Sedang Membaca
Teror Peradaban (1): Kelaparan
M. Amruddin Latif
Penulis Kolom

Santri Pondok Tremas Pacitan dan Krapyak Yogyakarta. Saat ini sedang menempuh S3 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prodi Studi Islam.

Teror Peradaban (1): Kelaparan

Whatsapp Image 2021 07 06 At 9.16.50 Pm

Sebagaimana yang dikemukakan Ibnu Khaldun dalam karya monumentalnya Mukaddimah, bahwa setiap peradaban berjalan pada siklus yang terus terulang. Teori siklus yang digagas Ibnu Khaldun berdasar penelitian mendalamnya mengenai perjalanan panjang sebuah peradaban, dari lahir, tumbuh, dewasa, stagnan, menurun, dan hancur. Seakan sebuah kepastian bahwa setiap peradaban akan menemukan kehancurannya, sebagaimana makhluk hidup yang menjumpai kematiannya.

Ada banyak faktor yang membuat sebuah bangsa hancur, namun pada tulisan ini, kami akan mengulas faktor-faktor yang paling berpengaruh dan sering terjadi dalam sejarah dunia, yang membuat sebuah bangsa atau peradaban tinggal puing-puingnya.

Kelaparan: Kontrak pada Kematian

Sepanjang sejarah, kelaparan menjadi salah satu musuh terburuk kemanusiaan. Banyak manusia yang hidup di tubir garis kemelaratan biologis dan terpaksa tunduk pada gizi buruk dan kematian. Makan adalah hal dasar yang dibutuhkan mahluk hidup untuk bertahan hidup, cita-cita semulia apapun akan teramat mustahil dipikul manusia jika perutnya kosong.  Bangsa yang tidak beres menyelesaikan kebutuhan primer rakyatnya, maka kejayaan adalah hal yang impossible bahkan untuk sekedar diimpikan. Masih menurut Ibnu Khaldun, manusia bisa mendiskusikan tentang ideal dari sesuatu, selama kebutuhan dasar telah terpenuhi.

Dalam catatan sejarah dunia, kasus kehancuran sebuah bangsa karena sebab kelaparan berkali-kali terjadi. Kelaparan menjadi teror serius manusia, karena akibat yang ditimbulkan benar-benar berimbas pada kesengsaraan, bahkan kematian. Adalah Yuval Noah Harari dalam dua bukunya Sapiens dan Homo Deus; A Brief History of Tomorrow merangkum beberapa peristiwa mengerikan bernama kelaparan yang pernah terjadi di planet ini. Tragedi kelaparan yang membuat kematian massal akan kami uraikan dalam tulisan ini, dengan merujuk pada dua buku Yuval dan beberapa data sejarah dunia. Adapun beberapa catatan sejarah mengenai kemusnahan umat manusia akibat kelaparan adalah sebagai berikut:

  1. Abad Pertengahan, bencana kelaparan di India dan Mesir memusnahkan 5%-10% populasi manusia. Bencana ini bermula ketika kekeringan melanda negera, persediaan makanan menyusut drastis, transportasi lambat nan mahal, penguasa saat itu terbentur jarak dan terlalu lemah untuk memberi bantuan kepada rakyatnya.
  2. Tahun 1692-1694, akibat krisis moneter, monopoli para kapitalis, ketidakpedulian penguasa, membuat rakyat Prancis mengalami kelaparan massal. 2.8 juta manusia (15% populasi) mati. Melansir dari The Pursuit of Glory, untuk bertahan hidup rakyat Prancis harus makan makanan kotor, sisa daging yang dibuang,  darah sapi, bahkan rumput.
  3. Tahun 1695, poulasi manusia di Estonia mati.
  4. Tahun 1696, Finlandia mengalami kelaparan, dimana ¼- populasi mati
  5. Tahun 1695-1698, Skotlandia kehilangan 20% penduduk akibat kelaparan.
Baca juga:  Pesantren, Bahasa Indonesia, dan Gus Dur

Data di atas hanyalah sebagian kecil dari bencana mengerikan bernama kelaparan yang pernah terjadi di muka bumi ini. Jika menengok sejarah lebih jauh, kelaparan adalah ancaman yang sering terjadi dan siap menerkam siapapun. Tidak adanya hukum universal masyarakat pra modern, kreativitas manusia yang masih terbatas, belum diketemukannya sains, serta teknologi yang seadanya, membuat manusia zaman dulu sangat bergantung dengan alam. Satu kesalahan kecil bisa dengan mudah berakibat pada kematian satu keluarga atau bahkan satu desa.

Beberapa abad belakangan ini, seiring dengan kemajuan sains, teknologi, ekonomi, politik, manusia modern telah berhasil membuat jarak dari garis kemelaratan biologis. Kelaparan memang masih terjadi di beberapa negara, namun hal itu lebih disebabkan oleh politik, bukan sebab bencana kelaparan alamiah. Untuk membuktikan hal tersebut, kita lihat data yang disodorkan oleh Richard Dobbs dalam How the World Could Better Fight Obsety, Richard menemukan fakta bahwa di tahun 2014 lebih 2,1 miliar manusia dunia mengalami obesitas, sementara ‘hanya’ 850 juta orang menderita gizi buruk. Data tersebut cukup dijadikan bukti bahwa manusia modern telah mampu mengatasi bencana kelaparan meskipun belum merata. Kini di sebagian besar negara, kelebihan makanan jauh memberikan dampak buruk dibanding bencana kelaparan.

Baca juga:  Teror Peradaban (3): Perang

Problem Dunia Muslim

Seperti yang disinggung di atas, keberhasilan manusia modern menghindari bencana kelaparan belum merata. Terdapat beberapa negara yang masih dalam kondisi memperihatinkan, dimana sebagian dari negara-negara tersebut adalah negara muslim. Ironis memang, peradaban Islam yang dahulu pernah mencapai era kejayaan selama 5 abad, kini menjadi bangsa tertinggal. Jangankan mengejar ketertinggalan dengan bangsa Barat, beberapa negara muslim masih berkutat pada persoalan khilafiyah yang menguras energi manusianya dengan berkutat di lingkaran setan. Lingkaran setan yang dimaksud adalah ketika pikiran dan tenaga habis untuk mengurusi perbedaan yang tak kunjung ada titik temu, malahan berujung pada pertikaian hingga perang.

Kekerasan yang terjadi di beberapa negara muslim berakibat pada kesengsaraan, terlebih di kalangan akar rumput. Gizi buruk dan kelaparan adalah pemandangan mengerikan yang masih dapat dijumpai di negara-negara tersebut. Tidak hanya kekerasan, sebagai akibat dari ketertinggalan beberapa negara muslim dalam sosioekonomi, masalah korupsi juga bisa dikambinghitamkan. Melansir Transparency International, skor rata-rata negara muslim adalah 31, menunjukkan tingkat persepsi korupsi di  negara muslim lebih tinggi dari rata-rata dunia (42) pada 2013.

Kondisi ketertinggalan negara muslim disebabkan oleh banyak hal, salah satunya adalah sikap konservatif beberapa ulama. Sikap konservatif dan anti Barat masih menghinggapi banyak umat Islam hingga hari ini. Menurut mereka, pengetahuan keagamaan bersifat sempurna dan kekal, perubahan berarti kesesatan dan kerusakan. Bahkan beberapa aliran dari mereka menolak perubahan dan kemajuan. Dari ratusan ribu hadits, mereka punya hadits favorit yang terus mereka ulang-ulang; “Kullu bid’atin dhalalah, wa kullu dhalalah fi an-nar”.

Ebrahim Moosa, ilmuan muslim kontemporer mengkritik kondisi umat Islam hari ini. Dalam tulisannya The Debts and Burdens of Critical Islam, menegaskan bahwa umat Islam hari ini terlalu mengecilkan pengalaman mereka masa kini dan meragukan kemampuan intelektualnya sebagai dasar inovasi, perubahan, dan adaptasi. Gagasan Moosa tersebut merupakan pembanding di tengah maraknya ajaran konservatif di kalangan umat Islam. Dibutuhkan cendekiawan-cendekiawan baru yang mampu mengubah pola pikir umat guna menyadari ketertinggalannya dan menyelesaikan masalah-masalahnya, termasuk masalah klasik namun fundamental, yakni ketahanan pangan.

Baca juga:  Hadis Nabi dan Fenomena Masjid Jadi Tempat Penyebaran Covid-19

Belajar dari sejarah, bahwa salah satu sebab runtuhnya sebuah peradaban adalah bencana kelaparan. Hari ini kelaparan lebih disebabkan karena ketidakmampuan bangsa mengelola stabilitas politik serta minimnya pengetahuan. Karenanya, sebaiknya kita renungkan bahwa pertikaian sesama manusia karena perbedaan politik, ideologi, partai, dll perlu segera dicarikan titik temu. Energi kita habis untuk mengurusi hal tersebut, sementara hal yang lebih urgent perlu mendapat porsi yang lebih. Pendidikan, kebudayaan, teknologi, kesehatan, pembangunan, dll bisa kita kejar, bila masalah perut telah selesai.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top