Sedang Membaca
Kiai Idris Patapan: Kesabaran
M Faizi
Penulis Kolom

Penyair, tinggal di Pesantren Annuqoyah, Sumenep

Kiai Idris Patapan: Kesabaran

Saya menganggit puisi untuk seorang kiai. Saya menulisnya di tahun 2006, ketika saya belum juga dianugerahi keturunan padahal menikah sudah 3 tahun lamanya. Berikut puisi berjudul “Patapan” ini:

Ke lengkung langit timur
tengah malam, saat jemari para pahlawan
mengusap ubun-ubun Nusantara di muka bumi
ujung gerigi ulir bintang mengukir
gugusan rejang rajah tapak kaki peziarah
aku datang, Patapan
pejalan ribuan mil ke tanah silam

Aku dan masa lalumu:
berbaring, beradu punggung di hening pucuk tidur
agar dalam mata yang sama-sama mengatup
ada titik yang sama-sama dipandang: kegelapan
meski bunga mimpi tak sama saat menguncup

Berjalan di pematang-pematang kertas
yang berdenyar oleh tinta sajak-sajakmu
kurasakan tapak kaki melesak, jejak berkerak
ujung apakah namanya
bagi pengembara yang lupa langkah kakinya?
engkau membacakan kitab hayat bait terakhir:
batas apakah namanya, jika gerak adalah berpikir?

Doa lengang para pertapa
mengangkut bermilyar kubik debu
bersamaku, tiba di selasarmu:
“Oh, lama nian tak ada tamu…”

Aku dan mata sembab kesedihanmu:
seperti tembarau dan rumput gelagah
menyuling embun surgawi dari pancuran langit
serupa lidah fakir saat mencecap ludah
lumpuh dan tabah, tapi tak mau jika harus menadah
namun aku kecut takut bersama jerit
sementara engkau tegar menantang sakit

Hidup derana di negeri gemah ripah loh jinawi
tentu tidak seperti degup majas di dalam puisi
karenanya, Nusantara harus dipetakan kembali
agar masa lalu dan mata sembab kesedihanmu
menjadi ibukota seluruh fakir-miskin rakyatnya
di dataran tinggi keinginan para pahlawan
yang tak terkabul karena tamak-loba manusia

Jadilah yang tertinggi, Patapan
sebab hanya di tempat yang tertinggi
semburat cahaya sempana langit Nusantara
tiba pertama kali di muka bumi

* * *

Dulu, saya sering berkunjung ke makam ini, makam Kiai Idris (kadang disebut juga Buju’ Mudarin) ini, sekarang jarang-jarang. Tujuan saya ke sana adalah ‘tabarrukan’: kadang mengaji Alquran, kadang hanya sekadar mengirim Surah Al-Fatihah, bahkan pernah pula hanya duduk-duduk menulis puisi.

Baca juga:  Seabad Usmar Ismail (3): Ia Tetap Asing

Cara ini saya anggap sebagai bentuk terima kasih kepada beliau karena telah menurunkan generasi hebat yang dapat dibuktikan dengan meneruskan ajaran-ajarannya secara istikamah, bahkan hingga sekarang.

Untuk mereka yang telah tidur tenang di tempat ini, juga untuk anak cucunya yang tersebar di berbagai penjuru, saya berdoa.

Berkunjung ke Patapan merupakan tradisi nenek saya, Nyai Arifah binti Abdulllah Sajjad. Dulu, ketika saya masih kecil, nyaris setiap Jumat pagi, kami—yang masih kecil-kecil itu—diajak mendiang ke tempat ini.

Kiai Ahmad Basyir, konon, juga sangat sering ke tempat ini. Akan tetapi, karena kala itu kami masih culun, maka tak pernah terbersit pertanyaan “tempat apakah ini?” di dalam benak. Kami hanya gembira karena Mbah Lut, istri mbah Nawawi yang menempati ‘patobin’, selalu menyiapakan pisang goreng besar-besar untuk kami, terkadang bahkan lengkap dengan nasi jagung bersayur merunggai, lengkap dengan cakalan dan sambal.

Oh, ya, hampir lupa. Patapan adalah nama sebuah dusun di ujung selatan Desa Guluk-Guluk, tepatnya ujung selatan sisi timur (timur daya). Kemungkinan besar, kata “Patapan” berasal dari ‘patapaan’ (dari asal kata ‘tapa’) yang dalam bahasa Madura berarti tempat bertapa.

Dari tempat saya, Patapan berjarak kira-kira 2 kilometer kalau ditempuh menggunakan sepeda motor/mobil dan hanya 1.400 meter jika dihitung dari jarak udara (citra satelit). Saat ini, ada Kiai Fathul Karim dan Kiai Asy’ari (keduanya dari jalur Ny. Halimatus Sa’adah binti Idris) yang menjadi dua sesepuh di sana.

Baca juga:  Manusia dan Tuhan (3): Refleksi atas Manusia dan Kebebasan Memilihnya

Belakangan, setelah saya dewasa, setelah saya tahu banyak hal dan sesekali datang ke acara pertemuan bani atau silaturahim tahunan, barulah saya bisa bertanya:

“Siapakah Kiai Idris yang dibaringakan di tempat terpencil ini sebenarnya?”

Jangankan Anda yang ada di jalur ‘liyan’, saya saja yang termasuk sanak seberindanya tidak banyak tahu tentang apa dan siapa Kiai Idris Patapan ini. Beliau tidak banyak dikenal mungkin saja karena ‘mastur’. Salah satu alasannya adalah karena ia tinggal dan wafat di dusun yang tersembunyi itu.

Namun, sekarang, orang-orang mulai mencari tahu ini-itunya setelah anak cucunya keturunannya nyata-nyata aktif di bidang diniyah, pesantren, pendidikan, dan kegiatan keagamaan lainnya.

Hal lain yang membuat manakibnya semakin samar adalah rentang masa yang terpaut jauh dengan era saya di zaman sekarang.

Ya, tidak ada satu pun data kunci tentang Kiai Idris karena beliau wafat di awal 1900-an atau bahkan sebelum itu. Yang tertinggal sekarang hanyalah nisan dan pemakaman keluarga, juga anak cucu yang meneruskan perjuangannya.

Berikut senarai nama anak cucu beliau:

• Kiai Khatib (menikah dengan Nyai Bani). Beliau adalah perintis PP Al-Amien Prenduan

• Nyai Nursiti (menikah dengan Kiai Hasan dan Kiai Imam). Darinya, lahir penerus yang tersebar di Bataal dan Pesantren Karay, Ganding.

Baca juga:  Haul Nurcholish Madjid (7): Kenangan Pribadi Bersama Cak Nur

• Kiai Hafidzuddin (menikah dengan Nyai Nur Mina). Darinya, muncul generasi pendiri PP Hidayatut Thalibin (Lembung, Pragaan), PP Al-Islah (Daleman, Ganding), dan sebagian keturunan lagi yang tersebar di Jember.

• Nyai Mariyah (menikah dengan Kiai Muhammad As-Syarqawi, pendiri PP Annuqayah). Saat ini, keturunan Nyai Mariyah umumnya tinggal di Guluk-Guluk.

• Nyai Halimatus Sa’diyah (menikah dengan Kiai Munawwar, Kembang Kuning, Pamekasan). Dari pernikahan ini, lahir generasi yang melanjutkan perjuangannya di PP Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo, PP Sumber Anyar (Tlanakan) dan PP Kembang Kuning (Lancar, Larangan), serta sebagian pesantren di Oro/Toronan (ketiga nama wilayah terakhir terletak di Pamekasan).

• Halimatus Sa’adah (menikah dengan Kiai Bakri). Darinya, lahirlah generasi perintis PP Majlisus Sa’adah (Glenmore), PP Al-Muqrie (Prenduan), dan PP Al-Is’af (Kalabaan, Guluk-Guluk).

Demikianlah sedikit kisah keturunan Kiai Idris Patapan (konon beliau berasal dari Lembung, Pragaan). Apa rahasia amalan atau riyadah Kiai Idris sehingga anak-cucunya begitu berjaya di bidang yang digelutinya, terutama bidang dakwah, pesantren, dan agama pada umumnya?

Dari pamanda Afifi Nawawi saya mengulik rahasia ini dan barulah tahu, bahwa di antara sekian sifatnya yang mengagumkan, ada satu kata yang paling tepat untuk menyebutkan keteladanan terbesar dari Kiai Idris Patapan: kesabaran.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
3
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top