Sedang Membaca
Ketika Santri Memilih Jodoh dan Bermukim
Iip D Yahya
Penulis Kolom

Peminat budaya Sunda dan penulis sejarah. Bukunya yang telah terbit di antaranya "Biografi Oto Iskandar Di Nata: The Untold Story" dan "Ajengan Cipasung: Biografi KH. Moh. Ilyas Ruhiat".

Ketika Santri Memilih Jodoh dan Bermukim

Lukisan karya Sarnidi Adam berjudul "Keluarga"

Bagaimana tradisi seorang santri pesantren memilih jodohnya? Tergantung pada petunjuk ajengan atau kiainya. Mungkin jawaban itu mengada-ada, tetapi demikianlah yang masih lumrah terjadi di lingkungan pesantren.

Seorang santri laki-laki yang dianggap cakap, akan dicarikan jodoh yang dianggap layak mendampinginya. Demikian pula sebaliknya. Kalau santri berasal dari keluarga biasa, maka prosesnya akan sederhana. Akan tetapi jika santri itu dari keluarga pesantren, apalagi pesantren yang ternama, maka prosesnya sedikit lebih rumit.

Keluarga sebuah pesantren biasanya akan mencarikan pasangan bagi pelanjutnya dari pesantren yang lain. Seorang utusan biasanya datang ke pesantren tertentu, lalu mengajukan maksud pencarian jodoh itu. Ajengan akan memberikan sejumlah nama santri putri dengan semua kelebihan-kekurangannya.

Jika ada kecocokan, diaturlah pertemuan yang kemudian berujung pada pernikahan. Terkadang antara dua calon pengantin itu tidak bertemu lebih dahulu, cukup dengan bertukar foto. Tentu saja tidak ada istilah pacaran di sini. Semuanya berdasar pada saling percaya bahwa mereka akan mendapatkan yang terbaik.

Pencarian jodoh itu tidak hanya berlaku untuk santri putra, melainkan juga untuk santri putri. Biasanya dilakukan oleh keluarga pesantren yang kebetulan tidak mempunyai anak laki-laki. Seorang kepercayaan keluarga akan diutus ke sejumlah pesantren untuk mencari menantu yang kelak akan menjadi penerus. Dengan cara ini banyak kelangsungan pesantren yang bisa diselamatkan, karena ada penerus dari jalur menantu. Selain itu, lewat cara ini hubungan antar pesantren menjadi semakin kuat.

Baca juga:  Kiai Amanullah Tambakberas dan Suara "Tuhan"

Ada pula santri yang ketika mengaji sudah punya “incaran”. Kalau punya keberanian, maka ia akan langsung meminta kepada ajengan untuk menikahkannya dengan santri impiannya itu. Kalau tidak berani, ia akan meminta tolong keluarganya untuk mengajukan lamaran.

Selain itu, lazim terjadi seorang santri sudah dipilihkan jodoh oleh orang tuanya di kampung halaman. Maka sebelum melangsungkan pernikahan, ia akan meminta doa restu kepada ajengan. Apa pun modusnya, restu ajengan adalah mutlak. Dalam banyak kasus, akad nikah pun diwakilkan orang tua mempelai perempuan kepada sang guru kebanggaan itu.

Kisah yang paling ekstrem adalah santri yang sampai usia lebih dari 40 tahun belum mau menikah, padahal kedalaman ilmunya diakui semua pihak. Dari sudut keilmuan itu ia sudah sangat layak disebut ajengan. Maka nama sang ajengan “jomblo” itu beredar dari pesantren ke pesantren. Biasanya ajengan seperti ini adalah yang menjalani kehidupan zuhud, asketik. Ia berprinsip tidak akan menikah sebelum ibunya wafat, misalnya. Ia khawatir jika istri yang berjodoh dengannya tidak bisa berjodoh dengan sang ibu sehingga membuatnya dilematis. Ia tidak ingin berada dalam kondisi terpojok, mengikuti keinginan ibunya atau membela kepentingan istrinya.

Katalog Buku Alif.ID
Halaman: 1 2
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
2
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Scroll To Top