Bagi saya yang sudah tidak sekolah, sudah jarang sekali mengatakan, mengunjungi atau sekedar mengingat satu kata ini: perpustakaan. Tapi ke-Ingin-an (dengan “I” besar) ikut terlibat pendirian sebuah perpustakaan bagus (koleksi banyak dan istimewa, sistem canggih, ruangan layak, dan kegiatan yang manfaatnya terasa), tidak pernah surut sama sekali.
Keinganan itu bersumber dari kalimah almagfurlah Kiai Asyhri Marzuki, pendiri Pesantren Nurul Ummah, Kotagede-Jogjakarta. Kira-kira kalimah beliau yang diutarakan ke banyak santrinya itu begini:
“Perpustakaan Fakultas Syariah kok kecil begitu. Saya ingin bikin perpustakaan yang besar, seperti punya Katolik itu.”
Kalimah dengan nada mengejek itu diarahkan ke Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, sekarang bernama UIN. Perpustakaannya memang nyempil, di lantai dasar, di antara ruang-ruang kantor, pengap, dan koleksinya banyak raib dipinjam dosen-dosen yang rajin membaca. Saya masih ingat, sebuah buletin Fakultas Syariah pernah investigasi “Kemana Hilangnya koleksi perpustakaan Fakultas Syariah?”
Apa temuannya investigasi itu?
Buletin yang dikelola kawan-kawan mahasiswa ini merilis nama-nama dosen yang meminjam puluhan buku dalam jangka waktu lama, “lupa” mengembalikan. Saya masih ingat nama dosen yang menduduki peringkat atas dalam meminjam buku: Pak Hamim Ilyas dan Pak Agus Maftuh (sekarang dubes di Saudi Arabia).
Kedua dosen (semoga sehat selalu) ini memang terkenal pintar, alim, berpengetahuan, dan tidak lelah “mengendus” buku-buku baru. Pak Hamim alim di bidang tafsir. Pak Agus canggih di bidang ilmu hadis. Saya sih “rela-rela” saja beliau-beliau pinjem buku dalam waktu lama, toh ilmunya untuk mahasiswa juga. Iya kan? Buletin itu harusnya juga merilis nama-nama dosen yang tidak pernah pinjem buku. Iya kan?
Kembali ke kalimah Kiai Asyhari Marzuki. Perpustakaan punya Katolik yang dimaksud beliau adalah perpustakaan Kolsani (Kolese Santo Ignatius) di Jalan Abu Bakar Ali, Kotabaru, Jogjakarta. Perpustakaan ini memamg terkenal di Jogja, tua, besar, dan punya koleksi cukup kaya, termasuk koleksi buku-buku keislaman. Bahkan mereka punya Alquran tua yang ditulis di atas daun lontar.
Imajinasi Kiai Asyhari tentang perpustakaan bisa kita bayangkan. Sebab, beliau pernah belajar di Baghdad, kota yang pada abad kedua Hijriah atau abad kesembilan Masehi, menjadi pusat ilmu pengetahuan, dengan Baitul Hikmahnya (House of Wisdom) yang terkenal itu. Baitul Hikmah inilah yang mengilhami Raja Louis XI mendirikan perpustakaan Nasional Bibliotheque di Paris, yang berwibawa hingga sekarang.
Bagdad memang punya beberapa perpustakaan tua yang sekarang masih ada, semisal Perpustakaan Masjid al-Qadiriyah, perpustakaan yang didirikan oleh sufi yang terkenal di negeri kita: Syekh Abdul Qodir al-Jailani dan seorang qadi terpandang pada waktu itu: Abu Said al-Mubarok al-Mukhoromi.
Jadi wajarlah jika Kiai Asyhari Marzuki punya imajinasi yang megah terkait perpustakaan. Dan rupanya beliau sudah “merintisnya”. Sewaktu beliau melakukan “katalogisasi” kitab-kitabnya, atau buku-bukunya, saya baru mengerti bahwa koleksinya bukan saja yang menutupi seluruh tembok-tembok ruang tamu (juga ruang pengajian), tapi juga di dalam kamar pribadi dan kardus-kardus yang tersimpan rapi.
Setelah katalogisasi selesai, di mana saya masuk dalam tim itu, buku atau kitab koleksi Kiai Asyhari tidak kurang dari 12 ribu judul buku. Dari mulai buku atau kitab tafsir, fikih, tasawuf, hingga majalah dan buku-buku puritan (berbahasa Arab) karangan aktivitis Ikhwanul Muslimin. Koleksi beliau tidak sedikit dan tidak biasa, dan sering menjadi rujukan mahasiswa IAIN/UIN. Bahkan Pak Agus Maftuh pernah bilang ke saya bahwa dirinya sering meminjam buku-bukunya Kiai Asyhari.
“Koleksinya memang super lengkap,” katanya suatu hari. Beliau, kata Pak Agus, satu-satunya kiai yang punya the encyclopedia of britannica yang puluhan jilid tersebut. Beliau punya ensiklopedia ulama-ulama pengarang kitab, judulnya Hadiyyatul Arifin Asma’ al-Muallifin wa Atsar al-Mushannifin karya Ismail Basya, terdiri dari dua jilid besar.
Sayang sekali, Kiai Asyhari wafat (2004) sebelum imajinasinya itu terwujud. Namun, ini bukan berarti imajinasi itu telah hilang. Kita dapat meneruskan imajinasi agung tersebut. Bahkan imajinasi ini dapat diwujudkan secara kolektif, berjama’ah, oleh institusi-insitusi atau komunitas pesantren secara luas.
Perpustakaan dengan bentuk bukunya yang fisik mungkin tidak lagi menjadi pikiran. Sekarang “zaman now”, zaman digital, zaman yang mampu menyulap ruang fisik menjadi ruang digital, zaman yang mampu meringkus bentuk menjadi tak berbentuk. Namun, kita butuh simbol hidup yang dapat digerakkan dan dimaknai, lebih-lebih institusi pesantren, komunitas atau masyarakat yang berpijak pada dunia ilmu.
Saya membayangkan, koleksi kiai-kiai atau para ulama kita, sebagiannya, dapat dikumpulkan dalam satu “wadah”. Saya juga melihat, banyak koleksi para intelektual muslim di Jakarta (dan kota lain tentunya), yang ribuan bukunya sudah tidak “dipakai” lagi, begitu juga keturunannya, berpotensi tidak membacanya, karena bidang dan minatnya berbeda.
Nah, ini dahsyat sekali jika dikumpulkan dalam satu wadah, misalnya, ini misalnya saja, bernama Baitul Hikmah. Nantinya, wadah itu tidak hanya berfungsi sebagai perpustakan, tapi juga seperti Baitul Hikmahnya Harun ar-Rasyid, yang berisi kegiatan menerjemah, digitalisasi, kegiatan seni (film, musik, seni rupa, dll) pendidikan, seminar, penerbitan, hingga percobaan-percobaan keilmuan.
Jika imajinasi Kiai Asyhari ada yang meneruskan, ke-Ingin-an (dengan “I”) melibatkan diri dalam membangun perpustakaan bagus, ada wadahnya.
Dalam benak saya, tidak masalah sudah tidak menyebut, mengingat, atau mengunjungi perpustakaan, asalkan, entah kapan, dapat terlibat dalam membangun tempat –di mana kegiatan ilmu pengetahuan berlangsung dan cita-cita bersama diperjuangkan dengan sungguh-sungguh– bernama: Perpustakaan.