Sedang Membaca
Abu Nawas: Tuhan Tak Pernah Mengatakan “Celakalah Orang-orang yang Mabuk”
M. Faisol Fatawi
Penulis Kolom

Pengajar di Fakultas Humaniora UIN Malang. Pegiat literasi di Kota Malang. Menerjemah banyak buku dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia. Menyelesaikan program doktoral di bidang Pemikiran Islam, UIN Sunan Ampel Surabaya, dengan disertasi tentang "Naratologi al-Qur'an".

Abu Nawas: Tuhan Tak Pernah Mengatakan “Celakalah Orang-orang yang Mabuk”

Siapa yang tidak kenal dengan Abu Nawas. Penyair yang dilahirkan di Ahwaz (sebuah wilayah yang terletak di Khurasan) ini hidup pada era khalifah Abbasiyah, tepatnya tahun 763 M. Ibunya seorang keturunan Persia, sementara ayahnya seorang prajurit di era khalifah Marwan bin Muhammad pada era Umaiyah.

Sosok Abu Nawas sangat terkenal dan disegani di kalangan para penyair, baik mereka yang sezaman maupun sesudahnya. Kecerdikan dan kecerdasannya diakui. Ibn Khalikan meriwayat, dengan mengutip komentar Ismail bin Naubakht, bahwa “aku tidak menemukan sosok yang lebih luas cakrawala pengetahuannya selain Abu Nawas. Bahkan lebih cerdas darinya.”

Sebagai seorang penyair, Abu Nawas telah menorehkan ribuan bait syair. Syair-syairnya begitu indah dan memikat orang-orang yang mendengarkannya. Kepiawiannya dalam bersyair menjadikan sosok Abu Nawas sangat dengan para penguasa ketika itu. Ia juga dikenal sebagai “bapak” penyair khamer (syu’ara’ al-khamriyat).

Dalam sebuah riwayat diceritakan, bahwa suatu ketika khalifah Harun al-Rasyid secara tidak sengaja masuk pada sebuah tempat yang di dalamnya dihuni oleh budak-budak cantik. Sang khalifah mendapati perempuan-perempuan itu sedang membersihkan diri. Lekuk tubuh mereka tidak tampak jelas karena tertutup oleh rambut panjang yang sedang disisir. Sang khalifah sangat takjub dengan kecantikan mereka. Sang khalifah lantas kembali ke sebuah majlis dan bertanya: “siapa yang pandai bersyair?” Yang lain menjawab: “Basysyar dan Abu Nawas.”

Baca juga:  Melayani Tuhan

Khalifah Harun al-Rasyid pun mengundang Abu Nawas ke istana, menceritakan kejadian yang ia alami. Lalu meminta Abu Nawas untuk menyenandungkan peristiwa itu dalam bentuk untaian syair. Abu Nawas pun bersenandung:

Kemejanya basah tertuang air
Pipinya mengembang menyimpan malu
Udara membalutnya dalam telanjang
Lebih tipis dari udara
Bau wangi mengalir seperti air
Ke dalam air yang menular di sebuah wadah
Setelah selesai, dia terbang penuh riang
Segera mengambil jubahnya
Dia melihat seseorang sedang mengamati dan mendekat
Bayangan itu telah menggelapkan cahaya
Fajar subuh menghilang, bersembunyi di bawah malam
Air mengalir di atas air
Maha suci bagi Tuhan, dan Dia telah membebaskannya
Sebagai yang terbaik pada wanita

Mendengar untaian syair itu, khalifah Harun al-rasyid kemudian memberikan hadiah kepada Abu Nawas 4.000 dirham. Sang khalifah pun memuji kepiawiannya.

Meskipun dikenal dengan para khalifah, namun dalam diri Abu Nawas menyimpan sosok yang ambigu. Di sisi lain, Abu Nawas juga tak segan-segan mengkritik penguasa. Melalui syair-syair khamernya, Abu Nawas telah menyoroti penguasa dan gaya hidup yang ada di sekitarnya.

Di tangannya, khamer yang merupakan minuman yang sudah dikenal masyarakat Arab jauh sebelum Islam datang, diubah dan diolah menjadi untaian syair yang mampu menyedot perhatian penguasa. Khamer tidak saja sebagai minuman biasa, tetapi dijadikan senjata untuk menyerang perilaku penguasa pada saat yang cenderung hedonis dan meruginakan rakyat. Abu Nawas melalui syair khamernya menyatakan:

Baca juga:  Humor Gus Dur: Gus Dur dan Palu Arit

Jauhkan masjid untuk hamba-hamba, yang engkau diami

Mari dengan kami mengelilingi para peminum khamer, untuk minum bersama-sama

Tuhan-mu tidak mengatakan “celakalah bagi orang-orang yang mabuk”

Tetapi, tuhan berfirman: “celakalah orang-orang yang shalat diantara kita”

Melalui syair itu, secara jelas Abu Nawas mengkritik perilaku orang-orang yang secara agama taat. Tetapi perilaku mereka tidak mencerminkan nilai-nilai dan ajaran agama Islam. Inilah cara cerdas Abu nawas “membalik” logika keagamaan dengan menarasikan khamer yang diharamkan dalam agama. 

Di mata Abu Nawas orang-orang yang mabuk karena minum khamer tidak jauh berbeda dengan orang-orang yang menjalankan salat lima waktu tetapi perilakunya sama sekali tidak mencerminkan nilai agama. Ancamannya lebih berat orang yang salat (“celakalah orang-orang yang salat”) daripada para pemabuk khamer. Karena Tuhan tidak pernah mengatakan “celakalah orang-orang yang mabuk”. “Ketakwajaran” bepikir ini yang menjadikan Abu Nawas lebih sebut sebagai sosok zindiq (ateis). 

Meskipun demikian, dalam diri Abu Nawas terdapat sosok keketawadukan. Hal itu terlihat dalam syairnya ilahi lastu lil Firdausi ahla (Tuhan, aku bukanlah orang yang pantas menghuni surge Firdaus). Bahkan syair itu di berbagai banyak masjid, majlis dan event sering dibaca bersama-sama. 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
3
Senang
2
Terhibur
3
Terinspirasi
6
Terkejut
3
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top