Sedang Membaca
Konsepsi ‘Indonesia’ sebagai ‘Kedaulatan Sinkretis’
Zacky Khairul Umam
Penulis Kolom

Wakil Kepala Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities, Universitas Indonesia; mahasiswa Freie Universitaet Berlin, Jerman.

Konsepsi ‘Indonesia’ sebagai ‘Kedaulatan Sinkretis’

Sejak awal pembentukan republik, keindonesiaan kita didirikan dari pertemuan berbagai ‘tradisi filsafat’ dan pemikiran keagamaan yang majemuk. Ia bersifat sinkretis, tidak tunggal, dan tidak akan pernah bisa ditunggalkan. 

Kita sudah lama memaklumi, pada tengah abad ke-19 etnolog Inggris Georg Earl dalam Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia, jilid keempat, menamai kepulauan Melayu dengan Indu-nesia. Awalnya ia punya pilihan lain Malayunesia. Walakin, ia lebih memilih yang pertama. Ilmuwan Skotlandia James Logan merevisi nomenklatur itu menjadi Indonesia yang terdiri dari dua leksikon Yunani Indos dan nesos yang berarti ‘kepulauan India’ karena ini cocok dengan istilah dalam Bahasa Inggris, Indian Archpelago.

Kata Logan, “Saya lebih memilih terma geografis murni dari Indonesia, sebuah sinonim yang lebih pendek untuk menyebut kepulauan atau arsipelago India.” Kata Indonesia kemudian sangat terkenal di Eropa berkat buku Adolf Bastian dari Universitas Berlin—kini bernama Universitas Humboldt—pada akhir abad ke-19. 

Terlepas dari reka cipta modernitas Barat abad ke-19 atas penamaan itu, makna dari nomenklatur ‘Indonesia’ pada kenyataannya memiliki preseden dalam tradisi kesusastraan Arab, yakni kata majemuk jazāʾir al-Hind yang juga berarti ‘kepulauan India’. Setidaknya kata majemuk tersebut sudah disebut oleh filsuf muslim di Andalusia abad ke-12, Ibnu Tufayl, dalam novel filosofisnya Ḥayy ibn Yaqẓan yang terjemahan Latinnya Philosophus Autodidactus ikut meramaikan dan menginspirasi masa Pencerahan Eropa.

Dengan gamblang, Ibnu Tufayl menulis lokasi geografis dari ‘kepulauan India’ itu: khaṭṭ al-istiwāʾ yang, kita mafhumi, menjadi bahasa Indonesia garis khayal khatulistiwa (ekuator) di mana ada satu wilayah yang ajaib: waqwaq. Hamka dalam tulisan lamanya pernah menyinggung ini merupakan infleksi dari Fakfak di Papua. Tapi pendapat ini meragukan. Yang jelas, tidak satu pun ilmuwan Barat pengkaji Ibnu Tufayl mengasosiasikan titik geografis ini dengan ‘Indonesia’.

Baca juga:  Wayang dari Kacamata Gus Dur: Pembentuk Budaya Politik

Sejak era Islam klasik hingga masa modern awal, istilah jazāʾir al-Hind itu sudah umum. Saya meyakini belum ada atau mungkin secuil yang ngeh bahwa ia sebetulnya dinisbatkan ke kepulauan Nusantara. Tidak ada kepulauan lain yang dekat secara geografis dengan India kecuali wilayah maritim di Asia Tenggara. India adalah batas peradaban “Timur” masa lampau, dan peradaban Islam ialah peradaban “Barat” dari sebelah India.

Para ahli geografi Islam kerap menghubungkan istilah itu dengan India, barangkali juga terlacak sejak Ptolemeus zaman Yunani klasik, kemungkinan besar karena wilayah Nusantara ialah bagian bumi yang tidak terjangkau oleh karya geografi di masa silam, terra incognita. Jauh sebelum istilah itu populer dalam bahasa Inggris, ia barangkali sudah umum menjadi bahasa pengetahuan dalam aksara Arab khususnya di seantero Samudera Hindia. 

Meski genealogi penamaan itu bisa diperdebatkan kembali, pada intinya sama. Dan aksi kesejarahan para pemuda bangsa, yang terpenting, sudah menubuhkan Indonesia ke dalam kesatuan tanah air, bangsa, dan bahasa pada 1928. Tujuh belas tahun kemudian, tepatnya antara Mei dan Juni 1945, musyawarah mahapenting terjadi di Jakarta untuk mempersiapkan landasan mendasar dari Indonesia. Inilah peristiwa penting, sebuah momen 1945 yang imajinasi historisnya tidak bisa hilang sepanjang masa. Dalam momen inilah, Soekarno menggali landasan filosofis Pancasila. Soekarno, Muhammad Yamin, dan I Gusti Bagus Sugriwa lalu meneroka Bhinneka Tunggal Ika dari Sutasoma warisan sastra Majapahit. 

Yang termaktub dalam mukadimah konstitusi, cita-cita bersama kita ialah membangun “negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.” Coba perhatikan kata-kata dalam parentesis tersebut. Jika mau menelisik secara filologis dan semantik, kata-kata itu berasal dari beragam tradisi Sansekerta, Melayu dan Arab. Bahasa Arab juga melimpah ruah dalam rumusan Pancasila, seperti “adil, beradab, permusyawaratan, hikmat, dan kerakyatan.” Bahkan dalam pembentukan negara-negara Arab modern, mereka tak cukup menggali kembali kata rakyat sebagaimana Indonesia menggalinya dari khazanah Islam klasik. Pada masa akhir imperium Usmani, kata itu ada untuk menyebut istilah para petani kecil, tapi tampaknya tak selamat melewati masa laiklik zaman Kemal Ataturk. 

Baca juga:  Menyoal Blangkon sebagai Pakaian Islami

Persoalannya, tentu kata atau konsep dari tradisi Islam tersebut bersifat ad hoc keislaman saja. Begitupun dengan sumbangan tradisi Sansekerta, tidak menjadikannya Hinduisme murni. Atau sumbangan tradisi lokal dan global lainnya dalam pembentukan bahasa dan kebudayaan Indonesia. Seperti tertuang dalam makna mendalam dari Bhinneka Tunggal Ika, keindonesiaan kita terbentuk dari strategi canggih yang mengawinkan berbagai tradisi filsafat yang beragam menjadi satu-kesatuan yang sinkretis. Ini sungguh merupakan sebuah filsafat radikal yang menaungi berbagai eksistensi umat manusia yang percaya pada ketuhanan. Jika mau dibaca secara mendalam lagi, misalnya, sila pertama Pancasila mengandaikan monoteisme dalam pengertian yang luas, bukan disempitkan sebagai inspirasi tauhid Islam saja. 

Kedaulatan nasional yang sinkretis ini memang identik dengan prestasi politik akbar semasa imperium Mughal di India abad keenam belas. Payung filosofis kebijakan akbar ialah sulḥ-i kull atau perdamaian universal yang berupaya untuk menaungi ragam eksistensi agama dan budaya di India. Ada ungkapan Persia yang lain yang tak jauh dari era Empu Tantular, yakni āmūzish-i farhang yang mengindikasikan sebuah semangat persilangan budaya yang bermekaran.  

Indonesia juga tak kalah uniknya. Para moyang kita membaca, menulis, dan memiliki kebiasaan dalam jalan yang mencari penyesuaian antara ragam aliran, juga berpikir mengenai estetika klasik yang dikemas melalui mimesis kebudayaan yang baru. Tak salah jika sebelum Indonesia merdeka, kebudayaan bangsa kita sudah menunjukkan suatu hibriditas budaya/tekstual. Kelihatannya sulit menyatukan berbagai pulau dan identitas kebangsaan, tapi kenyataannya Indonesia berhasil ditemukan. Ia terpancar dari titik temu berbagai spektrum cahaya filsafat yang beragam, baik Timur maupun Barat. Meminjam bahasa Quranik, “Timur dan Barat milik Tuhan, di mana pun engkau berada di situlah wajah Tuhanmu berada” (QS 2: 115). Dalam keindonesiaan, ketimuran dan kebaratan bisa melebur indah dalam sebuah “silang budaya”. Dalam bahasa profetik Muhammad, Indonesia ialah sebuah hikmat yang mampu meracik berbagai kebijaksanaan dari mana saja. 

Baca juga:  Di Negeri Koruptor, Nyawa Wartawan dalam Incaran

Hanya dengan menimbang kembali proses konseptual dari hibriditas ini, kita bisa menemukan sebuah spirit atas sintesis kreatif. Sebagai proses sosial-intelektual, keindonesiaan telah mengandaikan bayangan ideal bagi kemajemukan, keadilan, dan demokrasi bangsa. Jelasnya, segala macam pengaruh dari berbagai tradisi mesti dilihat berdasarkan nilai-nilai filosofisnya yang universal, apakah itu tentang keadilan atau kemakmuran, bukan lagi dilihat dari sisi parsialnya bahwa ia berasal dari bahasa politik umat Islam pra-modern. Memang penting melihat serpihan fragmentaris dari berbagai tradisi itu, tetapi menjadikannya sebagai sintesis kreatif cenderung akan membawa kita pada upaya titik temu. 

Di kala perkembangan sosial-politik dewasa ini yang semakin mengeraskan politik fragmentaris, kita perlu menengok kembali pada pedoman keindonesiaan kita sebagai sebuah panduan filsafat politik yang mampu mewujudkan nilai-nilai ideal bukan untuk segelintir golongan saja. Di dalam perjalanan konseptual ‘Indonesia’ tersimpan sebuah ‘kedaulatan sinkretis’. Wallāhu aʿlam bi-murādih.   

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top