Tirtoadisurjo
Raden Mas Tirtoadisurjo (1875-1918) adalah seorang priyayi Jawa baru yang mengawali pendirian sebuah organisasi modern dengan label Islam, dan organisasi itu dibentuk sebagai motor penggerak bagi kemajuan.
Lahir di Blora, Jawa Tengah, Tirtoadisurjo berasal dari sebuah keluarga bupati di Bojonegoro. Laiknya priyayi lain pada masanya, dia memperoleh pendidikan Belanda. Dia masuk STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen; Sekolah Pendidikan Dokter Hindia), sebagaimana Abdul Rivai atau Wahidin. Bedanya, Tirto tetapi tidak tamat. Perhatiannya pada jurnalisme membuatnya lebih aktif dalam menulis tinimbang menghabiskan waktu menyelesaikan ujian akhirnya, Inlandsche Arts examination, sebagai syarat untuk menjadi dokter Jawa (Adam, 2003: 10-15).
Seperti mahasiswa STOVIA lainnya, dia menolak menjadi pegawai sipil pemerintah sebagai seorang pangreh praja. Khusus bagi Tirto, penolakan ini juga barangkali berkelindan pengalamannya pada 1888, ketika dia melihat kakeknya, Tirtonoto, dipecat dari Bupati Bojonegoro, yang rupanya korban dari muslihat yang direncanakan oleh seorang patih dan saudaranya, pembantu residen berkebangsaan Indo-Eropa (Sutherland, 1983: 57).
Karir Tirtoadisurjo di jagat jurnalisme bermula ketika dia menjadi koresponden untuk Hindia Ollanda pada 1894, dan kemudian sebagai pemimpin redaksi Pemberita Betawi dari April 1902 sampai 1903.
Tidak lama setelah itu, dia mulai menerbitkan majalahnya sendiri, Soenda Berita, pada Agustus 1903. Majalah milik pribumi yang terbit mingguan dalam bahasa Melayu (Adam, 2003: 109-10). Namun, namanya mulai meroket ketika dia menerbitkan Medan Prijaji, majalah mingguan yang terbit perdana pada 1 Januari 1907, dengan Tirtoadisurjo sebagai editor dan sekaligus pengelola.
Majalah tersebut dibuat untuk mewakili aspirasi Sarekat Priyayi, sebuah perkumpulan yang dia coba dirikan sebagai hasil perjalanannya keliling Jawa pada Maret 1906 (Shiraishi, 1997: 33). Penerbitan majalah itu terwujud dengan sokongan priyayi Temanggoeng Pandji Ardjodinoto, Kepala Jaksa Cirebon, yang menyumbang 1.000 gulden. Selain itu, para priyayi menjadi setengah dari pelanggannya (Adam, 2003: 110-11).
Dengan keberhasilan Medan Priyayi, Tirto melangkah lebih jauh ke dalam bisnis penerbitan. Tidak lama setelah meluncurkan Medan Priyayi, dia menerbitkan majalah bulanan Soeloeh Keadilan (April 1907). Seperti halnya Medan Priyayi, Soeloeh Keadilan secara finansial didukung oleh priyayi dermawan, di antaranya Raden Adipati Aria Prawiradiningrat yang menyumbang 1.000 gulden. Namun, untuk mendirikan bisnis pers, dia membutuhkan dukungan keuangan yang berkelanjutan. Karena alasan itu, dia mendekati Haji Mohammad Arsad, pemegang saham utama H.M. Arsad & Co, yang menerbitkan dua majalah tersebut. Selain itu, untuk pembaca perempuan, Tirto menerbitkan Poetri Hindia, yang terbit pertama kali pada Juni 1908.
Tirto terus berusaha memperoleh dukungan kaum priyayi untuk bisnis penerbitannya. Dia menjadikan Bupati Karanganyar, Raden Remenggoeng Tirto Koesoemo, sebagai patronnya, dan meminta istri-istri priyayi terkemuka, juga beberapa perempuan Belanda dan indo-Eropa untuk masuk dalam dewan redaksi baik Medan Priyayi maupun Poetri Hindia. Melalui strategi itulah, bisnis Tirto mulai berkembang.
Tirto selanjutnya mengubah Medan Priyayi dari semula sebatas majalah menjadi sebuah persekutuan dagang (maatschappij). Dengan persetujuan dari Pemerintah Belanda (10 Desember 1908), dia mendirikan Toko Buku Jawa Medan Priyayi, perusahaan penerbitan dan alat tulis (Javansche Boekhandel en Drukkerij en Handel in Schrijfbehoeften Medan Prijaji) dengan total modal 75.000 gulden (Adam, 2003: 112-13).
Tirtoadisurjo yang mulai dikenal sebagai pengusaha inilah yang kemudian mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) pada Maret 1909, dengan misi utama memperjuangkan kepentingan umat Muslim Hindia Belanda. Kerja sama bisnisnya dengan Mohammad Arsad menjadikan Tirto memiliki hubungan dengan keluarga Ba Junaid, saudagar Arab terkemuka di Batavia (Syaikh Ahmad bun Abdurrachman dan Syaikh Mohammad bin Said), yang diminta Tirto untuk menjadi anggota utama SDI (Mobini-Kesheh, 1999: 42-44). Maka, melalui sebuah pertemuan pada 27 Maret 1909 di kediaman Tirto di Bogor (Buitenzorg), lahirlah SDI. Melalui SDI inilah, Tirto memelopori berdirinya sebuah organisasi di mana baik elite pribumi maupun orang Hadrami tertungkus-lumus dalam usaha ekonomi, dengan menjadikan Islam sebagai identitasnya. Bagi Tirto, SDI merupakan wadah bagi umat Muslim Hindia Belanda untuk berjuang memperbaiki lemahnya kemampuan manajerial mereka dalam bidang ekonomi dan bisnis (Burhanudin, 2012: 237).
Halaman Selanjutnya: Samanhoedi