Sedang Membaca
Mengulik Interkulturalisme dalam Musik Etnik
Heru Harjo Hutomo
Penulis Kolom

Penulis lepas. Mengembangkan cross-cultural journalism, menulis, menggambar, dan bermusik

Mengulik Interkulturalisme dalam Musik Etnik

Budayanusantara.web.id

Seperti halnya pluralisme, selama ini multikulturalisme di Indonesia masih sebatas pengakuan (recognition) terhadap perbedaan. Berbagai konflik etnis  juga dapat dipicu oleh perbedaan yang hanya sebatas pengakuan, bahwa kita berbeda. Padahal yang terpenting adalah hal-hal yang semestinya dilakukan lebih lanjut setelah tahu dan sadar bahwa kita berbeda.

Atas nama kebersamaan yang merupakan tuntutan sosial dan politik (etis dan konstitusi), tak selamanya pengakuan dan penerimaan terhadap perbedaan sampai harus menutup ruang bagi adanya persinggungan yang tak mungkin terelakkan di zaman sekarang.

Pada bidang kebudayaan seumpamanya, ketika bersinggungan dengan sistem nilai pada kebudayaan lain, saya kerap menemukan satu titik singgung. Bahwa kebudayaan saya pada dasarnya memiliki pula apa yang disebut Deleuze sebagai “musical accord” dengan kebudayaan lain (Negotiations, 1972-1990, 1997).

Sistem nilai pada suatu kebudayaan pada dasarnya tak hanya memengaruhi relasi sosial dan etika yang hidup dalam komunitas. Ia juga nyata memengaruhi, atau dalam istilah yang lebih tepat, tercermin dari beberapa unsur kebudayaannya, semisal musik etniknya (Intertonikalitas: Perihal Titik Awal Sekaligus Akhir Musik, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).

Seandainya diseksamai, terdapat ketersambungan suasana yang dihasilkan oleh musik-musik yang menggunakan tangga nada tradisional, meskipun pada tataran garap, tema, dan lirik, masing-masing musik tradisional tersebut berbeda.

Tangga nada madenda yang dipakai dalam musik-musik etnik masyarakat  Sunda ternyata memiliki kesesuaian suasana dengan musik-musik etnik bertangga nada pelog Jawa, dengan lebih mengeksplorasi nada atau laras 4 daripada laras 3 (jangga).

Demikian pula penggunaan tangga nada atau  titi laras slendro barang miring (Yang Berisik,Yang Berbisik: Seni Sebagai Pendidikan Toleransi Sejak Dini, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org) yang secara geografis cukup dieksplorasi di wilayah pesisir Jawa (mulai dari Cirebon, Banyumas sampai Banyuwangi), memiliki kesesuaian suasana dengan musik-musik tradisional Cina.

Baca juga:  Hidup adalah Perjalanan Makna

Taruhlah lagu rakyat “Genjer-Genjer” atau lagu rakyat Bayuwangi yang secara musikal memiliki kesesuaian suasana dengan musik etnik Madura “Ulan Andung-Andung”; lagu rakyat pesisiran “Impen-impenan”; dan lagu rakyat China “A Man Should Strengthen Himself” yang secara teatrikal identik dengan figur Wong Fei Hung.

Ketiganya menggunakan tangga nada pentatonic, yang dalam karawitan Jawa lebih mendekati transposisi nada pathet 9 yang memiliki tonika laras 5 di mana dalam musik modern dapat dimainkan dengan akor minor.

Demikian pula musik etnik masyarakat Dayak Kalimantan Tengah, Karungut, ternyata memiliki kesesuaian suasana dengan tradisi parikan yang biasanya disematkan pada kidungan Jula-juli karawitan Jawa Timuran. Kebetulan dua bentuk musik tradisional tersebut juga memakai apa yang lazim disebut sebagai tradisi pantun dalam kesusastraan Indonesia.

Kesesuaian suasana inilah yang pernah saya sebut sebagai “communi(cati)on” atau intimasi (Menangkap Kata Rupa dan Rupa Kata, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id) yang merupakan fungsi lain dari bahasa.

Sementara ini memang ada pendapat yang menyatakan bahwa tangga nada yang lazim dieksplorasi dalam kebudayaan Timur adalah tangga nada pentatonis yang terdiri dari 5 nada. Sementara dalam kebudayaan Barat identik dengan tangga nada diatonis yang terdiri dari 7 nada.

Dalam kebudayaan Jawa pada khususnya terdapat dua buah tangga nada atau titi laras yang disebut laras slendro dan laras pelog. Ada anggapan bahwa laras slendro terdiri dari 5 nada dan laras pelog terdiri dari 7 nada. Padahal keduanya sama-sama terdiri dari 5 nada atau pentatonis, karena laras 4 pada laras pelog hanya semacam variasi yang merupakan perluasan laras 3.

Baca juga:  Ketika Kejahatan Dianggap sebagai Kewajaran

Hal ini kentara dalam permainan instrumen rebab dengan teknik sliding-nya,  laras 4 biasanya meminjam lubang laras 5 dengan ditutup sebagian (karena tak ada lubang nada 4).

Instrumen cemplung ataupun siter juga demikian. Ketika jatuh pada laras 4 biasanya akan menggunakan teknik nyecek atau dalam musik modern disebut sebagai teknik muting (karena tak ada dawai nada 4).

Ketika dimainkan pada laras pelog 5, yang menyerupai tangga nada madenda di Sunda, laras 3 cukup minimal penggunaannya daripada laras 4. Adapun pada laras pelog barang penggunaan laras pi (yang dalam notasi karawitan lazimnya ditulis dengan angka 7) menggantikan laras 1 (penunggul) pada laras pelog bem. Dengan demikian, sebenarnya laras pelog tetap berjumlah 5 nada atau pentatonis.

Dari “persinggungan suasana” yang dihasilkan oleh berbagai musik tradisional tersebut, maka multikulturalisme dari perspektif musik etnik tak semata sebuah pengakuan dan penerimaan pada perbedaan sistem kebudayaan, tapi juga sebuah multiplisitas dan dialog.

Adakalanya persinggungan suasana itu juga menyeberang dari kebudayaan Barat ke Timur dan sebaliknya. Musik-musik tradisional bangsa Skandinavia ternyata juga memiliki kesesuaian suasana dengan musik-musik tradisional bangsa Mongolia.

Dari perspektif inilah saya kira etnomusikologi merupakan bagian dari antropologi: eksplorasi sebuah sistem budaya dari perspektif seni musiknya. Tapi saya melihat etnomusikologi selama ini tak pernah atau luput menyajikan gambar besar sebuah sistem budaya sebagaimana yang dihasilkan oleh etnografi yang mampu memahami sebuah sistem budaya secara keseluruhan.

Terlebih, dari penelitian seni musik etnik tersebut, tak pernah atau belum pernah ada satu pun teori tentang kebudayaan yang lahir. Dengan demikian esai ini adalah langkah awal dari pembangunan sebuah teori yang bersinggungan dengan budaya dengan beranjak dari seni musik etniknya.

Baca juga:  Menyoal Bahasa Nasional Kita

Selama ini banyak orang melihat seni musik dari sisi hiburannya semata, atau kalau tak demikian, dari sisi pedagogisnya sebagaimana yang tercermin dari musik-musik etnik yang selama ini dikategorikan sebagai adiluhung (Membaca Ronggawarsita, Mencerna “Ngelmu” Rasa, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).

Musik pun saya kira adalah juga semacam perkakas yang dapat digunakan untuk membangun sebuah teori. Hal inilah yang mendasari saya dalam menemukan teori “intertonikalitas” dan kali ini teori “interkulturalisme” yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari teori multikulturalisme.

Bahwa tak selamanya sistem budaya yang berbeda sama sekali tak ada persinggungan atau ketersambungan yang menjadikan mereka terpisah atau terisolir satu sama lain.

Inilah yang saya maksud sebagai “interkulturalisme” yang secara antropologis tercermin pada prinsip etis “sadumuk bathuk sanyari bumi” pada masyarakat Jawa, “sirri na pesse” pada masyarakat Bugis-Makasar, dan “carok” pada masyarakat Madura (Ramadhan, Kebhinekaan, dan Kemanusiaan, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org) .

Persinggungan atau ketersambungan rasa ketiga sistem nilai budaya yang berbeda tersebut adalah pada konsep besar martabat (dignity) sebagaimana yang dapat dirasakan pada sesesap suasana yang dihasilkan oleh lagu rakyat “Genjer-genjer” atau “Impen-impenan” dan “A Man Should Strengthen Himself.”

Interkulturalisme inilah yang saya pikir selama ini mampu meneguhkan toleransi dan perbedaan dengan melahirkan solidaritas. Bukan multikulturalisme yang selama ini  hanya sebatas pada peneguhan perbedaan, yang justru secara ironis akan menyebabkan mengerasnya batas identitas serta otomatis berpotensi untuk mengoyak keberagaman.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top