca juga:
- Munajat Ulama Nusantara (1)
- Musyrik Menurut Kiai Bisri Mustofa
- Ketika Kiai Bisri Mustofa Menerjemah Mantiq
Sejak kecil beliau sudah diajarkan dasar-dasar pendidikan Islam oleh orangtuanya. Beliau juga belajar di beberapa pesantren dan kepada para kiai di Nusantara. Beliau pernah belajar di pesantren Kajen, Pati, pimpinan Kiai Khasbullah.
Pada usia 15 tahun, beliau belajar di pesantren Kasingan asuhan Kiai Kholil. Setiap bulan Ramadhan, beliau sering nyantri di Pesantren Tebuireng, Jombang, asuhan Kiai Hasyim Asy’ari.
Selain berguru kepada ulama-ulama nusantara, beliau juga memperdalam ilmu-ilmu keislaman kepada ulama di Jazirah Arab. Di antaranya kepada Syeikh Hamdan al-Maghribi, Syeikh ‘Ali Maliki, Sayyid Amin, Syeikh Hasan Masysyath dan Sayyid Alwi al-Maliki. Beliau juga belajar kepada ulama nusantara yang menetap di sana, seperti KH. Abdul Muhaimin (menantu KH. Hasyim Asy’ari) dan KH. Bakir asal Yogyakarta.
Semangat menuntut ilmu di waktu muda inilah yang mengantarkan Mbah Bisri akhirnya menjadi seorang figur ulama nusantara yang sangat berpengaruh. Beliau, selain aktif mengajar dan berceramah, Kiai Bisri atau yang lebih akrab dengan panggilan Mbah Bisri ini sangat produktif dalam hal tulis-menulis.
Banyak karya tulis yang tercipta dari tangannya. Jumlah tulisannya mencapai lebih dari 176 judul, dengan berbagai macam disiplin ilmu seperti tafsir, hadis, tauhid, fikih, akhlak, sejarah, ilmu-ilmu kebahasaan (nahwu, sharf dan ilmu alat lainnya).
Beberapa karyanya adalah Tafsir al-Ibriz, Tafsir Yasin, al-Iksir, Munyah al-Dham’an, al-Azwad al-Mustofawiyah, Terjemah Bulughul Maram, Terjemah ‘Aqidah al-‘Awwam, Tanwir al-Dunya, Washaya al-Aba’ li al-Abna’, Tarikh al-Auliya’, al-Haqibah (kumpulan doa), Syi’ir Rajabiyah, Syi’ir budi pekerti, al-Asma’ wa al-Aurad, Pedoman Pidato (Khutbah) dan lain-lain. Mbah Bisri juga menulis tema-tema ringan, seperti kumpulan Anekdot Kasykul, Abu Nawas, novel bahasa Jawa Qohar lan Solihah, naskah drama Nabi Yusuf lan Siti Zulaikha dan lainnya.
Di balik kesuksesannya dalam bidang tulis-menulis ini ternyata Mbah Bisri memiliki trik atau rahasia yang sangat menarik untuk diteladani. Gus Mus dalam Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah Kh Bisri Mustofa menceritakan:
Suatu ketika Mbah Bisri kedatangan KH. Ali Maksum Krapyak, mereka berbincang tentang dunia tulis-menulis. ‘kalo soal keilmuan, barangkali saya tidak kalah dari Sampeyan, bahkan mungkin saya lebih alim,’ kata Kiai Ali, ‘tapi mengapa sampeyan bisa begitu produktif menulis, sementara saya selalu gagal di tengah jalan. Baru separuh atau sepertiga, sudah macet tak bisa melanjutkan’.
Jawab Mbah Bisri, “Hah, soalnya Sampeyan menulis lillahi ta’ala sih!”
Kiai Ali terkejut dan bertanya balik, “loh, kiai menulis kok tidak lillahi ta’ala, lalu dengan niat apa?”
Dengan ringan Mbah Bisri menjawab, “Kalau saya, menulis dengan niat nyambut gawe. Etos saya dalam menulis sama dengan penjahit. Lihatlah penjahit itu, walaupun ada tamu, penjahit tidak akan berhenti menjahit. Dia menemui pelanggannya sambil terus bekerja. Soalnya, bila dia berhenti menjahit, periuknya bisa ngguling.”
Saya juga begitu, kalau belum belum Sampeyan sudah niat yang mulia-mulia, setan akan mengganggu sampeyan dan pekerjaan sampeyan tak akan selesai. Lha, nanti kalau tulisan sudah jadi, dan akan diserahkan kepada penerbit, baru kita niati yang mulia-mulia, linasyril ilmi (menyebarkan ilmu) atau apa. “Setan perlu kita tipu” sambung Mbah Bisri.