Kebangkitan Islam dan Kolonialisasi
Ada beberapa faktor yang memengaruhi dan mempercepat perkembangan pesantren di Jawa pada abad ini yang secara detail dibahas dalam buku ini.
Pertama, kebangkitan Islam. Sejak abad ke-14 M Islam telah memperoleh pijakan yang kukuh di Jawa. Selama berabad-abad Islam menyebar ke seluruh pelosok di Jawa sampai penerimaannnya di wilayah besar yang terakhir, yaitu “sudut Timur”, yang terjadi pada akhir abad ke-18 M. Sebagian besar orang Jawa barangkali telah menerima keyakinan Islam, tetapi yang berkembang subur adalah Islam mistik yang mengandung spekulasi metafisik dari masa pra-Islam.
Kedua, kolonialisasi. Pada awal abad ke-19 M kebencian masyarakat telah memuncak sehingga terjadi ketegangan antara masyarakat Jawa dengan orang-orang Eropa. Ketegangan-ketegangan ini akhirnya meledak menjadi peperangan antara masyarakat Jawa dengan bangsa Eropa yang menjajah, dengan melibatkan berbagai kelompok masyarakat di Ja, seperti petani, para bangsawan kraton, kiai, para haji, dan santri-santri. Kecencian dan sikap permusuhan masyarakat Jawa dengan kolonial ini mendorong masyarakat pada pemantapan dan upaya untuk mempertahankan identitas diri pada masyarakat Jawa.
Dalam keadaan tertindas, resah, dan gelisah masyarakat Jawa kemudian memakai Islam sebagai identitas kultural untuk melawan Belanda. Di sinilah kemudian pesantren mendapat pengaruh di masyarakat dan semakin berkembang “berkat” kesombongan kolonial Belanda. Misalnya, meskipun di Banten tidak banyak ditemui pesantren besar, namun pesantren-pesantren kecil pada tahun 1888 mempunyai peranan penting dalam peristiwa pemberontakan petani Banten. Kalangan santri pesantren di Banten dikenal sangat radikal dalam melawan pemerintah Belanda.
Di Cirebon, pimpinan Pesantren Lengkong Kuningan, Kiai Hasan Maulani, tak pernah pantang menyerah dalam mempertahankan keberadaan pesantren di hadapan kolonial Belanda. Kiai yang dibuang di Tondanao pada tahun 1942 karena terlibat Perang Jawa ini beserta santri-santrinya mempunyai pengaruh kuat sehingga ditakui oleh Belanda. Sementara itu, Kiai Rifa’i Kalisalak tak jauh sifatnya dengan Kiai Maulani, bedanya ia dibuang ke Ambon karena idealismenya terhadap pesantren (hlm. 182).
Jelas peranan kiai yang berani melawan itu telah membantu mempercepat pengembangan agama Islam di pedesaan. Islam di Jawa secara perlahan-lahan mulai menanggalkan sifat-sifat lokal yang sinkretik dan meningkatkan pertumbuhan ortodoksi Islam di pedesaan yang dipelopori oleh guru-guru agama dan kiai-kiai. Kiai sebagai elit keagamaan mempunyai pengaruh yang luas di masyarakat. Kesadaran akan tanggungjawab dan tugas sebagai ulama kepada umatnya, mendorong kiai untuk memelihara hubungan dengan santri-santrinya serta masyarakat sekitarnya melalui pengajaran, khatbah di masjid, upacara doa, dan kunjungan ke rumah-rumah penduduk.
Maka, kiai sebagai guru dan penyebar agama Islam memiliki peranan penting di pedesaan dalam melawan penjajah. Posisinya sebagai sosok intelektual atau ulama dalam komunitas Muslim sangat sentral dalam menggerakkan gerakan-gerakan sosial dari kelompok-kelompok yang memiliki berbagai kepentingan menjadi gerakan-gerakan ideologis.
Kiai sebagai intelektual memiliki kekuatan untuk memperdalam dan mengintensifkan perjuangan dengan cara memantapkan dorongan-dorongan personal menjadi dorongan-dorongan kelompok dan menggerakkan mereka menuju perjuangan demi ‘kebebaran abadi’. Oleh karena itu, pada masa penjajahan dapat dilihat bagaimana pesantren menjadi alat pengendali ideologi yang efektif (hlm. 176).
Buku ini mencoba memberikan pengantar kepada pembaca tentang sejarah perkembangan pesantren sehingga melembaga sebagaimana dapat kita saksikan dewasa ini di hampir setiap daerah di Indonesia. Sebagai lembaga pendidikan yang mulanya mempunyai tujuan murni memberikan pendidikan bagi rakyat, kini telah berkembang –antara lain– menjadi kekuatan legitimasi politik. Tak mengherankan jika pesantren sering dimanfaatkan sebagai alat legitimasi bagi kelompok politik untuk meraih dukungan. Maka, sejarah berdirinya pesantren di berbagai daerah pun sering mengilhami para peneliti untuk terus menggali sejauh mana peranan pesantren dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di tanah Air.
Sosoknya yang dewasa ini mempunyai corak dan sistem pembelajaran yang berbeda jauh dengan masa lalunya menjadikan kita dapat menangkap bahwa pesantren telah mengalami pergeseran yang luar biasa dari awalnya (dulu cenderung memakai sistem pembelajaran bandongan dan sorogan, kini telah mengalami modernisasi menjadi klasikal). Sehingga tak berlebihan ketika buku ini dinilai menjadi kebutuhan tersendiri bagi para peneliti agar lebih intensif mempelajari bagaimana kini pesantren harus berupaya beradaptasi dengan perkembangan zaman yang semakin plural dengan kecanggihan peradaban kapitalisme yang rakus, licik, dan menyebalkan.
Menggali sejarah pesantren bukan pekerjaan gampang. Apalagi rentang waktu yang telah berjalan sudah dilewati oleh berbagai peristiwa sehingga membutuhkan ketelitian akurat. Dan buku ini pun belum dapat dinilai sempurna dalam menggali itu. Sebab data yang dipakai lebih banyak berdasarkan data pustaka, sementara data lapangan yang semestinya diikutsertakan sebagai penyempurna tidak dilibatkan secara maksimal. Namun demikian, inilah satu-satunya buku sejarah pesantren yang mencoba menyempurnakan literatur-literatur tentang pesantren yang lebih dulu dipublikasikan.
Sejarah yg tidak boleh dilupakan