Sedang Membaca
Barus, Kali Pertama Islam Masuk ke Nusantara

Barus, Kali Pertama Islam Masuk ke Nusantara

Sejarawan M.C. Ricklefs menandaskan bahwa penyebaran Islam merupakan salah satu proses yang amat penting dalam sejarah Indonesia, tapi juga yang paling tidak jelas. Ketidakjelasan itu bukan berarti kita bisa seenaknya mengklaim di mana dan kapan kali pertama Islam masuk ke Indonesia.

Namun, justru hal inilah yang terjadi ketika kita membaca Ensiklopedia Indonesia sebanyak tujuh jilid terbitan Ikhtiar Baru Van Hoeve, yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara pada 1803 yang ditandai dengan penyebaran dakwah Islam yang dilakukan tiga orang haji asal Sumatra Barat: Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piabang.

 Pernyataan keliru dan gegabah itu telah mendorong Agus Sunyoto untuk menulis Atlas Walisongo. Agus Sunyoto sendiri menyatakan, “Dapat dipastikan bahwa Islam sudah ada di negara bahari Asia Tenggara sejak awal zaman Islam. Sementara itu, berita-berita yang bersumber dari Dinasti Tang tentang kehadiran saudagar-saudagar Tazhi (Arab) ke Kalingga pada tahun 674 M adalah petunjuk bahwa memang pada masa awal zaman Islam saudagar-saudagar muslim dari Arab sudah masuk wilayah Nusantara.” (2017:v)

Setakat kini, menurut Ahmad Mansyur Suryanegara (2013:97-103), terdapat lima teori perihal masuknya agama Islam ke Nusantara. Pertama, teori Gujarat, dicetuskan Snouck Hurgronje, yang menyatakan bahwa Islam masuk dari Gujarat. Menurutnya, Islam tidak mungkin masuk ke Nusantara langsung dari Arabia tanpa melalui ajaran tasawuf yang berkembang di India.

Daerah pertama yang dimasuki adalah Kesultanan Samudra-Pasai pada abad ke-13 M. Kedua, teori Persia, diutarakan Hoesein Djajadiningrat dan diikuti Abubakar Aceh, bahwa Islam masuk dari Persia dan bermazhab Syiah. Pendapatnya didasarkan pada sistem mengeja membaca huruf Al-Quran, terutama di Jawa Barat. Arab mengeja Fat-hah, Kasrah, Dhammah, Persia menyebutnya Jabar, Je-er, Py-es. Teori ini dinilai lemah karena tidak semua pengguna sistem baca huruf Al-Quran tersebut di Persia bermazhab Syiah. Tidakkah pada saat Baghdad sebagai ibu kota Khilafah Abbasiyah, khafilahnya umumnya penganut Ahlush Shunnah wal Jama’ah.  Demikian pula di Jawa Barat bermazhab Syafi’i, seperti Abbasiyah di Baghdad Persia bermazhab Syafi’i.

Baca juga:  Menelisik Wahabi (4): Apa Muhammadiyah Tergolong Wahabi? Inilah Fakta Sejarahnya

Ketiga, teori China yang dianut Slamet Mulyana, berpendapat Sultan Demak adalah peranakan Cina, demikian pula para Wali Sanga. Mansyur Suryanegara menolak teori ini, seraya beragumen sebenarnya menurut budaya China dalam penulisan sejarah nama tempat yang bukan negeri China, dan nama orang yang bukan bangsa China, juga dicinakan penulisannya. GWJ Drewes juga menyatakan bahwa pengambilan data yang dikumpulkan oleh Slamet Mulyana tidak tepat dan tidak beralasan. 

Namun Agus Sunyoto, mengutip Babad Tanah Jawi dan Serat Kandaning Ringgit Purwa menyebutkan Raden Patah (Jin Bun) adalah anak raja Majapahit Prabu Kertawijaya dari selir perempuan China. Menurut Carita Purwaka Caruban Nagari nama asli selir China itu adalah Siu Ban Ci, putri Tan Go Hwat dengan Siu Te Yo, penduduk muslim China asal Gresik.    

Keempat, teori Maritim. Menurut NA Baloch sejarawan Pakistan, akibat umat Islam memiliki navigator dan mualim dan wirausaha muslim yang dinamik dalam penguasaan maritim dan pasar, melalui aktivitas ini ajaran Islam mulai dikenalkan di sepanjang jalan laut niaga di pantai-pantai tempat persinggahannya pada masa abad ke-1 H/7 M hingga abad ke-5 H/12 M.

Langkah berikutnya, Baloch menjelaskan mulai abad ke-6 H/13 M terjadi pengembangan Islam hingga ke pedalaman. Pada periode ini pengembangan agama Islam ke pedalaman dilakukan oleh para wirausahawan pribumi. Selain itu, dimulai dari Aceh pada abad ke-9 M, kemudian, diikuti di wilayah lainnya di Nusantara, kekuatan politik Islam atau kesultanan mulai tumbuh.  

Baca juga:  Keterlibatan Kaum Tarekat di Dunia Politik

Kelima, teori Mekkah. Buya Hamka dalam Seminar Masuknya Agama Islam ke Indonesia di Medan (1963) lebih menggunakan fakta yang diangkat dari Berita Cina Dinasti Tang. Adapun waktu masuknya agama Islam ke Nusantara terjadi pada abad ke-7 M.

Berita China itu menuturkan ditemuinya daerah hunian witausahawan Arab Islam di pantai barat Sumatra, maka disimpulkan Islam masuk dari daerah asalnya Arab dibawa oleh wiraniagawan Arab. Sedangkan Kesultanan Samudra Pasai yang didirikan pada 1275  M atau abad ke-13 M, bukan awal masuknya Islam, melainkan perkembangan agama Islam.

Tentang teori Mekah ini, perlu ditambahkan informasi berharga dari Abdul Hadi WM (2000:302), bahwa dalam seminar yang sama, sastrawan Medan Dada Meurasa mengatakan bahwa Barus telah menerima syiar Islam pertama di Indonesia mendahului Peurlak, Samudra dan Pasai.

Pada waktu itu dia baru mengadakan penelitian dan menemukan bukti-bukti arkeologis yang berarti. Yaitu sebuah batu nisan lama bertuliskan nama Syekh Rukhmuddin (wafat 48 H). Jadi tidak lama setelah khalifah Usman bin Affan mengirim duta muslim pertama ke Cina, yang pada waktu itu berada di bawah pemerintahan Dinasti Tang.

Pendapat Dada Meurasa didukung sejarawan Malaysia, Wan Hussein Azmi. Pada 1997, hampir bersamaan waktu dengan penelitian yang dilakukan sarjana-sarjana Universitas Indonesia di bawah pimpinan Hasan Muarif Ambary, Azmi melakukan penelitian di Barus. Dia menemukan banyak sekali batu nisan lama berserakan di anak sebuah bukit  bernama Makam Maligai.

Baca juga:  Hayy ibnu Yaqdzan, Novel Klasik Berkisah Nusantara sebagai Tempat Lahirnya Manusia Pertama

Di dekat batu-batu nisan itu ada tapak sebuah masjid yang sudah hancur. Batu-batu nisan itu jauh lebih tua usianya daripada batu-batu nisan Samudra Pasai. Sejarawan Malaysia itu mengatakan bahwa bukit itu dahulunya mungkin sekali memang sebuah Mahligai. Dan tempat itu kemudian dijadikan kompleks pemakaman orang-orang Islam termasuk saudagar-saudagar Arab dan Persia.

Penemuan tersebut memperkuat bukti bahwa pelayar-pelayar Arab dan Mediterania telah mengenal Barus sejak abad ke-7. Yang membuat Barus dikenal adalah rempah-rempah, emas, dan kapur barus atau kamfernya yang bermutu tinggi.

Pada abad ke-7 M, Barus merupakan kerajaan kecil yang merdeka, terpisah dari Sriwijaya, dan memiliki hubungan dagang yang lama dengan China. Di kota ini lahir penyair-sufi abad ke-16  Hamzah Fansuri. Sebait syairnya mengabadikan Barus:

 

Hamzah Fansuri di dalam Mekkah

Mencari Tuhan di Bait al-Ka’bah

Di Barus ke Quds terlalu payah

Akhirnya dijumpa dalam rumah     

   

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top