Sedang Membaca
Hikmah: Bergaul dengan Orang Buruk
Hajriansyah
Penulis Kolom

Penulis Sastra. Meminati seni dan dunia sufi

Hikmah: Bergaul dengan Orang Buruk

“Bisa jadi engkau orang yang jahat, tapi memperlihatkannya sebagai kebaikan darimu oleh sahabatmu yang lebih jahat keadaannya daripadamu.”

رُبَّمَا كُنتَ مُسِيْئاً فأرَاكَ الإِحْسَانَ مِنْكَ صُحْبَتُكَ اِلى مَنْ هُوَ أَسْوَأُ حَالاً مِنْكَ

Bergaul dengan orang yang lebih buruk adalah suatu kejahatan atau keburukan, karena pergaulan dengannya akan membuat seseorang merasa lebih baik dan lebih sempurna. Padahal sesungguhnya ia tak lebih baik, hanya sedikit lebih dari temannya yang buruk itu. Merasa bahwa diri baik, dengan demikian, adalah pangkal keburukan.

Dalam konteks ingin menjadi baik, sebaiknya berkawan dengan orang yang lebih baik yang keadaannya, perkataan dan perbuatannya dapat menunjukkan kepada kebaikan. Sebaliknya, jangan berkawan dengan yang lebih buruk, atau jika tak mendapat kawan yang mampu menunjukkan kebaikan, kata TGH Muhammad Sarni, lebih baik menyendiri. Karena dengan sendiri kita dapat merenungi kejahatan/keburukan diri sendiri.

Kebaikan adakalanya samar di mata orang awam, yang tak mengerti standar kebaikan. Standar yang dipakai tentu saja adalah yang paling baik dari yang umumnya buruk. Ada ungkapan dalam pemilihan: memilih yang “terbaik” dari yang terburuk, dan menyingkirkan yang terburuk dari yang paling buruk. Hal ini tampak lazim, namun pada kenyataannya ini bukan standar dalam pemilihan atas kebenaran. Standar kebenaran mestinya turun dari atas, dari Kebenaran (al-Haqq) itu sendiri. Ia bukanlah hasil kesepakatan, apalagi jika yang menyepakatinya sama-sama tidak mengerti tentang kebenaran.

Baca juga:  Luqman al-Hakim dan Laku Ilmu Hikmah

Bergaul atau bersahabat, atau lebih spesifik berguru, dalam pandangan ahli tasawuf itu ada dua. Pertama, bergaul untuk mengambil berkah saja, seperti berkumpul dengan kawan yang sama mengamalkan wirid-wirid yang telah diatur oleh guru tarekat dalam rangka pelatihan diri menuju kepada Allah. Bukan untuk mencontoh darinya. Ini adalah pergaulan sesama ikhwan (saudara) tarekat. Kedua, bergaul untuk mengambil pelajaran atau untuk mengambil contoh/teladan pada keadaan, perkataan dan perbuatannya. Ini pergaulan murid kepada gurunya. Ia menginginkan didikan yang sempurna, dapat membangkitkan motivasi diri untuk bersungguh-sungguh menuju kepada Allah.

Mendapatkan guru yang sempurna tentulah tidak mudah. Karenanya, para guru sufi membuat standar atau kriteria seorang mursyid yang benar. Di antaranya, menurut Syekh Ragip Jerrahi, adalah Dewasa, Sabar, Peka terhadap muridnya, dan Berada di dunia tapi bebas dari dunia. Dewasa, atau “matang, artinya ia seorang yang berpengalaman. Syekh Ibnu ‘Athaillah dalam Tajul ‘Arus mengatakan, seorang guru keadaannya sendiri lebih baik dari murid, lebih tulus kepada Allah, lebih beradab dan lebih kuat imannya. “Kau tidak akan bisa menyempurnakan orang lain, sebelum keadaan dirimu sendiri sepurna,” kata beliau.

Syekh Javad Nurbakhsy menekankan, guru adalah manusia sempurna yang telah pernah menempuh semua fase perjalanan spiritual. Menjadi guru, katanya, bukanlah sekadar pengakuan belaka melainkan ia dicapai melalui pendidikan seorang guru sempurna sebelumnya. Dalam hal inilah, tarekat umumnya memiliki silsilah (sanad) spiritual yang berterusan dan berujung kepada Nabi Saw.

Baca juga:  Kisah-kisah Hikmah (3): Seorang Laki-Laki Kikir dan Istrinya yang Dermawan

Kemudian sabar, atau kesabaran, yang merupakan sifat esensial seorang guru kepada murid. Sabar adalah salah satu nama Tuhan, dan kata ini banyak disebutkan dalam al-Quran. Kesabaran adalah buah yang masak, kita menunggunya untuk mendapatkan rasa manis dan gizi dalam kandungannya.

Kepekaan terhadap murid, karena seorang guru sejati mengawasi muridnya dengan teliti. Ia mengetahui kebiasaan dan kepribadian murid-muridnya, dan secara naluriah peka terhadap pemikiran dan kondisi batin mereka. Ia mampu mengarahkan si murid pada kesejatian dirinya sendiri dan bukan menjadi pem-beo bagi gurunya. Latihan yang diterapkan meski pada awalnya mengikuti standar umum untuk semua, namun dalam perjalanannya disesuaikan dengan karakter dan kemampuan masing-masing murid sesuai potensi mereka.

Berada di dunia tapi tak terikat oleh dunia. Dalam standar guru-guru sufi, dan tarekat umumnya, seorang syekh diharapkan memiliki pekerjaan dan keluarga, juga melayani komunitasnya. Melajang hanya dianjurkan bagi yang masih dalam tingkat awal untuk konsentrasinya pada pelatihan dirinya. Banyak guru sufi, kata Syekh Jerrahi, adalah seorang profesional: ada yang seniman, pedagang, nelayan, pemilik toko; adapula guru-guru besar yang memiliki pekerjaan rendah seperti buruh, pembawa air dan pembersih kantor.

Pekerjaan ini semata-mata agar ia tidak tergantung kepada murid-muridnya, tidak mengharapkan pemberian mereka, dan sejauh tidak menghalangi hubungan mereka dengan Tuhan. Adakalanya mereka sangat kaya, seperti Imam as-Syadzili sendiri, tapi kekayaannya tidak menghalanginya mengatur dan memerhatikan murid-muridnya. Banyak pula mereka yang miskin tapi tak pernah berkeluh-kesah dan menyusahkan murid-muridnya. Seorang guru tulus dan berserah sepenuhnya kepada Allah.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
2
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top