Sedang Membaca
Apa Pelajaran yang Bisa Kita Ambil dari Pertemanan Cak Nur dan Gus Dur? (Bagian 2)
Hamzah Sahal
Penulis Kolom

Founder Alif.ID. Menulis dua buku humor; Humor Ngaji Kaum Santri (2004) dan Ulama Bercanda Santri Tertawa (2020), dan buku lainnya

Apa Pelajaran yang Bisa Kita Ambil dari Pertemanan Cak Nur dan Gus Dur? (Bagian 2)

Sejarah pertemanan Gus Dur dan Cak Nur adalah kelanjutan pertemanan kedua ayah mereka. Abdul Wahid Hasyim dan ayahnya Cak Nur, yaitu Abdul Madjid, berteman dekat. Sesama orang Jombang iya, tetapi lebih dari sekedar itu, yakni Abdul Madjid adalah santri ayahnya Abdul Wahid Hasyim, Kiai Muhammad Hasyim Asy’ari.

“Walaupun sebagai anak-anak, Gus Dur dan Nurcholish tidak bermain bersama-sama, namun ayah mereka adalah teman dekat dan bersaudara karena hubungan perkawinan. Ayah Nurcholish, Abdul Madjid, bukan saja seorang teman dekad Wahid Hasyim, melainkan juga murid Kiai Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng. Sebagai lulusan pesantren, Abdul Madjid berlatar belakang tradisionalis walaupun secara resmi ia bukanlah anggota NU.” 

Paragraf di atas yang ditulis Barton cukup penting untuk menggambarkan latar belakang Cak Nur. Sayangnya, Barton tidak menjelaskan hubungan perkawinan yang dituliskannya itu.

Melalui informasi yang didapat dari Cak Nur langsung, Barton menuliskan bahwa Abdul Wahid Hasyim dan Abdul Madjid punya visi sama, yaitu bersatunya umat Islam; tradisionalis dan modernis itu berkumpul dalam satu wadah. Dan karena itu, untuk menghormati Wahid Hasyim, Madjid masuk Masyumi sedari awal berdirinya. Begitu pula saat NU bikin partai sendiri, Madjid tetap di Masyumi. Tetapi di sisi lain, Madjid juga kecewa karena kaum modernis begitu mendominasi Masyumi. 

Agar mendapatkan gambaran utuh, saya letakkan sebagian informasi Barton ini di sini:

“Keputusan Abdul Madjid mendukung Masyumi akhirnya menimbulkan rasa sakit hati yang mendalam dan penderitaan yang besar bagi dirinya. Ia sering pulang dari sawahnya di Jombang sambil menangis, sebagai akibat dari tuduhan-tuduhan yang dilancarkan oleh kaum modernis yang mendominasi Masyumi, dan juga oleh kaum tradisionalis yang mempertanyakan mengapa ia tidak mau menjadi anggota NU. Akan tetapi hal ini tidak membuat Madjid kecil hati untuk mundur dari usahanya melaksanakan apa yang dipahaminya sebagai visi Wahid Hasyim untuk mempersatukan kaum modernis dan kaum tradisionalis. Karena itu, ia sangat ingin puteranya, Nurcholish, memperoleh pendidikan yang menyatukan segalanya yang terbaik dari dua unsur ini.”

Baca juga:  Memetik Hikmah dari Lika-liku Hidup Buya Syafii Maarif

Salah satu poinnya, Madjid mengalami dilema besar, “disenggol” baik dari kaum modernis ataupun dari kaum tradisionalis. Tetapi punya keyakinan atas temannya, Wahid Hasyim, bahwa kedua golongan ini harus bersatu, terus dipegang kuat-kuat. Sebab itu, anaknya, Nurcholish, diharapkan dapat meneruskan visi ini. Sebagai jalannya, Nurcholish dipesantrenkan di Darul Ulum Peterongan Jombang yang tradisionalis, lalu dilanjutkan ke Pesantren Gontor, yang modernis. (Mimpi bersatunya umat Islam ini sebetulnya juga ditertanam pada kader Kiai Wahid Hasyim, yaitu Kiai Saifuddin Zuhri).

Dalam catatan kaki, Greg Barton menuliskan wawancara dengan Nurcholish pada bulan Januari 1990, Januari 1992, dan Februari 1994. Sangat meyakinkan informasi Barton. Terima kasih, Pak Barton…

***

Di bagian lain, Barton bercerita tentang pertemuan Cak Nur dengan Gus Dur. Cak Nur mampir ke Timur Tengah, sepulang dari kunjungan pertama kalinya ke Amerika Serikat. Keberhasilannya mengunjungi Baghdad, kata Barton, adalah “kisah cinta” yang berlangsung seumur hidup. Kenapa demikian?

Karena dia sengaja menemui Gus Dur. “Ayahnya sering bercerita mengenai putera Wahid Hasyim, Gus Dur. Ayah Nurcholish juga menyarankan agar anaknya menggunakan kesempatan ini (perjalanan pulang dari Amerika) untuk mengunjungi Gus Dur di Baghdad,” ungkap Barton. Perjalanan Cak Nur ke Baghdad dilakukan dengan tidak mudah, tetapi karena mendapatkan amanat dari sang ayah, maka dipenuhi.

Baca juga:  Mengenal Lebih Dekat Gus Hasyim Wahid

Tiba di Baghdad, Cak Nur disambut oleh panitia penyambutan, yang diketuai langsung oleh Gus Dur. 

“Pertemuan pertama ini, yang telah lama-lama ditunggu-tunggu oleh kedua orang ini, merupakan awal dari persahabatan yang panjang,” Barton menutup kisah pertemuan dua keluarga Jombang berlatar pesantren ini. Menarik sekali fragmen pertemuan dua pemuda ini. Dan tak kalah menariknya, keduanya bertemu di Bagdad, sebuah kota yang pernah menjadi saksi keemasan sejarah peradaban Islam, yang sekarang hancur karena invasi Amerika Serikat dan sekutunya.

Jutaan orang berteman karena sesama satu daerah, jutaan pula orang orang berteman punya asal usul pertalian keluarga, demikian pula karena diikat dengan persamaan visi atau cita-cita, atau karena pernah belajar di almamater yang sama. Tetapi tidak sedikit pula pertemanan itu bubar di tengah jalan. Mau contoh? Silakan cari sendiri saja…

Nah, Cak Nur dan Gus Dur, salah satu contoh pertemanan yang langgeng. Keduanya mempertahankan komitmen pertemanan yang kuat. Saya kira godaannya sangat besar untuk “berpisah” di tengah jalan. Dan saya kira mereka punya alasan untuk berpisah, setidaknya bisa saling mengkritik dengan keras di muka publik atau di media. Tetapi tidak mereka lakukan. Sebab, alasan tetap berteman dan bersatu lebih banyak dan mampu menahan diri. 

Ya, tentu saja ada perbedaan di antara keduanya, namanya juga manusia. Misalnya, Cak Nur tidak setuju Gus Dur melawat Israel pada awal tahun 1990an, begitu pula Cak Nur tidak setuju Gus Dur membela kasus Arswendo Atmowiloto, pada awal 1990an juga. Tetapi itu tidak mengurangi rasa saling takzimnya. 

Baca juga:  Obituari: Hamsad Rangkuti, Kebohongan yang Indah

Contoh lagi Gus Dur juga dalam sebuah esai pernah meledek Cak Nur. “Selera bacaan mungkin memang masih belum bervariasi: belum tampak novel dari tingkat sastra dunia menghiasi lemari bukunya. Jadi masih berorientasi buku teks, sudah tentu dalam artian sumber bacaan, buku model berpikir,” tulisan Gus Dur meledak Cak Nur, tetapi pada saat yang sama, ada apresiasi. Esai ini ditulis Gus Dur dengan judul lumayan puitis, “Cak Nur: Tetap tetapi Berubah”, dimuat di Tempo 1982 atau sebelum Gus Dur jadi ketua PBNU, dan dimuat lagi dalam buku “Tuhan Tidak Perlu Dibela” (LKiS). Bukan hanya dengan kalimat itu saja Gus Dur meledek Cak Nur. Tetapi sekali lagi, rasa takzim tetap terasa.

Cobaan terbesar pertemanan antara Cak Nur dan Gus tentu saja saat Gus Dur jadi Presiden RI ke-4, terutama saat Gus Dur. Cak Nur pernah berstatemen pemerintahan Gus Dur tidak optimal (SCTV). Tetapi, menurut keterangan wartawan senior Ishaq Zubaidi Raqib (dari koran Kedaulatan Rakyat biro Jakarta), Cak Nur tidak setuju Gus Dur dilengserkan karena akan memperumit masalah bangsa. Cak Nur mengatakan Gus Dur hanya perlu memperbaiki kepemimpinannya saja dan membuka kompromi, jangan dilengserkan.

***

Apa pelajaran yang bisa dipungut dari pertemanan Allah yarham Gus Dur dan almaghfurlah Cak Nur? Para pembaca yang budiman dipersilakan memungutnya sendiri-sendiri, swalayan…

 

8 Desember,

 

Timoho-Jogja

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top