“Hantu” Machiavelli “yang gentayangan” masih saja membuat bulu kuduk manusia zaman now merinding. Hampir 500 tahun pasca-kematiannya, nama ini hampir sinonim dengan kejahatan. Padahal, Machiavelli bukanlah orang yang jahat. Filsafat politiknya sangat realistis.
Istilah “Machiavellian” sering diidentikkan dengan politikus yang licik, kejam, dan tidak bermoral dalam dunia perpolitikan. Namun, yang menjadi pertanyaan kemudian: Apakah benar Niccolo Machiavelli telah membuka jalan bagi siapa saja (khususnya para penguasa), untuk dapat melegalkan segala cara, demi mempertahankan kekuasaannya? Jawabannya dapat kita temukan dalam kitabnya, The Prince (Sang Penguasa).
The Prince kelak dijadikan pedoman bagi para tiran dan diktator untuk mempertahankan dan menyebarluaskan kekuasaan. Akan tetapi, harus diingat bahwa The Prince telah disalahtafsirkan oleh para penguasa itu, untuk dipraktikkan ajarannya. Hal ihwal ini membuat nama Machiavelli dikecam dan dikutuk oleh pelbagai kalangan. Sang pengarang dengan teorinya mengenai kekuasaan, dianggap telah membuka ruang bagi penyelenggaraan kekuasaan yang tiranik.
Seyogyanya, terminologi Machiavellisme dalam praktik kehidupan politik sangat populer. Karena popularitasnya itu, Machiavellisme dimaknai dan diinterpretasikan secara amat beragam. Maka, tidak mengherankan dalam pelbagai polemik dan perdebatan, terminologi Machiavellisme menimbulkan kontroversi berkepanjangan. Namun demikian, satu hal yang jelas: terminologi Machiavellisme dianggap merujuk pada metode, cara dan praktik politik “kotor”, kejam, bengis, dan tidak bermoral.
Dari perspektif sejarah pemikiran politik, istilah Machiavellisme merujuk pada pengertian bahwa cara-cara dan tindakan serta praktik politik kekuasaan, hendaknya jangan disangkutpautkan dengan etika moralitas. Politik jangan dikaitkan dengan kebaikan atau keburukan. Apalagi dikaitkan dengan moralitas agama.
Bila Machiavellisme diartikan demikian, maka sesungguhnya secara substantif, Machiavellisme telah ada dan berkembang setua praktik politik dalam sejarah peradaban manusia. Usia Machiavellisme setua tradisi dan praktik politik, atau bahkan sejak timbulnya kejahatan pertama yang dilakukan oleh anak-anak manusia.
Dalam pengertian substantif, Machiavellisme telah dipraktikkan oleh Qabil, putra Nabi Adam a.s., manusia pertama di muka bumi ini. Kisah praktik Machiavellisme Qabil diceritakan dalam Alquran maupun Alkitab (Bible) dengan sedikit perbedaan. Sekilas, ketika Nabi Adam a.s. ingin menikahkan putra-putrinya, terjadi sengketa antara kakak beradik: Qabil dan Habil. Qabil (dalam Alkitab disebut Kain) iri hati dan dengki kepada Habil, karena calon istri adiknya itu lebih cantik dari calon istrinya.
Maka kemudian timbul dendam kesumat dalam diri Qabil. Dia berusaha dengan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, sekalipun kemudian ia harus membunuh Habil. Maka dibunuhlah Habil, demi mencapai cita-citanya itu. Inilah praktik nyata Machiavellisme dalam fase kehidupan manusia yang paling primitif.
Dari kisah ini, kita ketahui bahwa Machiavellisme telah eksis jauh sebelum kelahiran Machiavelli sendiri. Pandangan, pemikiran dan praktik-praktik “menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan” (The end justifies the means) dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kekuasaan, sesungguhnya telah diakui eksistensinya sejak zaman manusia purba.
Niccolo Machiavelli adalah anak zaman Renaisans yang dilahirkan di Florence, Italia pada 03 Mei 1469 M dan wafat 21 Juni 1527. Titimangsa 1498 M, ketika Florence menjadi sebuah republik, dia memperoleh jabatan pemerintahan yang bertanggung jawab atas kebijakan-kebijakan negara, di antaranya menyangkut masalah pertahanan negara dan hubungan-hubungan luar negeri.
Namanya pun kemudian melesat sebagai seorang politisi ulung. Tahun 1500, dia ditugaskan sebagai diplomat ke Prancis. Di negeri ini, Machiavelli mengamati bagaimana penguasa Prancis menjalankan kekuasaan dan menyatukan rakyatnya.
Dalam masa kariernya sebagai politikus dan diplomat, Machiavelli juga penah bertemu dengan Cesare Borgia. Dia sangat kagum dan terinspirasi dengan cara Cesare Borgia memperoleh dan mempertahankan kekuasaannya.
Dalam sebuah kesempatan, Machiavelli menyaksikan sendiri bagaimana Cesare Borgia membantai komandan-komandan tentaranya di Sinigaglia. Mereka dibantai karena dianggap telah berkhianat kepada Borgia. Dengan pembantaian itu, habis musuh-musuh Cesare Borgia dan dia pun merasa aman dengan kekuasaannya. Machiavelli mengagumi Cesare Borgia sebagaimana ditulis dalam karyanya, On the Manner Adopted by the Duke Valentino to Kill Vitellezo.
Menurut Machiavelli, cara dan metode Cesare Borgia dalam mempertahankan kekuasaan dan menangani para pengkhianatnya, mestilah dijadikan contoh bagi setiap penguasa, khususnya penguasa Italia yang terobsesi untuk memperkuat dan menyatukan negeri itu. Penguasa jangan ragu-ragu untuk ‘menghabisi’ musuh-musuhnya jika perihal itu diperlukan, demi negara atau kepentingan publik.
Meski mengagumi Cesare Borgia, Machiavelli juga senang ketika dia mengetahui kemudian bahwa Cesare Borgia dipenjarakan oleh Paus Julius II, karena dianggap ‘memberontak terhadap Kristus’ (agama Kristen dan kekuasaan gereja).
Pertanyaannya kini adalah–meskipun pemikiran, praktik dan cara-cara politik kotor–telah eksis sejak zaman purba, mengapa hal demikian selalu (kerap) diidentikkan dengan Niccolo Machiavelli, sang pemikir politik zaman Renaisans Italia itu? Apa yang unik dari tokoh ini sehingga praktik-praktik ‘politik kotor’ identik dengan namanya?
Pertama, terminologi “Machiavellisme” dan “Machiavellian” muncul pertama kali karena terbitnya The Prince pada 1500-an masehi. Sebuah karya yang ditulis Machiavelli pada mulanya untuk ‘merebut hati’ keluarga penguasa Medici. Dengan menulis buku itu, Machiavelli berharap bisa direkrut kembali sebagai pejabat negara dalam pemerintahan Medici di Italia ketika itu. Tetapi, upayanya gagal. Machiavelli harus menerima kenyataan dirinya tetap diasingkan (dan sebelumnya disiksa, 1513) oleh penguasa Medici.
Sekali pun gagal ‘merebut hati’ penguasa Medici, The Prince berhasil memperoleh popularitas di kalangan publik Italia. Hal ihwal ini karena buku itu memberikan wacana anyar tentang bagaimana cara memperebutkan dan mempertahankan sebuah kekuasaan. The Prince merekomendasikan untuk menggunakan kebengisan, pengkhianatan, kekejaman, dan “cara-cara iblis” demi meraih kekuasaan politik.
Kedua, Machiavelli merupakan pemikir yang termasuk paling ilmiah dan sistematis merumuskan bagaimana memperoleh dan mempertahankan kekuasaan dengan prinsip “menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan”.
Teori kekuasaan Machiavelli bersifat ilmiah dan realistik. Machiavelli merekonstruksi teori-teori yang berdasarkan observasinya atas fakta-fakta empiris yang benar-benar terjadi.Dia tidak membangun teori-teorinya di atas angan-angan dan abstraksi-abstraksi kosong. Pengalamannya sebagai negarawan dan diplomat ulung telah memberikan banyak pengetahuan berharga, tentang arti sebuah kekuasaan bagi seorang penguasa negara.
Ketiga, Machiavelli membedakan secara tegas antara kepentingan-kepentingan kekuasaan dengan prinsip-prinsip moralitas. Keduanya merupakan domain yang berbeda. Dalam melakukan praktik kekuasaan misalnya, seorang penguasa tidaklah harus tertancang dengan prinsip-prinsip moralitas.
Fokus seorang penguasa adalah bagaimana ia bisa meraih kekuasaan dan mempertahankannya. Prinsip-prinsip moralitas–kebaikan dan keburukan–boleh saja dipakai sejauh ia bermanfaat bagi upaya penguasa untuk meraih dan mempertahankan kekuasaannya. Dan sebaliknya, moralitas boleh diabaikan demi kepentingan yang sama.
Machiavelli adalah intelektual yang mengenali suatu kebenaran yang memasygulkan pada kondisi umat manusia. Dia bukanlah filsuf besar, namun sungguh-sungguh merupakan teoritikus politik yang realistis. Namun demikian, pemikirannya telah membuat kehidupan manusia bertatap muka dengan dikotominya yang paling mendalam dan yang tampaknya tak akan bisa terpecahkan.