Rencana Pemindahan Ibu Kota pada Masa Hindia-Belanda

Presiden Jokowi memantapkan diri untuk meralisasikan pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Palangkaraya. Rencana ini menimbulkan polemik, seperti biasa, ada yang pro dan ada yang kontra.

Jika dilihat dalam konteks historis, rencana pemindahan ibu kota bukanlah wacana baru, bahkan sudah bergulir sejak masa pemerintahan Hindia Belanda. Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (menjabat 1808-1811) tercatat pernah berencana memindahkan ibu kota dari Batavia ke Surabaya. Alasan pertama, Batavia merupakan daerah rawan penyakit. Kematian Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen (menjabat 1619-1623 dan 1627-1629) karena penyakit kolera, menjadi salah satu bukti alasan tersebut. Alasan yang kedua, adalah pertahanan, yang di mana Surabaya memiliki benteng dan pelabuhan.

Menurut Bernard HM Vlekke dalam buku Nusantara: Sejarah Indonesia, Daendels menyadari bahwa Jakarta tidak referesentatif dijadikan pusat utama pertahanan pulau Jawa. Istana-istana tua dengan tembok yang sudah rapuh dapat dihancurkan dari laut. Iklimnya dapat membunuh para serdadu bahkan sebelum musuh menyerang. Untuk itu, Daendels membangun pabrik senjata (artillerie constuctie winkel), dan Rumah Sakit Militer. Ia juga membangun Benteng Lodewijk di pulau Mengare, Gresik Utara.

Menurut Vlekke, Daendels gagal memindahkan ibu kota ke Surabaya. Ia kesulitan memindahkan seluruh pemukiman Batavia, gudang-gudang, dan kapal-kapal barang berharga. Selain itu, waktu yang dibutuhkan Daendels tidak cukup, karena dia segera ditarik ke Perancis pada 30 Juni 1811.

Baca juga:  Mata Kolonial Mengawasi Surakarta

Memasuki tahun 1900-an, seorang ahli kesehatan Belanda yang bertugas di Semarang bernama Hendrik Freek Tillema (1870-1952) mengemukakan hasil studinya. Menurut Tillema, tipologi kota-kota pelabuhan di pantai Jawa umumnya berhawa panas, berawa-rawa, rawan penyakit, dan ancaman banjir ketika Laut Jawa pasang. Tak terkecuali Batavia, kota pelabuhan ini kurang memenuhi syarat sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda.

Tillema kemudian mengusulkan kepada Gubernur Jenderal J.P. Graaf van Limburg Stirum (1916-1921) untuk memindahkan ibu kota dari Batavia ke Bandung. Rencana dimulai tahun 1920, Bandung mulai berbenah. Gedung-gedung perkantoran mulai dibangun, seperti Gedung Gouvernements Bedrijven (Gedung Sate), Gedung Technische Hooge School (rektorat ITB), Gedung Museum POS Indonesia, dan lain-lain. Pusat-pusat administratif pemerintah sipil Hindia Belanda pun segera dipindahkan, seperti Departemen Pekerjaan Umum dan Pengairan, instansi Leger des Heils (Tentara Bala Keselamatan), Jawatan Kereta Api Negara, Jawatan Metrologi, Jawatan Geologi, Departemen Perdagangan, Kantor Keuangan, dan lain-lain.

Dari semua yang telah dirintis tersebut, pemerintah Hindia Belanda tidak sempat menjadikan Bandung sebagai ibu kota dalam kondisi normal. Pusat pemerintahan Hindia Belanda baru dipindahkan ke Bandung dalam kondisi terdesak karena darurat perang. Memasuki tahun 1942, Jepang sudah mempreteli wilayah kekuasaan Hindia Belanda di luar Jawa, dan kemudian menguasai Batavia. Oleh karenanya, Bandung menjadi benteng pertahanan terakhir bagi pemerintahan Hindia Belanda. Itu pun tidak bertahan lama, karena akhirnya Belanda harus menyerah kepada Jepang pada 8 Maret 1942 di Kalijati, Subang.

Baca juga:  Syaikh Yusuf al-Makassari dan Karyanya (2): Tajul Asrar fi Tahqiq Masyrabil Arifin

Barangkali, hanya raja-raja klasik yang tercatat dalam sejarah pernah memindahkan pusat kekuasaannya, seperti; Kerajaan Mataram/Medang dipidahkan oleh Sri Isyana Vikramadammatunggadewa (Mpu Sindok) dari Jawa tengah ke Jawa Timur sekitar tahun 929 M; Kerajaan Kahuripan, ibu kota pertamanya di Watan Mas (dekat Gunung Penanggungan), kemudian dipindahkan oleh Raja Airlangga ke Kahuripan Sidoarjo, lalu ke Daha; Keprabuan Majapahit, ibu kota pertamanya diperkirakan sekitar Tarik, dekat delta Sungai Brantas sebelum akhirnya dipindahkan ke Trowulan; Kerajaan Sunda-Galuh, pusat kekuasaanya sesekali di Astana Gede Kawali atau Pakuan Pajajaran; Kerajaan Mataram Islam pernah di Kota Gede, di Plered, dan di Kartasura.

Begitulah. Dalam konteks negara modern, sejak masa Hindia Belanda berlanjut pada masa Presiden Soekarno, Presiden Soeharto, hingga Presiden SBY, pernah memiliki cerita yang hampir sama seputar rencana pemindahan ibu kota. Namun, move on dari Batavia/Jakarta itu sulit. Lebih sulit dari move on-nya Zainudin atas Hayati. Lalu, bagaimana dengan “ikhtiar” ala Presiden Jokowi? Kita lihat nanti. Yang pasti, ILC TV One kembali riuh, Teungku Zulkarnain pun sudah men-twit, katanya ibu kota baru akan dirudal oleh China. (RM)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top