“Malam itu,” tulis Ali Sido Kurani dalam buku perjalanannya ke Irak pada medio 1930-an, “aku menginap di Sulaf. Udara sangat dingin sekali sehingga membuat badanku tak nyaman.” Sulaf adalah penginapan menuju sebuah kota kuno yang ada di atas gunung. Kota kuno itu bernama Amadia.
“Namun lama-lama si raja yang bernama ‘tidur’ itu akhirnya menaklukkanku,” lanjut Ali Sido dalam buku berjudul Min ‘Amman ila ‘Amadia (Dari Amman menuju Amadia) itu.
Kota Amadia. Kota kuno itu adalah kota bersejarah dan unik. Ia terletak di dataran tinggi puncak gunung. Kota itu memiliki gerbang-gerbang kuno yang dipercaya telah dibangun sejak masa sebelum Islam muncul. Amadia kini tergabung dalam kegubernuran Dahok yang berada di bawah kekuasaan daerah otonom Kurdistan di Irak.
Kota itu memang mayoritas bersuku Kurdi dan beragama Islam, sementara sebagian kecil lainnya beragama Kristen. Toleransi di kota itu cukup tinggi.
Kota ini berada di sekeliling Pegunungan Zagros dan dikepung oleh lembah padang rumput bernama Lembah Sapna. Kota Amadia sendiri memiliki sejarah panjang. Kota ini dipercaya sudah dibangun beribu-ribu tahun sebelum Masehi. Amadia juga dipercaya menjadi kota kelahiran Tiga Orang Bijak dari Timur yang disebut dalam Injil.
Dalam Injil Matius diceritakan bahwa pada masa Raja Herod datang tiga orang dari Timur menuju Yerusalem. Mereka mencari bayi Yesus serta mereka juga membawa beberapa hadiah. Untuk menuju Yerusalem, tiga orang ini mengikuti petunjuk sebuah bintang yang dinamakan Bintang Betlehem. Ketiga orang ini kemudian disebut sebagai Three Wise Men dan dipercaya lahir di Amadia.
Sebelum bernama Amadia, kota ini bernama Asyub. Nuwairi menyebutkan dalam Nihayatul Irbi bahwa kota ini dulunya dikuasai Kurdi-Hakkari. Lalu pada tahun 537 H., Imaduddin Zanki, seorang sultan dari Daulah Zanki, mengirimkan pasukan untuk menyerbu Amadia. Tak lama berselang kota itu takluk dan hancur. Lalu Imaduddin membangun kembali kota itu dan mendirikan sebuah benteng kokoh. Namun benteng itu tak bertahan lama. Benteng itu dihancurkan sebagian karena terlalu besar.
Sejak saat itu kota Asyub berganti nama menjadi Amadia (العمادية), di ambil dari nama Imaduddin Zanki (عماد الدين زنكي) yang membebaskan kota itu.
Pada abad 12 dibangun sebuah Masjid Jami yang besar untuk memudahkan aktivitas penduduk kota. Masjid ini disebut-sebut dibangun oleh salah satu pembesar Dinasti Abbasiyah. Tiga ratus tahun berselang, Sultan Husein Al-Wali membangun sebuah menara untuk menemani Masjid Jami. Menara itu masih berdiri hingga kini.
Tak cukup di situ, Samuel bin Yahya dalam “buku murtad”-nya berjudul Badzlul Majhud menyebutkan bahwa kota ini adalah tempat kelahiran Ibn Ruhi, seorang pseudo-messiah yang sempat menggegerkan Mosul dan Bagdad di masa itu. Ibn Ruhi—yang bernama asli Menahem bin Sulaiman—belajar agama Yahudi di Amadia kepada para “ulama” di sana.
Ibn Ruhi, tulis Samuel bin Yahya, sangat akrab dengan wali kota Amadia saat itu. Sehingga ketika Ibn Ruhi menulis surat kepada komunitas Yahudi agar datang ke Amadia dan menjadi pengikutnya, sang wali kota membiarkan saja hal itu terjadi. Namun, tulis Samuel, Ibn Ruhi ternyata punya rencana lain. Ia memanggil komunitas Yahudi untuk datang ke Amadia tidak dengan tangan kosong. Melainkan ia memerintahkan mereka datang membawa pedang dan memberontak kepada dinasti yang berkuasa saat itu.
Namun untung saja si wali kota Amadia sadar akan hal ini. Sehingga dengan cepat ia bisa mengantisipasi rencana picik Ibn Ruhi. Ibn Ruhi akhirnya mati terbunuh di tangan wali kota. Demikian ditulis oleh Samuel bin Yahya.
Di masa lampau memang Amadia menjadi rumah yang damai bagi orang Yahudi. Bahkan Ibn Verga dalam bukunya mencatat bahwa Yahudi Amadia adalah termasuk kaum elit dan pedagang-pedagang kaya.
Kini Amadiya mencoba menapaki modernitas. Identitas sebagai Bangsa Asyur, suku Kurdi, sekaligus umat Islam semoga saja tak menyulitkan kehidupan mereka di zaman “perbenturan” peradaban ini.
Amadiya, kota kuno yang sudah lelah itu, kini mengarungi globalisasi.