Sedang Membaca
Melawan Korupsi Lewat Korupsi

Mahasiswa di Universitas Sidi Mohammad Ben Abdillah Fes Maroko. Pecandu teh susu, tapi kalau adanya kopi susu ya diminum juga. Berusaha menjadi pembaca yang baik sekaligus ingin menjadi pendengar budiman. Semoga menjadi manusia yang dapat memanusiakan manusia .

Melawan Korupsi Lewat Korupsi

“Keperwiraan! Keperwiraan! Keperwiraan menghadapi segala-galanya. Cukup keperwiraan yang dapat menolong Indonesia, Pak.”

(Pramoedya Ananta Toer- Korupsi)

Akhir-akhir ini, Indonesia sedang ramai membincangkan politik. Berbagai media berebut menayangkan berita mengusung pasangan yang mampu menaikkan rating mereka. Pemberitaan begitu cepat tersebar dan tak dapat dikontrol, mana yang berisikan sebuah fakta dan mana yang mengandung unsur hoaks.

Tak sampai di situ. Masyarakat pun begitu mudah terpancing dengan seruan-seruan provokatif yang tersebar lewat media daring. Secara tak sadar kita diajak untuk saling membenci, mudah berkomentar negatif, hilangnya rasa penghormatan kepada orang lain. Inilah beberapa gejala yang sering kita temukan dalam era milenial ini.

Dua hari yang lalu, saya menyelesaikan novel lawas karangan salah satu sastrawan besar yang pernah dimiliki Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Dalam pengantar buku ini, Hasta Mitra selaku penerbit memberikan catatan penting, bahwa novel ini rampung pada 1953 semasa ia bermukim di Belanda selama enam tahun. Novel ini diterbitkan kembali oleh Hasta Mitra sebagai upaya menerbitkan ulang kumpulan karya Pram agar bisa dinikmati khalayak umum dan melestarikan pemikiran Pram dalam khazanah sastra Indonesia.

Korupsi. Inilah judul yang dipilih Pram untuk bukunya. Buku ini mengisahkan pergolakan batin seorang kepala kantor yang miskin bernama Bakri. Kemiskinan menjadi pilihan hidupnya selama bertahun-tahun dengan menuruti hati nuraninya untuk tidak korupsi.

Hingga pada satu titik, ia muak dengan kemiskinan dan segala tetek bengeknya. Ia kesal bagaimana bisa hidup merana dengan istri setia dan empat orang anak, yang jangankan untuk membayar biaya pendidikan mereka, untuk makan sehari-hari pun, terpaksa dengan lauk seadanya. Ia juga berkaca pada teman-teman senasib yang kini meraih pangkat tinggi, punya mobil, rumah bak gedung, hanya dengan menjual kejujuran mereka demi jabatan dan kemewahan dunia.

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (58): Taisir Musthalah al-Hadits, Kitab Ilmu Hadis Praktis dan Sistematis

Keputusan semakin bulat dan korupsi pun mulai dilakukan. Awalnya ia mulai merubah gaya berpakaian, karena pada saat itu, berjas dan berdasi identik dengan tikus-tikus kantor atau maling negara. Setelah mengubah penampilan, Bakri mulai membuat siasat memanipulasi anggaran. Yang menarik, nominal yang disebut dalam novel ini berbeda dengan zaman sekarang. Penulis menggunakan skala ribuan hingga ratusan ribu rupiah yang waktu itu bernilai besar. Tentu yang menjadi inti persoalan bukan nominalnya, tapi tindakan korup dan nirkejujuran inilah yang selalu berevolusi sesuai zaman.

Ada beberapa kritik sosial yang dilancarkan penulis, salah satunya lewat tokoh Sirad. Sirad disini memiliki peran sentral yaitu sebagai sekretaris pribadi Bakri. Ia mencerminkan generasi kaum muda yang kritis, bersih, mempunyai harapan besar dalam membangun bangsa, serta banyak membaca. Penulis sangat lihai dan jeli dalam mengatur bagaimana karekter Sirad begitu hidup dengan semangat membara melawan korupsi.

Bayangkan saja, Bakri membesarkan Sirad seperti anaknya sendiri. Ia juga memberi kesempatan bekerja di kantornya. Tak hanya itu, Bakri juga membolehkan Sirad kuliah di sela-sela jam kerja yang padat. Semua itu berkat etos kerja dan pemikirannya yang menawan. Hingga ia bisa menggulingkan Bakri kantornya melalui investigasi yang ia lakukan bersama para karyawan lain yang menolak adanya tindak KKN di kantor mereka.

Baca juga:  Sabilus Salikin (36): Karamah atau Keramat

Tokoh lain yang sama pentingnya adalah istri Bakri. Lewat tokoh ini penulis menitipkan pesan moral, bahwa korupsi bertentangan dengan nilai-nilai dasar kemanusiaan. Sebagai perempuan ia memiliki hati yang teguh sekaligus sederhana dalam memandang kehidupan. Bagi sang istri, kemelaratan yang didasari atas sebuah kejujuran hati adalah sebuah kebahagiaan. Daripada harus hidup bergelimang harta, tetapi kita menipu hati kita sendiri.

Penulis juga memperkuat tokoh istri dengan memperkaya diksi percakapan. Bagaimana seorang istri membaca gerak-gerik suami hingga melawan dengan anggun melalui kata-kata yang pedas, tapi dengan anomali kepasrahan dan kepatuhan terhadap suami. Salah satunya ketika berusaha mengingatkan suaminya perihal tingkah lakunya yang mulai berubah, ia berkata:

“Jika engkau sungguh-sungguh tak mau dicegah dalam niatmu, besok lusa engkau akan jual benteng pertahananmu dengan uang. Kemudian engkau kawin lagi. Kemudian engkau emjauhi dan dijauhi kawan-kawanmu. Engkau mendapat kawan-kawan baru yang semuanya dalam ketakutan. Engkau harus lari dan terus berlari, terus sampai akhirnya engkau rebah sendiri tiada bertenaga.”

Ternyata benar apa yang diucap oleh sang istri. Setelah Bakri melakukan korupsi pertamanya. Ia begitu dipenuhi rasa ketakutan pada segala hal. Nafsu telah menguasai dirinya. Kekerasan pertama dilakukan terhadap istrinya menimbulkan keretakan pada keluarga. Permasalahan semakin kompleks, ketika Bakri mulai selingkuh dengan Tijah. Hingga ia meninggalkan keluarganya karena ia tak menemukan lagi kenyamanan seperti dahulu.

Baca juga:  Toko Kitab Sapakira Ampenan, NU, dan Sebuah Kota

Apa yang diucapkan oleh istrinya diatas semakin nyata adanya. Ia mulai mengenal kehidupan baru yang penuh kemewahan. Ia mulai dijauhi teman-teman kantor terutama Sirad yang dulu sangat loyal kepadanya. Ia juga tergabung dalam perkumpulan zinah dengan kalangan orang-orang terpandang. Tujuannya satu, untuk menjalin ikatan antar koruptor agar tidak saling sikut satu sama lain. Mungkin hal ini lazim ditemukan hingga hari ini. Bisa dilihat dengan adanya bisnis esek-esek di gedung Parlemen yang dilakukan para wakil rakyat.

 

Hari ini korupsi semakin tumbuh subur dari benih yang ditanam oleh para penjajah. Korupsi pun mengalami mutasi sosial, yang dahulu hanya menjadi urusan moral individu, sekarang bergeser menjadi fenomena sosial yang membudaya. Korupsi tak lagi menjadi hal yang memalukan, bahkan para koruptor pun masih bisa tersenyum manis sambil melambaikan tangan ketika tertangkap.

Banyak hal yang bisa diambil hikmah dalam novel ini. Setidaknya kita sama-sama merenung bahwa korupsi adalah musuh bersama. Apa pun bentuknya, apa pun dalihnya, korupsi tetap merenggut kemanusiaan. Mari kita mulai dari diri sendiri dengan selalu mawas pada apa yang bukan milik kita. Generasi muda hari ini adalah penentu arah bangsa masa depan, tanpa keperwiraan dan kejujuran akan dibawa ke mana bangsa yang mulai ringkih ini, bukankah begitu?

Rabat, 12 Agustus 2018

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top