Sedang Membaca
Midah, Perempuan Muda yang Bertahan Hidup di Jakarta
Muhammad Iqbal
Penulis Kolom

Muhammad Iqbal. Sejarawan. Dosen Prodi Sejarah Peradaban Islam IAIN Palangka Raya. Editor Penerbit Marjin Kiri. Menulis dua buku: Tahun-tahun yang Menentukan Wajah Timur (Yogyakarta: EA Books, 2019), dan Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai, 27 Januari 1953 (Yogyakarta: Tanda Baca, 2021).

Midah, Perempuan Muda yang Bertahan Hidup di Jakarta

Midah Simanis Bergigi Emas dikarang oleh Pramoedya Ananta Toer tahun 1950-an dengan setting tempat Jakarta. Midah Simanis Bergigi Emas merefleksikan hubungan antara ide-ide mengenai peran ibu dan pernikahan serta etika seksual yang berlaku di Jakarta setelah perang, pascarevolusi.

Novelet yang tebalnya hanya 132 halaman ini menjadikan perempuan sebagai tokoh utamanya. Nama tokoh itu adalah Midah. Pendek sekali namanya. “Midah” saja. Kulitnya kuning, wajahnya agak bulat, senyumnya manis sekali membuat para lelaki jatuh hati kepadanya, cantik parasnya, lentik suaranya, dan kuat hatinya.

Midah dilahirkan di tengah keluarga yang taat beragama. Hadji Abdul nama ayahnya. Militan terhadap musik-musik berbau Arab. Umi Kalsum yang menjadi penyanyi pujaan sang ayah. Ketika usianya 9 tahun, kehidupan Midah sangat menyenangkan. Ia dimanja dan dipangku-pangku. Karena saat itu ia menjadi anak tunggal.

Situasi berubah ketika Midah mempunyai adik-adik. Di rumah, ia sudah mulai didaifkan. Perhatiaan sang ayah tercurahkan sepenuhnya kepada adik-adik Midah. Ia tak lagi ditimang-timang.

Ia tak lagi ditemani ayahnya untuk mendengarkan lagu Umi Kalsum. Midah sekarang seperti terasing di rumah sendiri. Adik-adiknya telah merampas segala kebahagiaannya.

Merasa jemu, Midah sering keluar rumah dan biasanya pulang sore atau bahkan malam hari. Begitu seterusnya. Akan tetapi, orangtuanya seakan tidak perduli dengan Midah. Situasi tidak berubah sama sekali. Hal ihwal ini membuat Midah semakin kerasan untuk bermain-main di jalanan.

Baca juga:  Perempuan Perdamaian (2): Perlindungan Hukum terhadap Perempuan dan Anak Korban Konflik Sosial

Di jalanan itulah Midah terpukau dengan para pengamen keliling. Terutama lagu-lagu keroncong yang mereka mainkan. Midah gemar sekali dengan keroncong. Ia ternyata sudah bosan dengan Umi Kalsum. Dibelinya beberapa piringan hitam keroncong.

Sesingkat itu Midah sudah hafal semua isinya. Saat itulah ia kepergok ayahnya. Ia dihajar habis-habisan gara-gara mendengarkan “lagu-lagu haram” itu–menurut Hadji Abdul–di rumah. Di antara rasa takut berkecamuk di hati, Midah membukut kebencian kepada ayahnya. Ibunya juga tidak bisa berbuat apa-apa. Di hadapan ayahnya, sang ibu tak mempunyai kekuatan.

Sampailah suatu hari tatkala ayahnya ingin menikahkan Midah dengan laki-laki pilihan si ayah. Syaratnya, laki-laki itu berasal dari Cibatok, desa ayahnya, berharta, dan taat beragama. Setelah tiga bulan perkawinan, Midah kabur dari suaminya, Hadji Terbus, dengan membawa beban hamil karena tahu bahwa Hadji Terbus memiliki banyak istri. Midah tersesat di tengah ramainya jalanan Jakarta pada 1950-an.

Dalam pelarian inilah–Pramoedya melukiskannya dengan cergas–perempuan muda ini begitu kuatnya untuk bertahan hidup. Midah yang tidak mudah mengambau dengan kerasnya Jakarta.

Meskipun ia hanya menjadi penyanyi dengan panggilan “simanis bergigi emas” dalam kelompok pengamen keliling dari satu restoran ke restoran lainnya, bahkan dari pintu ke pintu rumah warga.

Dengan kandungan yang semakin membesar dari hari ke hari, Midah tampak begitu kelelahan. Namun manusia tidak boleh menyerah pada kelelahan. Hawa kehidupan jalanan yang liar dan ganas harus diarungi. Kita tahu Midah memang kalah secara moral dalam pertaruhan hidup itu, menjadi penyanyi sekaligus pelacur.

Baca juga:  Sosialisme Religius Bung Hatta

Selama masa kehamilannya, jelaslah bahwa anak yang belum dilahirkannya itu merupakan alasannya untuk hidup. Saat anak itu lahir, Midah tidak peduli terhadap orang-orang di rumah sakit yang mengancam akan menyebut anak itu sebagai anak haram karena nama ayahnya tidak diberitahukan. Bagi Midah, perannya sebagai ibu adalah yang paling pokok.

Midah kemudian berjumpa dengan Ahmad, serta jatuh cinta padanya. Ia tinggal dengan Ahmad dan hamil kembali–perihal ini menjadi dalih bagi Ahmad untuk meninggalkannya. Midah terusik oleh perbedaan yang dibuat masyarakat antara anak sah dan anak haram, tapi ia tidak dapat mengubah situasi itu.

Anak pertamanya, yang dikandung dalam batas-batas aman pernikahan, berstatus sah dan dapat diterima di masyarakat. Midah dapat menghadapi masyarakat sebagai ibunya meski ia membenci ayah dari anak itu, dan anaknya tidak mengenal sang ayah. Anak kedua, yang merupakan hasil hubungan luar nikah tidak mendapat tempat di jagat ini karena dia tidak akan pernah diterima oleh masyarakat. Sebagai ibu, ia menanggung beban tersebut.

Hubungan antara Midah dan ibunya memainkan peran menarik dalam cerita ini. Saat Midah masih kecil, ia memiliki hubungan yang lebih baik dengan bapaknya tinimbang dengan ibunya. Pernah suatu kali dalam pertengkaran dengan bapaknya, sang ibu tidak memberikan perlindungan; malah babunya yang membela Midah.

Baca juga:  Emma Poeradiredja, Pelopor Kesetaraan dari Tanah Pasundan

Sang ibu mengabaikannya. Ia dibayangi suaminya. Ia tidak pernah mengajukan pendapatnya sendiri, namun demikian, saat sang suami untuk sementara keluar dari peredaran karena kondisi kesehatannya yang memburuk, ibu “kehilangan sifat yang biasa, yang tidak pernah menyumbangkan suara”.

Tidak seperti sang suami, dalam keadaan sulit, ibu turun tangan untuk menjaga keutuhan keluarga. Saat Midah pulang sebentar ke keluarganya, ibunyalah yang menjadi seorang nenek yang penyayang dan ibu yang bersemangat.

Kedua orangtua Midah menunjukkan pemafhuman yang agam terhadap kehamilan kedua yang tidak diinginkan anak perempuan sulung mereka itu. Mereka menerima Midah, tidak merasa malu terhadap dunia luar, dan menerima Midah di rumah mereka. Midah lebih bermasalah dengan rasa bersalahnya karena melanggar ideologi yang dominan.

Ia meninggalkan anak pertamanya di rumah kedua orangtuanya dan pergi ke dunia luar menuju kehidupan di pinggiran masyarakat. Bahtera hidup Midah ditakdirkan tak bersasmita oleh cinta sejati.

Arkian, dalam Midah Simanis Bergigi Emas, Pramoedya menekankan bahwa manusia tidak boleh menyerah pada kelelahan. Hawa kehidupan jalanan yang liar dan ganas harus diarungi, meskipun pada akhirnya Midah memang kecundang secara iktibar dalam pergulatan hidupnya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top