Sedang Membaca
Sosialisme Religius Bung Hatta
Muhammad Iqbal
Penulis Kolom

Muhammad Iqbal. Sejarawan. Dosen Prodi Sejarah Peradaban Islam IAIN Palangka Raya. Editor Penerbit Marjin Kiri. Menulis dua buku: Tahun-tahun yang Menentukan Wajah Timur (Yogyakarta: EA Books, 2019), dan Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai, 27 Januari 1953 (Yogyakarta: Tanda Baca, 2021).

Sosialisme Religius Bung Hatta

Indonesia telah mengalami pembaharuan politik mendasar sejak 1998, menandai berakhirnya dua bentuk sistem otoriter sebelumnya: Orde Lama dan Orde Baru. Walaupun secara formal-konstitusional, berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, kehidupan demokrasi kita sudah sejak era kemerdekaan menganut asas kedaulatan rakyat, tetapi interupsi dua sistem otoriter itu, yang secara keseluruhan berlangsung hampir empat dekade, telah menguburkan prinsip kedaulatan rakyat secara substantif.

Tak dinyana, hingga detik ini, negara-kesejahteraan Indonesia adalah sebuah imaji yang belum pernah bisa diwujudkan. Padahal, inilah gagasan ultima para pendiri bangsa (founding fathers) kita. Bahkan secara eksplisit, gagasan ini dituangkan dalam sila kelima dasar negara, Pancasila, yang menegaskan prinsip “kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Sebenarnya, demokrasi Barat belum tentu efektif apabila diterapkan untuk bangsa-bangsa non-Barat seperti Indonesia, yang pada umumnya masih berdasarkan pada prinsip kekeluargaan atau kebersamaan. Dengan kata lain, kita harus mengkaji kekuatan dan kelemahan serta keberlakuan konsep-konsep politik yang berasal dari pemikiran politik Barat ini dan, sebaliknya, mencari alternatifnya dari khasanah budaya sendiri.

Mohammad Hatta (1902-1980) adalah sosok pejuang yang hampir seluruh perhatiannya dicurahkan bagi Indonesia yang makmur dan adil, meskipun sebagian besar cita-citanya tidak menjadi kenyataan. Cita-cita Hatta yang dimaksud ialah sebagaimana yang dikemukakan oleh Nurcholish Madjid, “Bung Hatta dipandang oleh banyak kalangan sebagai peletak dasar konsep keindonesiaan yang lebih mendalam, yaitu konsep keadilan, keterbukaan dan demokrasi” (Madjid, 2002: 79).

Dia adalah pemikir-pejuang demokrasi Indonesia, yang pemikiran-pemikiran dan keteladanannya perlu terus-menerus digali lebih mendalam, laiknya mata air yang tiada pernah kering. Bung Hatta dengan sadar memilih dan merancang demokrasi untuk membangun Indonesia merdeka.

Lebih khusus lagi, demokrasi Hatta berwatak sosialis, yaitu pengertian yang mengingatkan kita pula pada ideologi sosialisme demokrasi yang berkembang di negara-negara Barat sejak paruh kedua abad 19.

Baca juga:  Belajar dari Karya BJ Habibie

Namun, demokrasi ala Bung Hatta berbeda dengan demokrasi Barat, termasuk dengan paham demokrasi sosial ini. Justru pemikirannya tentang demokrasi yang berwatak sosialis ini, berangkat dari sikap kritisnya (tetapi rasional) terhadap demokrasi Barat. Jadi berbeda misalnya dengan Bung Sjahrir, yang hampir sepenuhnya menerima demokrasi Barat atau Bung Karno tua yang hampir sepenuhnya anti demokrasi Barat.

Bung Hatta berpendapat, demokrasi Barat sebenarnya memiliki tujuan yang mulia, yaitu kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan, sebagaimana yang disemboyankan Revolusi Prancis pada 1789. Hanya saja, dalam proses selanjutnya, penerapan demokrasi Barat ini telah mengalami distorsi, yang ujar Hatta sendiri menjadi “tidak senonoh”, sehingga tidak bisa dijadikan pedoman untuk membangun Indonesia merdeka (Hatta, 1976: 11).

[blockquote align=”right” author=””]“Bung Hatta dipandang oleh banyak kalangan sebagai peletak dasar konsep keindonesiaan yang lebih mendalam, yaitu konsep keadilan, keterbukaan dan demokrasi”[/blockquote]Oleh karena itu, terlihat ketidaksetujuan Bung Hatta terhadap demokrasi Barat ini, bukan pada substansi idealnya, melainkan lebih pada penerapannya yang mengkhianati prinsip-prinsip kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan (liberte, egalite, fraternite), sebagaimana disemboyankan dalam Revolusi Prancis itu, yang selanjutnya telah menimbulkan akibat-akibat negatif yang tak bisa diterima Hatta. Namun, tentu saja penerapan yang keliru ini pun karena demokrasi Barat memang memiliki karakteristik tertentu.

Menurut Bung Hatta, demokrasi Barat telah gagal mewujudkan demokrasi dalam arti yang sebenarnya, yaitu kedaulatan rakyat di semua aspek kehidupan; demokrasi Barat hanya memberikan kedaulatan rakyat di bidang politik saja, sedangkan di bidang ekonomi berlaku kedaulatan kaum pemodal. Demokrasi Barat yang pincang ini olehnya, disebut “demokrasi kapitalistis” yang dibedakannya dari demokrasi modern. Bung Hatta menambahkan demokrasi kapitalis inilah yang harus ditolak. Sebaliknya demokrasi modern ialah bentuk yang dicita-citakan bagi Indonesia merdeka (Hatta, 1998: 87).

Baca juga:  Sejarah Kiai Ahmad Dahlan dalam dunia Jurnalistik

Hatta juga menganggap demokrasi Barat bersifat rasialis; demokrasi ini hanya berlaku untuk rakyat negara-negara Barat saja, sedangkan terhadap rakyat di negeri terjajah berlaku kekuasaan yang menindas, sebagaimana yang diberlakukan Pemerintah Kolonial Belanda terhadap Hindia Belanda. Di sini dapat kita rasakan, pengalaman hidup di masa penjajahan nampaknya telah memengaruhi cara bagaimana Bung Hatta memaknai demokrasi.

Artinya, bagi Hatta, demokrasi berarti kedaulatan rakyat, yaitu rakyat yang bebas dan merdeka, yang menjadi raja atas dirinya sendiri dan yang diantipodakannya dengan “daulat tuanku”. Istilah terakhir ini digunakan Bung Hatta untuk merujuk pada tatanan kehidupan kerajaan dan feodalisme nusantara di masa lalu.

Sedangkan rakyat bagi Hatta adalah orang Indonesia baru yang, melalui pendidikan politik, pendidikan ekonomi dan pendidikan sosial, insaf akan hak dan kewajibannya sebagai warganegara. Demokrasi Barat yang diskriminatif, khususnya terhadap rakyat negeri jajahan, bukanlah demokrasi yang sesuai untuk membangun Indonesia.

Pandangan Bung Hatta tentang demokrasi Barat memang bersifat negatif. Pertama, karena ciri individualisme yang terkandung dalam paham liberalisme yang melahirkan demokrasi Barat. Semangat individualisme ini memang telah melahirkan demokrasi atau kedaulatan rakyat dalam kehidupan politik, namun memunculkan kapitalisme di bidang ekonomi. Pengutamaan kemerdekaan individu dalam kehidupan ekonomi ini, melahirkan semangat laissez faire, laissez passer (“merdeka berbuat, merdeka berjalan”), yaitu sistem ekonomi kapitalis yang bertitimangsa kepada persaingan bebas. Dalam penerapannya, terutama dalam kehidupan ekonomi, individualisme telah menimbulkan kepincangan dan ketidakadilan dalam masyarakat.

Baca juga:  Nahdlatul Ulama: Tiga Kiai Jombang Pendiri NU

Bung Hatta, sebaliknya, mengajukan konsepsinya sendiri perihal demokrasi untuk Indonesia. Substansi demokrasi Hatta adalah mass protest atau sikap kritis rakyat terhadap penguasa, musyawarah untuk mencapai mufakat dan tolong menolong. Ia menambahkan, dua substansi yang pertama menjadi dasar untuk mewujudkan demokrasi politik, sedangkan substansi ketiga menjadi dasar bagi demokrasi ekonomi (Hatta, 1998: 113-4).

Melalui ketiga substansi ini, Hatta berkeyakinan, kedaulatan rakyat akan termanifestasikan dengan baik dalam kehidupan politik maupun dalam kehidupan ekonomi. Dengan kata lain, demokrasi Bung Hatta bersifat utuh, berbeda dengan demokrasi Barat yang hanya menjamin kedaulatan rakyat dalam kehidupan politik semata.

Mengenai sumber-sumber pemikirannya, Hatta memaparkan, ada tiga sumber gagasannya mengenai demokrasi: ajaran Islam ihwal kebenaran dan keadilan yang ditautkan dengan tugas manusia sebagai khalifah Allah SWT (penyebar kebaikan) di muka bumi, demokrasi asli Indonesia yang berakar pada kekeluargaan/kebersamaan dan ideologi sosialisme Barat tentang perikemanusiaan (Hatta, 1966: 24).

Dengan menyebutkan tiga sumber di atas, dia secara tersirat melukiskan tonggak-tonggak dalam proses sosialisasi politik yang dialaminya, serta ingin mengemukakan, proses sosialisasi yang dialaminya menjadikan ia penganut sosialisme demokrasi atau demokrasi sosial berdasarkan ajaran Islam (sosialisme religius).

Arkian, dalam kehidupan politik, demokrasi Bung Hatta adalah demokrasi Barat plus, yaitu demokrasi parlementer yang lebih mengutamakan prinsip musyawarah dan mufakat. Namun demikian, warisan intelektual dari salah satu dari Bapak Bangsa kita ini tidaklah paripurna, karena demokrasi bukan merupakan produk pemikiran manusia yang langsung jadi, melainkan hal ihwal yang senantiasa berproses dan mengalami diskursif, serta penyempurnaan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top