Sedang Membaca
Hari Santri: Bagaimana Hubungan NU dan Muhammadiyah?
Hamzah Sahal
Penulis Kolom

Founder Alif.ID. Menulis dua buku humor; Humor Ngaji Kaum Santri (2004) dan Ulama Bercanda Santri Tertawa (2020), dan buku lainnya

Hari Santri: Bagaimana Hubungan NU dan Muhammadiyah?

Hari Santri: Bagaimana Hubungan NU dan Muhammadiyah?

Orang NU sering menyebut Muhammadiyah sebagai “saudara tua”. Kadang pula menyebutnya dengan organisasi “sebelah” ataupun “tetangga”. Baik sebutan “saudara tua”, “tetangga”, ataupun “sebelah”, sebetulnya biasa saja. Satu waktu sangat dekat, satu waktu sangat jauh, itu biasa saja.

Misalnya, ada satu masa di mana NU dan Muhammadiyah saling menjauh, yaitu pada masa Orde Baru. Mereka canggung waktu itu. Kenapa?

Karena NU dinilai ditendang oleh Orde Baru. Sementara Muhamadiyah dinilai disayang-sayang pada masa itu. Ini membuat kikuk.

Tapi kita susah menemukan kedua oraganisasi Islam terbesar di negeri ini terbuka bahwa ada sesuatu yang mengganjal di antara kedua. Keduanya, melalui para elitnya, hampir selalu mengatakan baik-baik saja, tidak ada masalah.

“Muhammadiyah kan saudara tua. No problem kok,” begitu orang-orang NU biasa mengelak.

Berdirinya NU pun ada unsur merespon berdirinya Muhammadiyah, membendung gerakan modernisasi Muhammadiyah. Ini susah dibantah sebetulnya. Tapi tidak kurang-kurang yang mengatakan bahwa NU didirikan tidak untuk “menyaingi” Muhammadiyah. Peneliti dari jepang yang menulis Muhammadiyah, Mitsuo Nakamura, termasuk yang mengatakan seperti itu.

Orang NU pun selalu bercerita bahwa Hubungan pendiri NU, KH Muhammad Hasyim Asy’ari dan pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, baik-baik saja. Keduanya satu guru, sama-sama nyantri kepada Kiai Saleh Darat, di Semarang. Muhammadiyah adalah saudara tua, Kiai Dahalan juga lebih senior 7 tahun daripada Kiai Hasyim. Kiai Dahlan lahir di Jogjakarta 1 Agustus 1868 dan wafat di Jogjakarta 23 Februari 1923. Kiai Hasyim lahir di Demak 10 April 1875 dan wafat di Jombang 25 Juli 1947.

Baca juga:  Virus Corona, Keagamaan, dan Kemanusiaan Kita

Gus Dur pun demikian. Dia tidak setuju itu dianggap persaingan antara Muhammadiyah dengan NU. Dalam sebuah wawancara di majalah Tempo, Gus Dur mengatakan, ada orang NU dan orang Muhammadiyah bersaing merebutkan sesuatu, tapi itu bukan representasi organisasi.

Desember 1996, Gus Dur dan Amien Rais bertemu di sebuah acara yang dihelat PMII, di masjid Sunda Kelapa, Jakarta (tidak lama kemudian krisis moneter dan dilanjut reformasi). Pertemuan ini menjadi berita besar dan memunculkan beragam tafsir. Majalah Tempo menggambarkan pertemuan dua orang ketua umum ormas itu dibanjiri banyak orang, lebih banyak daripada penonton bola di liga Indonesia. Ini berita besar. Ini artinya, sebelum pertemuan itu, NU dan Muhammadiyah tidak pernah bertemu, atau setidaknya jarang ketemu.

Sekarang seperti apa?

Hubungan NU dan Muhammadiyah sekarang memang jauh lebih baik. Masyarakat di bawah juga tidak lagi berdebat berlebihan tentang NU yang kunut atau Muhammadiyah yang merenung (tidak wiridan ramai-ramai kayak NU) sendirian setelah salat. Ya sesekali berbeda menentukan 1 Ramadan atau 1 Syawal, tidak masalah, biasa saja. Tapi ada juga yang berbisik ke saya begini, ”Orang NU akan makin jarang kuliah di kampus Muhammadiyah, karena NU mulai bikin kampus sendiri.”

Tidak apa-apalah. Berdirinya kampus NU tidak akan jadi “sarana” bersaingan NU dan Muhammadiyah.

Baca juga:  Gus Dur: Politik Nilai dan Praksisnya

Di awal-awal penetapan “Hari Santri”, tahun 2015 lalu memang sedikit direspon sinikal oleh orang beberapa tokoh Muhammadiyah. Dan beberapa tokoh NU, merasa Hari Santri sebagai “kemenangan politik” orang NU.

Tapi hari ini sudah biasa saja. Tokoh-tokoh Muhammadiyah seperti Hidayat Nur Wahid mengucapkan Hari Santri di Twitter. Bahkan partai dia, yang banyak diisi oleh kader Muhammadiyah, bikin lomba baca kitab kuning untuk memperingati Hari Santri. Sebaliknya, hari ini orang NU sendiri saya lihat agak kendur semangatnya memperingati hari santri, berbeda dengan tahun 2016 atau 2015.

Mungkin akan selalu ada peristiwa yang membuat hubungan menjadi “dingin”. Semisal beberapa waktu lalu, NU dan Muhammadiyah sempat saling sindiri soal FDS. Tapi saya kira biasa saja. Namanya juga dua institusi yang berbeda, wajar jika ada perbedaan yang membuat kikuk atau dingin.

Di Hari Santri ini mungkin momentum yang tepat merumuskan hubungan NU dan Muhammadiyah ke depan. Rumusan hubungan tentu saja tidak selalu ikatan formal. Tapi naluri sebagai saudara, tetangga ataupun organisasi yang bersebelahan, harus lebih dekat lagi, melanjutkan dan mempererat hubungan-hubungan yang sudah terjalin secara kultural, saling belajar, saling berkunjung, saling berbagi, dan lain-lain.

NU dan Muhammadiyah memang berbeda, tapi keduanya lahir di tanah dan air yang sama. Keduanya harus berjemaah menghalau anasir-anasir yang merusak bangsa ini dan terus konsisten mendatangkan selaksa kemaslahatan bagi Indonesia dan keindonesiaan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
2
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top