Sedang Membaca
Kafir tak Melulu Terkait Akidah
Idris Ahmad Rifai
Penulis Kolom

Sedang menempuh S2 jurusan Ilmu Al-Quran, Hadis, dan Sejarah di Universitas Zaitunah, Tunisia

Kafir tak Melulu Terkait Akidah

Saya tergelitik untuk ikut meramaikan jagat media sosial yang sedang asyik mendiskusikan kata kafir. Saya menggunakan istilah “berdiskusi”, sebagai upaya sekaligus harapan untuk menaikkan level obrolan warganet di medsos.

Sebab, mayoritas mereka membicarakannya tanpa ada nilai ilmiahnya bahkan menjadi ajang saling mencaci.  Maka saya ingin menaikkannya menjadi level berdebat (mujadalah) yang ilmiah dalam rangka meningkatkan kualitas intelektual dalam tolabul ilmi.

Kata kafir sendiri menjadi trending topic setelah keputusan musyawarah bahtsul masail yang dihajat oleh Nahdlatul Ulama dalam rangkaian Musyawarah Nasional (MUNAS) Alim Ulama dan Konferensi Besar (KONBES) Nahdlatul Ulama di Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Banjar, Jawa Barat.

Dalam keputusan itu disepakati bahwa tidak tepat lagi menyebut warga non-muslim di Indonesia dengan istilah kafir. Lantas keputusan itu menuai pro dan kontra. Yang pro tidak perlu dipersoalkan, namun yang kontra ada yang menanggapi dengan ilmiah namun kebanyakan hanya dengan nyinyir belaka. Bahkan ada yang mengatakan bahwa melarang orang untuk menyebut kafir adalah kufur.

Kata kafir diambil dari asal kata ka-fa-ra yang berarti satara atau tahgthiyyah (menutup atau menutupi). Habib Ali Al-Jufri dalam Al-Insaniyyah Qobla al-Tadayyun misalnya, mengatakan para petani bisa disebut kafir, sebab ia menutupi atau menimbun biji-biji/benih yang akan ditanam dengan tanah. Bahkan, malam (hari) bisa disebut kafir karena ia telah menutupi segala sesuatu dengan kegelapannya. Untunglah ada pendar cahaya bulan dan bintang,  alhamdulillah ada nyala lampu. Maha Besar Allah.

Baca juga:  Kita Sebelum Dilahirkan

Ia melanjutkan dengan membagi istilah kafir kedalam lima kelompok; kufrun duna kufrin, kafirun munafiqun, kafirun bijahalah, kafirun muanidun, dan kafirun harbiyyun.

Poin dari tulisan ini adalah menegaskan bahwa tak selamanya yang disebut kufur atau kafir itu —sebagaimana yang dipahami oleh sebagian orang- menandakan bahwa ia sudah pasti sesat dan masuk neraka.

Syekh Yusuf al-Qordlowi dalam Khitobuna Al-Islami Fi Ushri Al-Aulamah mengatakan bahwa Alquran tak hanya menggunakan kata kafir/kufur untuk menyebut orang-orang kafir. Adakalanya digunakan kata ya ayyuhannas, ya ibadi, ya ahl al-kitab, ya bani adam. Bahkan penggunaan kata kafir secara sorih hanya dalam dua ayat, yakni dalam surat al-Tahrim ayat 7 dan surat al-Kafirun.

Sebagian ustaz ada yang mengatakan bahwa kalau begitu ganti saja istilah al-Kafirun dalam surat al-Kafirun menjadi “Qul Ya Ayyuha Non Muslim”. Dari redaksi ini seolah ingin mengatakan bahwa tidak menggunakan kata kafir berarti mengingkarinya.

Menurut hemat saya, logika ini tidaklah tepat. Karena tidak menggunakan istilah kafir bukan berarti mengingkarinya. Misal saya tidak menggunakan kata “bodoh” dengan menggantinya dengan kata “tidak faham/selalu tidak faham”. Apa saya mengingkari bahwa ada kata bodoh dalam KBBI atau saya lantas mengingkari bahwa memang ada orang bodoh?

Tidak juga, sebab ini hanyalah soal diksi, sesimpel itu sebenarnya, tidak lantas diperlebar menjadi ranah akidah. Apalagi, sampai menyimpulkan bahwa yang tidak berani menyebut kafir kepada selain muslim adalah telah menentang Alquran.

Baca juga:  Nahdlatul Ulama, ‘Soft Power’, dan Diplomasi Sains

Karena tujuan (maqashid) yang diinginkan adalah hanya supaya lebih menjaga perasaan dan kenyamanan dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara. Jangan sampai karena sebuah diksi akhirnya membuat interaksi, persahabatan, kerukunan, kemesraan dalam bermasyarakat akhirnya menjadi terpecah.

Tetapi kemudian masih ada juga yang tidak setuju. Bahwa kata kafir harus tetap dipakai, dengan argumen bahwa itulah yang diajarkan Alquran. Orang kafir pun tidak marah jika dipanggil kafir dan menganggap itu berlebihan.

Oke tidak masalah, namun kaum muslim juga harus konsisten, dan tidak boleh marah jika dipanggil dengan “domba-domba yang tersesat”.

KH. Ahmad Shiddiq pernah mencetuskan trilogi persaudaraan agar tak ada lagi celah untuk memutuskan persaudaraan yakni; Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama muslim). Jika tidak sama agamanya maka kedepankanlah Ukhuwah Wathaniyyah (persaudaraan sesama anak bangsa). Jika tidak pula seislam dan sebangsa, pertimbangkanlah Ukhuwah Basyariyah (persaudaraan sesama manusia).

Allah saja sebagai sang Khaliq al-Nas (pencipta manusia) sangat memuliakan manusia dalam firman-Nya: Wa laqad karramna bani adam (sungguh kami memuliakan bani adam).

Lantas,  mengapa kita sebagai ciptaan Allah dan sesama manusia tidak saling memuliakan?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top