Sedang Membaca
Bagi Kami, Bulan Maulud adalah Bulan Kerinduan
Achmad Munjid
Penulis Kolom

Menyelesaikan pendidikan doktoral di Temple University, Amerika Serikat. Sekarang mengajar di UGM. Selain menekuni bidang kajian agama, juga menulis sastra.

Bagi Kami, Bulan Maulud adalah Bulan Kerinduan

Ketika aku masih kecil, di kampung kami yang terpencil, orang-orang selalu menyambutnya dengan suka cita. Seperti ada mufakat tak terucapkan, masjid dan surau-surau segera berbagi tanggal begitu bulan Rabi’ul Awwal tiba. Maka sejak permulaan bulan hingga tanggal penghabisan, berbondonglah orang-orang menghadiri rangkaian perayaan yang digelar bergiliran oleh berbagai masjid dan surau-surau di kampung-kampung yang saling berdekatan.

Sehabis jama’ah shalat ‘Isya, kaum laki-laki dan perempuan, tua maupun muda, berjalan dalam rombongan menuju tempat perayaan. Puluhan remaja dan anak-anak yang biasanya tidur di serambi masjid akan beriringan mengikuti pemandu jalan yang membawa suluh atau lampu petromaks menembus malam. Dalam segala harapan dan kecemasan, kadang kami membayangkan bahwa perjalanan itu sesungguhnya adalah gambaran perjalanan hidup kami sendiri. Kami adalah rombongan orang-orang letih yang rela menempuh kerepotan, sebab di ujung sana ada janji yang membuat segala kesulitan ini bermakna abadi: berdekatan dengan Nabi melalui uraian hikmah seorang kiai.

Apa yang lebih berharga ketimbang bersanding dengan Sang Rasul, teladan segala makhluk penghuni langit dan bumi?

Di musim penghujan, sering kami harus berjalan di bawah payung atau selembar daun pisang menyusuri jalan kampung yang licin dan lumpurnya membuat segenap sela-sela jemari kaki terasa gatal seperti tertusuk-tusuk duri. Beruntung mereka yang punya sepatu boot plastik. Tapi kebanyakan tentu harus menenteng sandal jepit masing-masing agar tidak putus terbenam lumpur jalan. Hingga pertengahan tahun 1990-an di kampung kami jalan aspal dan aliran listrik hanya melintas sebentar di seputar kota kecamatan.

Di musim kemarau, apalagi di bawah terang cahaya bulan, kerap kami berjalan ribuan meter untuk mendengar ceramah dari kiai yang kami idolakan. Pemuda-pemuda tampak berdandan semerbak dan saling berboncengan sepeda sambil berharap nanti di tempat pengajian mereka sempat beradu pandang dan bertukar senyum dengan gadis pujaan. Kain sarung, kopiah, peci, kerudung dan baju kurung model mutakhir tampak ramai berseliweran dikenakan orang.

Baca juga:  Spirit Ramadan di Bumi Kinanah

Di musim panen, makanan selalu melimpah. Beberapa hari sebelum perayaan, kaum perempuan yang tinggal di sekitar masjid atau surau penyelenggara acara segera sibuk menyiapkan aneka makanan. Ketika nyanyian Salawat Nabi mulai dilantunkan sebagai bagian dari acara pembuka, para anggota panitia segera keluar membagi-bagikan hidangan. Kue lapis, tape ketan, wajit, nagasari, goreng pisang, dadar gulung, kue apem, serabi, kue cucur, lupis, bakwan udang, lemper, carabikang, peyek kacang, terus mengalir tiada putus-putusnya. Jika kiyainya cukup terkenal dan pengunjung meruah sampai di luar halaman hingga di bawah pohon-pohon pisang, makanan-makanan itu telah disiapkan dalam plastik-plastik kemasan. Sebelum dan setelah acara utama, digelar pula serangkaian acara tambahan, dari mulai lomba-lomba, khatmil Qur’an anak-anak, khitanan massal, pembacaan kitab al-Barzanji hingga pertunjukan pencak silat atau drama dan tentu saja musik rebana.

Tapi ketika musim paceklik panjang tiba, kadang bahkan persediaan makanan pun tak mencukupi untuk semua yang datang. Paling-paling hanya ada lemet singkong, kerupuk gendar, dan ketela atau jagung rebus sebagai hidangan pembuka. Ketika Kiai mengakhiri ceramahnya hampir tengah malam dan panitia mulai membagi-bagikan nasi bungkusan daun pisang, dengan sedih tak jarang kami lihat anak-anak muda yang setengah kalap saling berebut makanan. Ada yang berteriak-teriak, ada yang mengumpat, anak-anak kecil mengaduh dan menangis saling bertubrukan. Si Panitia marah-marah karena bawaannya tumpah dan gulungan sarungnya nyaris lepas di depan keramaian. Setelah sadar, sebagian wajah tersipu-sipu sambil membersih-bersihkan pecinya yang tadi sempat terinjak orang. Seperti kucing yang habis berebut, yang mendapat bagian segera menyelinap dan dengan lahap menyantap nasi keras berlauk ikan asin dan sayur cabai hijau yang pedasnya tidak ketulungan. Tak sedikit pula yang akhirnya pulang dengan perut keroncongan.

Baca juga:  Warna Islam dalam Tradisi Lokal

Betapapun, di atas semuanya, uraian hikmah sang kiai menjadi siraman batin yang tak terhingga maknanya buat kami.

“Apa arti kekayaan dan nikmat kesehatan yang tak disertai rasa syukur? Apa arti kemiskinan dan ujian penyakit yang tak dihadapi dengan sabar dan ihtiar? Apa arti jabatan dan ketenaran yang hanya berbuah kesombongan? Apa arti keahlian dan ilmu tanpa manfa’at bagi sesama? Apa arti kebodohan yang tak disertai kemauan untuk terus belajar? Apa arti amal yang tak dibarengi keikhlasan?,” tanya Kiai idola kami dari atas podium dengan suaranya yang berat dan serak. Pandangannya yang teduh membuat hati kami merasa tenteram.

Dalam bulan-bulan seperti ini beliau harus berceramah dari kampung ke kampung siang malam, kadang untuk beberapa acara peringatan Maulid sekaligus setiap hari. Tak jarang beliau datang terlambat, karena sepeda motor yang ditumpanginya macet terjebak lumpur di tengah jalan yang membelah persawahan. Tapi orang-orang selalu setia menunggu untuk mendengar kisah-kisah hikmah, lelucon-leluconnya yang selalu segar dan alunan suaranya yang indah membacakan ayat-ayat al-Qur’an serta Salawat.

Orang-orang terus setia mendengar kiai yang satu ini karena sikapnya yang istiqamah sebagai panutan banyak orang. Bukan saja ia tak mengenal lelah dan waktu untuk melayani jama’ah di tempat-tempat terpencil, ia juga tak pernah terdengar ikut-ikutan sibuk berkampanye menjelang pemilu seperti banyak kiyai lain. Selain pelajaran hikmah yang diuraikannya, selalu ada syair, doa-doa dan wirid baru yang kami bawa pulang setelah mengikuti pengajiannya.

“Tengoklah kembali teladan Rasulullah dan mari lakoni ajarannya, jika kita ingin hidup selamat dunia-akhirat. Kita bukanlah siapa-siapa dan tak punya apa-apa. Seberapapun tinggi ilmu dan kedudukan yang kita raih, seberapapun banyak harta dan prestasi dunia yang kita kumpulkan, di akhirat, hanya rahmat Allah dan syafa’at Rasulullahlah yang mampu menyelamatkan diri kita dari siksa api neraka. Karena itu, Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, jangan putus memanjatkan puji syukur, jangan henti menghidupkan sunnah Rasul. Jangan pernah puas memperbanyak amal ibadah….”

Baca juga:  Adat Istiadat Keumaweuh (2): Menggali Jenjang Tradisi Keumaweuh Masyarakat Aceh

Suara sang kiai kembali menggema dari pengeras suara yang dipasang tinggi-tinggi pada batang pohon kelapa. Orang-orang terdiam. Sebagian terkantuk-kantuk tersandar pada bahu teman di sebelahnya. Mungkin biar ucapannya lebih terpatri di hati hadirin, mungkin untuk membangunkan yang tertidur, atau sekedar mengambil jeda untuk minum, sang kiai pun melantunkan Salawat.

“Salatullah salamullah, ‘ala thaha Rasulillah

SalatulLah salamullah, ‘ala yasin habibillah

Tawassalna bi bismilah, wa bil hadi rasulillah

Wakulli mujahidil lillah bi ahlil badri ya Allah

 

Sadarlah Kau wahai manusia, jangan terlena oleh dunia

Malaikat juru pati, mengintaimu kapan saja

Ia mengintai siap sedia, ‘tuk mencabut nyawa kita

Yang ditunggu hanya satu, titah Tuhan Yang Kuasa

Setelah turun titah Rabb-nya, bergegas ia sambil berkata

Aku ini pelaksana, kau tak bisa menunda jua.”

Dalam khusyuk dan takzim, orang-orang pun bergemuruh menyanyikan Salawat. 

Begitu syahdu irama sang kiai, kadang hingga suaranya terdengar merintih dan matanya berkaca-kaca, sampai-sampai kami merasa bahwa RasululLah benar-benar hadir di tengah kami. Di kampung kami, ketika aku masih kecil, setiap orang memang sangat akrab dengan kidung Salawat. Sembari menunggu jama’ah shalat, selagi menidurkan anak, atau ketika sepi sendiri dan hati galau oleh berbagai belitan masalah hidup yang tak henti-henti, kami selalu mendendangkan Salawat. Kami percaya bahwa Rasul selalu mendengar suara hati kami, orang-orang kecil yang kesepian, melalui lantunan Salawat yang kami dendangkan.

Karena itu, tak ada yang membuat gairah kami surut untuk terus menggelar dan mengikuti peringatan Maulid. Di kala susah maupun senang, Maulud bagi kami sungguh bulan sepenuh kerinduan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Scroll To Top