Sedang Membaca
Idul Fitri, Islam, dan Sains (2): Kuntowijoyo dan Pengilmuan Islam
Joko Priyono
Penulis Kolom

Menempuh Studi di Jurusan Fisika Universitas Sebelas Maret Surakarta sejak 2014. Menulis Buku Manifesto Cinta (2017) dan Bola Fisika (2018).

Idul Fitri, Islam, dan Sains (2): Kuntowijoyo dan Pengilmuan Islam

Whatsapp Image 2021 05 11 At 10.47.45 Pm

Di era keberadaan zaman tafsir yang berkembang dalam paradigma besar di dunia, kita kerapkali masih dihadapkan perdebatan antara sains dan agama. Satu perspektif yang muncul harus diakui adalah pemaknaan akan realitas sains dan agama sebagai dua kutub bertolak belakang. Apakah demikian adanya? Berbarengan dalam perayaan momentum idul fitri bagi umat Islam, perlulah kita merenungi ulang akan diskursus dalam upaya untuk mendialogkan antara sains dan agama.

Cendekiawan muslim, Kuntowijoyo memperkenalkan istilah “Pengilmuan Islam” lewat sebuah karyanya yang berjudul Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika (2006) untuk mendorong kerangka pewacanann ilmu dalam transformasi peradaban. Sekaligus, konsep tersebut juga menjadi tawaran baru atas ide yang semula berada yang berupa “Islamisasi Pengetahuan” yang diperkenalkan oleh Isma’il Raji al Faruqi lewat karya berjudul Islamisasi Pengetahuan (Penerbit Pustaka, 1984) dari Lembaga Pemikiran Islam Internasional (International Institute of Islamic Thought) di Amerika Serikat menjelang tahun 1980-an.

Islamisasi pengetahuan sebagai sebuah upaya untuk mengungkap relevansi keberadaan Islam dalam kerinduan akan identitas di perjumpaan zaman didasarkan pada tiga sumbu utama, yang masing-masing berupa: kesatuan pengetahuan, kesatuan hidup, dan kesatuan sejarah. Kita mafhum dengan konsep pengetahuan Islam yang kerap dinarasikan sebagai sebuah artefak akan kejayaannya dan silih-berganti

Baca juga:  Teknologi untuk Masyarakat Berkebutuhan Khusus

Kesatuan pengetahuan berbicara akan segala disiplin ilmu harus objektif dan rasional, ilmu tak tersekat pada dikotomis, dan pengetahuan yang diharapkan senantiasa kritis mengenai pencarian kebenaran. Kesatuan hidup didasarkan pada kesadaran dan pengabdian akan tujuan penciptaan. Kesatuan sejarah sebagi kesadaran akan aktivitas masyarakat dalam lintasan sejarah sebagai cerminan untuk menghasilkan pengetahuan yang berwatak humanis. Visi tersebut dalam gagasan Isma’il Raji al Faruqi tersublim langkah konkret berupa mengislamisasikan disiplin pengetahuan di universitas dengan menuangkan wawasan Islam di dalamnya.

Akan tetapi, dalam catatan Kuntowijoyo ada satu hal yang disangsikan dan kemudian melahirkan sebuah masalah berarti. Hal tersebut berupa kedudukan pengetahuan dalam Islam, sebab visi kesatuhan pengetahuan menyiratkan arah dari konteks ke teks. Sebab itu lah, Kuntowjoyo menawarkan lanskap cakrawala yang lebih rinci. Kerangka itu menasbihkan pertama, secara khazanah ilmu pengetahuan harus melewati proses islamisasi. Kemudian bertahap pada proses melakukan konversi dan mengintegrasikan semua pemikiran dan warisan intelektual dari mana pun ke dalam paradigma teoretis yang sesuai dengan struktur transendental Al-Qur’an.

Gagasan yang dikemukakan oleh Kuntowijoyo tersebut, misalkan dalam sebuah paragraf di bagian buku tersebut: “Bagaimanapun juga, perumusan teori-teori Islam bagian dari kepentingan pragmatis Islam untuk memenuhi misi profetiknya, yakni membangun peradaban. Dalam suatu dunia di mana kekuatan dan pengaruh ilmu pengetahuan menjadi destruktif, mengancam kehidupan umat manusia dan peradabannya, Islam jelas harus tampil untuk menawarkan alternatif paradigmatiknya di bidang ilmu”.

Baca juga:  Pemikiran Syekh Yasin dalam Penentuan Awal Bulan Kamariah

Melihat dunia yang terus berubah dengan perkembangan zaman yang ada, Islam harus menjadi solusi bagi berbagi tantangan yang ada di tiap transformasi perubahan zaman. Kontekstualisasi pemahaman dan nilai yang ada di dalam Islam tersebutlah sebagai upaya untuk melahirkan dialektika ilmu pengetahuan. Kesemuanya tak terlepas dari kesinambungan terhadap para pendahulu dengan tak lupa mengedepankan sikap kritis dan merdeka.

Islam Profetik

Frasa yang kemudian banyak digunakan dalm terminologi pembahasan Islam tersebut dalam keseluruhan konsep dari Kuntowijoyo terpatri lewat tiga hal yang berurutan. Masing-masing adalah: pengilmuan Islam, paradigma Islam, dan Islam sebagai ilmu. Pengilmuan Islam berarti proses keilmuan yang bergerak dari teks al-Qur’an menuju konteks sosial dan ekologis manusia. Paradigma Islam sebagi hasil integralistik antara agama dan wahyu. Sementara Islam sebagai ilmu berupa ranah transformasi antara hasil dengan proses.

Pada periodesasi keberadaan zaman tafsir kita kerap menghadapi sebuah pertanyaan besar akan perkembangan ilmu. Tidak lain adalah kecenderungan ilmu pada penekanan praktik, ketimbang teori. Artinya ilmu yang diterima adalah ilmu dengan memiliki kecukupan dalam kebutuhan industri. Hal itu sebagaimana diungkapkan juga oleh Kuntowijoyo dengan menggambarkan corak filsafat pragmatisme berupa:

“Tumbuhnya industri adalah bukti bahwa ilmu harus menjadi praktik, karena industri adalah teknologi terapan. Demikian juga bisnis. Bisnis adalah ilmu ekonomi yang diterapkan. Politik luar negeri adalah hubungan internasional yang diterapkan.

Baca juga:  Idul Fitri, Islam, dan Sains (1): Teknologi, Kemanusiaan, dan Kebudayaan

Dalam ilmu-ilmu pragmatis, pertimbangan benar dan salah secara etis dan agama tidak ada; semuanya benar, asal jalan. Maka, Pragmatisme bukan saja menghendaki pemisahan perilaku dari agama, tetapi lebih jauh dari itu. Pragmatisme berkembang menjadi suatu keyakinan (isme) filosofis, yaitu sekularisme.”

Kuntowijoyo senantiasa mengajak untuk memahami Islam dengan kontekstualisasi perubahan dan perkembangan zaman. Islam tidak sebatas dipahami dalam sudut sejarah kejayaan di masa lampau. Namun melainkan dari itu sebagai aktualisasi dari nilai dan prinsip yang dielaborasikan dengan perkembangan diskursus keilmuan lain. Kurang lebihnya kesadaran yang diidealkan berupa kesadaran ilmiah dan kesadaran ilahiah. Tahapan tersebut membutuhkan beberapa hal dalam menuju transformasi sosial dan kesadaran bagi keberadaan manusia itu sendiri sebagai makhluk yang dikaruniai akal dan pikiran. Begitu.[]

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top