M Faizi
Penulis Kolom

Penyair, tinggal di Pesantren Annuqoyah, Sumenep

Ngaji Ramadan di Pesantren

Ngaji Posonan

Kadang, terlintas di pikiran saya untuk mengulang masa-masa nostalgia saat berpuasa di pondok pesantren (posowan/posonan; kilatan). Saya bayangkan, ikut ngaji di pondok selama Ramadan (15-20 hari) akan menciptakan sensasi tersendiri jika dilakukan saat ini, saat sudah berkeluarga dan beranak-pinak. Kita akan senang karena mendapatkan pengalaman baru sekaligus sedih karena dulu tidak rajin dan sekarang tidak mungkin lagi diulang.

Puasa di Tebuireng bikin ingatan saya jatuh di atas semangkuk es burjo buat buka ketika maghrib tiba. Makannya terkadang lepas Salat Tarawih: sebungkus nasi goreng yang ‘konten’-nya hanya beberapa suapan itu. Menu yang lebih mewah sedikit ada di kantin Aljabar yang rasa sambel kecapnya melekat hingga sekarang. Dulu saya mondok di Madrasatul Qur’an tapi kilatannya di Tebuireng.

Ibarat kata: mondok ke menantu, ngaji ke mertua. Oh ya, pengalaman ngaji kitabnya tentu saja juga perlu diingat, tapi tidak selengkap ingatan terhadap urusan mantan, eh, urusan makan.

Mengingat Ramadanan di Gedangsewu, Kediri, ingatlah saya sama Yai Baidhowi, kiai yang pertama kali kenalannya langsung menciptakan sudut pandang terbalik: bikin anggapan saya bahwa kiai itu mestinya begini-begini, lah, berubah jungkir-balik, kok ini kiai malah begini sekaligus begitu. “Mas, numpang icip kopine, Mas!” dawuh beliau manakala tahu saya datang di hari pertama langsung sibuk cari kompor dan panci untuk menjerang air agar bisa menyeduh kopi yang bubuknya saya tumbuk sendiri, bawa dari rumah.

Baca juga:  Amien Rais, Orang Solo Bergaya Batak

“Astaga, kiai ini kok unik sekali?” pikir saya, “tidak seperti yang biasa dan sudah-sudah.”

Akan tetapi, dengan pengalaman saya sebagai seorang santri, Yai Baidawi itu, dengan segala kegrapyakan dan ceplas-ceplosnya tidak akan mengubah takzim saya menjadi pecicilan atas keluasan ilmunya. Menu buka-sahur di Gedangsewu tidak perlu diingat-ingat, apalagi dilezat-lezatkan dalam penuturan karena memang sangat rakyat jelata. Sayangnya, saya hanya ikut Ramadanan di situ, sebentar saja. Akhirnya, “panggilan belajar” kalah sama “panggilan pulang” karena ketika itu saya sudah beristri.

Saya tidak punya kenangan puasa Ramadanan saat mondok di Nurul Jadid, Paiton, karena saya tak punya pengalaman (tak pernah?) “posowan” atau ikut pondok Ramadan di sana. Atau saya lupa, ya? Benar-benar. Namun, satu hal yang terus saya ingat adalah ketika ‘pulangan‘ libur Ramadan mampir dulu di rumah Aak di Klakah. Waktu mau pamit, saya tidak dikasih izin. Karena liburan, saya ngotot mau pulang meskipun dilarang. Ternyata, dari belakang, Aak mengguyur air ke atas kepala saya maka basahlah pakaian ini semua: pulang pun tertunda.

Puasa di mondok sangat mengesankan. Kesan itu akan berlipat-lipat kalau diingat sekarang: ketika kini saya sudah ‘mulang‘ dan jarang mengaji; ketika kalau mau makan tinggal colek di dapur tak perlu antri di warung. Anda yang tidak pernah mondok, bolehlah nyicipi pengalaman mondok di bulan Ramadan.

Ustaz/ustazah yang pengalaman belajar agamanya hanya diperoleh secara otodidak atau diperoleh dari majelis taklim yang diampu oleh ustaz/ustazah yang juga hanya belajar agama secara otodidak, baiknya ikutan mondok Ramadan di pondok terdekat, bukannya malah ngisi khutbah dan ceramah di televisi, punya segmen khusus lagi. Belajar otodidak itu bolehlah kalau hanya sekadar buat menghafal hadis-hadis pendek plus terjemahannya, tapi untuk mendalami tauhid dan fikih dan ushul-nya, janganlah sama sekali.

Baca juga:  Kisah Gus Baha: Nasab, Perkawinan hingga Karir Intelektual

Ibarat kata, mumpung Ramadanan, kulakanlah dulu, habis itu baru jualan! Jangan jualan tanpa modal, khawatir yang imitasi Anda jual sebagai yang asli.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)

Komentari

Scroll To Top