Muhammad Yaser Arafat, Nisan Hanyakrakusuman, dan Pengabdian Luhur Sang Putu Séla

Fb Img 1639060803689

Muhammad Yaser Arafat itulah nama yang tertera abadi dalam akte kelahirnya. Muhammad Yaser Arafat atau MYA lahir di Desa Kebon Kacang, Langkat, Sumatera Utara 38 tahun silam. Walaupun Muhammad Yaser Arafat lahir di Langkat, Sumatera Utara, namun dalam nadinya mengalir deras DNA orang-orang séla (Mataram), sehingga Muhammad Yaser Arafat layak disebut sebagai putu séla atau cucu orang Mataram Islam.

Hal ini dapat dibuktikan dengan melakukan profilling terhadap sejarah mbah buyutnya MYA, di mana pada masa  penjajahan kolonial Belanda tahun 1800-an (era Susuhunan Hamengkubuwana II-V), keluarganya bersama dengan keluarga-keluarga yang lainnya yang saat itu hidup di Bumi Mataram Hadiningrat dikirim-paksa oleh para penjajah Belanda ke Langkat, Sumatera Utara sebagai kuli perkebunan yang kala itu dikuasai oleh Serikat Dagang Hindia Timur Belanda atau lebih familiar dengan sebutan Veerenigde Oostindische Compagnie (VOC).

Proses urban-paksa yang dialami oleh para putu buyut Ki Juru Martani tersebut ternyata menyimpan sejarah yang sangat kelam. Dalam riwayatnya, Muhammad Yaser Arafat menyebutkan bahwa para penjajah Belanda begitu sangat licik, sebelum mengirim orang-orang séla ke Bumi Langkat, Sumatera Utara mereka terlebih dahulu menyewa para jawara pilih tanding yang memiliki ajian gendam sukma untuk menggendam orang-orang séla, sehingga ketika sampai di Langkat, Sumatera Utara mereka linglung; siapa mereka, dan asalnya dari mana, serta keluarganya siapa saja, mereka tidak tahu.

Dalam khazanah javanese society, para jawara bayaran tersebut sering disebut juga sebagai londo jowo, atau orang Jawa yang mbrengkolo serta mbalelo bersekutu dengan penjajah Belanda untuk kepentingan dirinya sendiri maupun kelompoknya.

Waktu pun terus bergulir, hingga ahirnya nada-nada Proklamasi Kemerdekaan 17 agustus 1945 diproklamirkan para orang-orang séla keturunan Mataram Hadiningrat yang sejak ratusan tahun silam sudah menjajaki bumi Langkat dan beranak pinak itu pun ahirnya memutuskan untuk tetap menetap di bumi Sumatera Utara, dan membentuk urban cultural hingga saat ini, kecuali Muhammad Yaser Arafat  yang “kembali pulang” ke pangkuan Bumi Mataram sejak tahun 2001 silam.

“Kepulangnnya” pada tahun 2001 tersebut dalam rangka ngangsu kaweruh di IAIN Sunan Kalijaga (sekarang UIN Sunan Kalijaga) dengan mengambil Program Studi Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin. Setelah purna studi S-1 pada tahun 2007 ayah dari Ertaja Ahmad Jawiyanta itu pun kemudian memutuskan untuk boyong kembali ke Bumi Sumatera dari tahun 2008-2011.

Tahun 2011 menjadi momentum yang sangat penting bagi Bapak dua anak tersebut, pasalnya di tahun 2011 beliau melakukan come back ke bumi Mataram, tepatnya di UIN Sunan Kalijaga setelah dirinya mendapatkan besasiswa S-2-nya di kampus Kalijaga tersebut. Namun, setelah purna S-2, Muhammad Yaser Arafat harus berpisah lagi dengan bumi Mataram,  pasalanya suami dari ibu Istinganah tersebut mendapatkan mandat dari internal kampus untuk “boyong” ke Tlatah Medan, Sumatera Utara dari tahun 2015-2017.

Baca juga:  Perang Jawa, Pesantren, dan Haul

Namun ndilalah (biidznillāh), di tahun 2018 sebuah kabar gembira datang menghangatkan rongga dada Muhammad Yaser Arafat setelah dirinya dinyatakan “dikembalikan” lagi ke Yogyakarta Hadiningrat untuk melakukan transfer of knowladge di Program Studi Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin, dan Pemikiran Agama Islam UIN Sunan Kalijaga. Hingga saat ini beliau masih aktif sebagai teman belajar bagi para “santri” di Program Studi Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Agama Islam UIN Sunan Kalijaga.

Saya meyakini, jika mbah buyut MYA taksih gesang, pasti mereka begitu sangat bahagia, senyumnya mekar merekah, melihat Muhammad Yaser Arafat sang putu séla telah kembali pulang ke rumahnya yaitu Bumi Mataram Hadiningrat setelah leluhurnya terpisah selama ratusan tahun oleh kekejaman penjajah Belanda.

Nisan Hanyakrakusuman, dan Pengabdian Luhur Sang Putu Séla

Hubbun nisan minal iman

Mencintai nisan (ziarah kubur) adalah sebagian dari iman. (Bukan Hadits)

Tahun 2006, bersamaan dengan pagelaran FIFA World Cup Jerman 2006 yang dimenangkan oleh Italia, setelah mengandaskan perlawanan Perancis dengan skor  5-3 lewat drama adu penalti yang jua diwarnai insiden “Zidane membanteng”, alumni Pesantren Daarul Rahman, Jakarta 2001 tersebut mengalami pergolakan jiwa yang sangat dahsyat. Dalam riwayat hidupnya, MYA sempat terjebak ke dalam arus modernity, namun dirinya merasa ada yang kurang, dan mentok dengan modernity tersebut.

Seolah mendapat wahyu pinurbo dari Ki Juru Martani untuk kembali ke Mataram Hadiningrat:

Anggér, awakmu iku putu séla, ngabdiya marang negerimu Mataram Hadiningrat, muliha… muliha…

“Anakku, kamu ini cucu orang séla (Mataram), mengabdilah kepada negerimu Mataram Hadiningrat, pulanglah… pulanglah…”

Maka di tahun 2006 Muhammad Yaser Arafat mulai “ngédan” dengan melakukan  susur candi, dan ziarah ke makam-makam sesepuh pinisepuh Mataram di sekitaran Yogyakarta Hadiningrat. Momentum susur candi dan ziarah ke makam-makam sepuh itu pun ahirnya menghantarkan MYA ke pintu gerbang titik balik perjalanan hidupnya setelah cukup lama terjebak arus modernity dan menjadi putu séla yang agamis-tradisionalis,  yang senantiasa istikomah nguri-nguri budaya Jawa, termasuk dengan cara nganggit kitab Nisan Hanyakrakusuman: Batu Keramat dari Pesarean Sultanagungan di Yogyakarta.

Penganggitan kitab setebal 156 halaman tersebut dilatarbelakangi oleh perjalanan spiritualis-tradisionalis yang dilakukan oleh MYA sejak 2006 silam. Di dalam kitab Nisan Hanyakrakusuman: Batu Keramat dari Pesarean Sultanagungan di Yogyakarta, termaktub berbagai catatan penting atas long trip dari nisan ke nisan Hanyakrakusuman yang sudah ada sejak abad XVI Masehi.

Baca juga:  Kisah Mufti Syafi’iyyah Makkah dengan Penasihat Kolonial Hindia Belanda: Surat-Surat untuk Snouck Hurgronje

Lewat buku Nisan Hanyakrakusuman: Batu Keramat dari Pesarean Sultanagungan di Yogyakarta itu pula MYA berusaha untuk menguak tabir pernisanan yang berada di sekitaran Yogyakarta Hadiningrat yang umurnya sudah mencapai 400-an tahun. Dalam setiap ziarah kuburnya Muhammad Yaser Arafat melakukan profilling dan sertifikasi  nisan by nisan, mulai dari ciri-ciri nisannya, yang meliputi mustakanya, bahunya, badannya, pinggangnya, kakinya, serta kijing makam yang menyelimuti pesaréan para sesepuh dan pinisepuh, serta punggawa Mataram Hadiningrat. Mulai dari yang menjabat sebagai Sultan Agung, Senapati, Patih, Jaksa, Menteri, Penghulu, hingga Kiai.

Penganggitan kitab Nisan Hanyakrakusuman: Batu Keramat dari Pesarean Sultanagungan tersebut juga sebagai ungkapan terima kasih kepada pada para sesepuh, dan pinisepuh Mataram Hadiningrat yang telah melakukan babad alas, serta mbau reksa di wilayah tersebut (kampung-kampung yang ada pesaréan sepuhnya) yang dulunya sebuah hutan lebat. Mulai dari musyawarah babad alas, menggali sumur, membuat padasan, mendirikan langgar, membangun rumah-rumah penduduk, mengumandangkan adzan, shalawatan serta mengajarkan ajaran agama Islam di tanah perdikan tersebut.

Selain sebagai ucapan terima kasih kepada sesepuh, dan pinisepuh tiang séla, penganggitan kitab Nisan Hanyakrakusuman: Batu Keramat dari Pesarean Sultanagungan merupakan sebuah upaya dokumentasi serta katalogisasi pernisanan (pesaréan) Nusantara, utamanya yang berada di sekitaran Yogyakarta Hadiningrat. Dokumentasi dan katalogisasi pernisanan tersebut juga merupakan langkah preventif (preventive strike) agar sampai kapan pun orang tahu makam-makam sepuh di Bumi Yogyakarta Hadiningrat, siapa saja yang disarékan di pesaaréan tersebut, asal usulnya bagaimana sehingga orang-orang tidak kepatén obor, termasuk anak keturunan Muhammad Yaser Arafat itu sendiri.

Dalam long trip ziarah nisan by nisan, blusukan dari pesaréan satu ke pesaréan yang lainnya Muhammad Yaser Arafat seringkali menitikkan air matanya karena dirundung kesedihan yang mendalam. Rongga dadanya menyempit, digelayuti awan pilu melihat makam-makam sepuh yang nisan hingga kijing pesaréan-nya berantakan tidak terawat oleh anak keturunannya.

Mungkin jika para ahli kubur tersebut taksih gesang, mereka akan menangis, hingga kering airmatanya menyaksikan rumahnya berantakan tidak dirawat oleh anak cucunya.

Namun demikian, Muhammad Yaser Arafat juga memaklumi hal itu, karena banyak faktor yang menyebabkan tidak terawatnya pesaréan para sesepuh, dan pinisepuh Mataram tersebut, utamanya yaitu faktor ketidaktahuan akan asal muasal pesaréan tersebut, siapa yang disarékan, dan kapan disumarékan. Karena minimnya literasi tentang pernisanan (pesaréan) membuat banyak makam tidak terawat, padahal mereka adalah para sesepuh, dan pinisepuh yang ikut melakukan babad alas sekaligus mbau reksa wilayah tersebut yang usianya sudah mencapai ratusan tahun.

Baca juga:  Gadis Kretek, Kota Kretek, dan "Pahlawan" Kretek

Nisan dan Cover Book; sebuah History

Dalam memilih nisan yang akan dijadikan sebagai cover kitab Nisan Hanyakrakusuman: Batu Keramat dari Pesarean Sultanagungan, Muhammad Yaser Arafat melakukan tafaqur yang mendalam, hingga ahirnya pilihannya jatuh pada nisan yang Muhammad Yaser Arafat jumpai di kawasan Babadan Baru, Banguntapan, Bantul beberapa tahun silam.

Dalam riwayatnya, pada tahun 1990 warga Babadan Baru kala itu sedang menggali tanah di sebuah lahan kosong milik warga untuk membuat bata merah secara tradisional. Dengan menggunakan cangkul warga mulai menggali tanah tersebut, namun ketika sampai di kedalaman dua meter cangkul yang dipakai untuk menggali tanah tersebut membentur benda keras, setelah dicangkul lebih dalam lagi ternyata batu tersebut merupakan sebuah nisan. Tak pikir panjang, ahirnya warga terus menggali lebih dalam, hingga ahirnya kijing yang merupakan rumah dari makam tersebut ditemukan dalam kondisi masih utuh sepenuhnya.

Setelah melakukan musyawarah dengan sesepuh desa Babadan Baru, ahirnya oleh masyarakat Babadan Baru nisan beserta kijing-nya yang sudah berusia ratusan tahun tersebut diangkat kepermukaan tanah, dan mulai disusun, dirapikan menjadi makam yang utuh sepenuhnya seperti makam-makam yang lainnya di pemakaman umum Desa Babadan Baru, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta.

Karena amal bakti dan semangat gotong royong serta kepedulainnya warga Babadan Baru dengan mengangkat nisan beserta kijingnya tersebut ke permukaan tanah dan membangunnya kembali, maka oleh Muhammad Yaser Arafat, nisan tersebut dijadikan cover dari buku Nisan

Hal ini juga sebagai apresiasi serta wujud terima kasih kepada warga Babadan Baru, karena telah mengajarkan Muhammad Yaser Arafat cara menghormati para leluhurnya lewat pengangkatan nisan dan kijing-nya sekaligus  merawat warisan budaya Nusantara yang tak ternilai harganya sehingga tetap terjaga sampai abad 21 ini.

Hingga saat ini sudah tak terhitung lagi jumlah pesaréan yang telah diziarahi oleh Muhammad Yaser Arafat, dan beliau akan terus melakukan long trip ziarah dari makam ke makam, sebagai bagian dari pengabdian luhur dirinya sebagai putu séla yang senantiasa berhidmat menjaga warisan leluhur Nusantara.

Kullu nafsin dzāiqatul maut.“Setiap yang berjiwa akan merasakan mati (nisan)”(Q.S. al-Ankabut: 57).

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
2
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top