Sedang Membaca
Kiai Umar Asyiqin: Kisah Berguru dengan Kiai Bisri Musthofa dan Wejangan Titik Nol Bermasyarakat
Abdullah Faiz
Penulis Kolom

Alumni Pondok Pesantren Salaf Apik Kaliwungu dan sekarang Kuliah di UIN Semarang.

Kiai Umar Asyiqin: Kisah Berguru dengan Kiai Bisri Musthofa dan Wejangan Titik Nol Bermasyarakat

Kh. Umar

KH. Umar Asyiqin atau lebih dikenal dengan Haji Umar merupakan tokoh kiai lokal yang berdakwah di Desa Sukareja Kabupaten Subang Jawa Barat. Lahir dari keluarga yang taat beragama Islam, Kakeknya adalah Buyut Rajam, sebuah nama panggilan yang akrab bagi masyarakat, sementara nama aslinya belum ditemukan. Ia, yang menurut salah satu informan, adalah pengembara yang singgah di beberapa tempat dan di tempat tersebut membangun masjid atau musala di antara tempat singgahnya adalah Desa Sukareja sehingga ia disebut sebagai salah satu Founding Father Sukareja.

Nama Buyut Rajam sendiri sepertinya adalah sebutan untuk seseorang yang disepuhkan, “Buyut” dalam istilah Sejarah Cirebon adalah sesepuh yang memiliki peran penting dalam perjuangan tata daerah sehingga memiliki peninggalan baik berupa desa atau keturunan yang masih memiliki garis perjuangan seperti moyangnya. Misalnya dikenal Buyut Palimanan, Buyut Trusmi dan buyut-buyut lainya, dan istilah ini mudah ditemukan di sepanjang daerah pantura Cirebon hingga Karawang. Sementara dalam Bahasa Indonesia “buyut” memiliki arti Anak Cicit, atau sebuah ungkapan garis keturunan ketiga dalam bagan silsilah keluarga. Garis keturunan bagian pertama disebut anak, kedua disebut cucu dan ketiga disebut cicit atau buyut.

Kembali ke Haji Umar Asiqin, beliau termasuk salah satu cucu dari Buyut Rajam yang memiliki kecenderungan ilmu agama yang mendalam. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari pendidikan yang diberikan oleh ayah dan kakeknya juga pengalaman dalam menimba ilmu di beberapa kiai di Jawa.

Berguru dengan Kiai Amin Sepuh dan Kiai Lainya

Kiai Umar atau Haji Umar diperkirakan lahir pada tahun 1930-an, artinya pada tahun tersebut masyarakat Indonesia khususnya di bagian pantura Jawa Barat kondisi masyarakatnya masih jauh dari kata sejahtera. Mengingat tahun tersebut masih masa-masa dalam perang dengan pendudukan oleh negara penjajah. Bisa kita bayangkan, sulitnya memenuhi kebutuhan untuk hidup seperti sandang pangan dan papan.

Namun disisi lain, di dalam masa yang cukup sulit ini, justru malah mengokohkan perkumpulan santri dan jaringan ulama di pesantren. mengingat ulama dan santri  memiliki peran aktif dalam perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia.

Baca juga:  Ijazah Mbah Hasyim Asy’ari kepada Mbah Fadhol Senori

Haji Umar pun mendapatkan akses jaringan keulamaan tersebut, sehingga ia saat masih muda bisa belajar agama kepada KH. Amin Sepuh dan KH. Sanusi di pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon. Selain belajar dengan duo ulama khos ini, ia juga mengaji kepada Kiai Ja’far Kalilunyu Cirebon yang masih memiliki jalur kekerabatan dengan Kiai Jauhar Pesantren Balerante Cirebon. Setelah berguru di sekitar wilayah Cirebon ia kemudian direkomendasikan untuk memperdalam ilmunya ke Kiai Bisri Musthofa (Ayahanda Gus Mus) di Rembang Jawa Tengah.

Menurut penuturan Ibu Masturoh, anak ke 3 Kiai Umar, keberangkatan mengaji kepada Kiai Bisri Musthofa di Rembang, merupakan rekomendasi dari Kiai Ja’far Kalilunyu Cirebon. Karena hubungan Kiai Umar dengan Kiai Ja’far sudah sangat dekat bahkan menjadi keluarga, melebihi hubungan santri dan guru. Akhirnya atas rekomendasi tersebut ia pergi mengaji ke Rembang.

“ Haji Umar (mengaji) ke Rembang itu ya disuruh Kiai Ja’far, kan hubungan keduanya sangat dekat, bahkan sekarang kan sudah keluarga, karena ada salah satu cucunya menikah dengan keturunan Kiai Ja’far,” ungkap Masturoh

Titik Nol Bermasyarakat, Memahami Wejangan KH. Bisri Musthofa.

Ada cerita menarik dari proses mengaji Haji Umar dengan Kiai Bisri Musthofa, cerita ini menjadi titik awal dalam menjalani kehidupan Haji Umar di masyarakat. Pada suatu ketika selepas ia boyongan dari pesantren Leteh Rembang. Ia mengalami kegundahan dalam menjalani kehidupan di masyarakat, kemudian ia berkesempatan bertemu dengan Kiai Bisri Musthofa, sebagaimana santri pada umumnya. Ia meminta nasihat kepada kiainya. Dan tentunya seorang kiai akan mudah menebak atau memahami tantangan santri di masyarakat setelah pulang dari pesantren. lantas ia menanyakan kabar santrinya dan mengajukan pertanyaan.

“Umar pertama apakah kamu mau jadi orang kaya? Atau kamu mau jadi ulama? Atau kamu mau Bertani ­? ,” tanya Kiai Bisri Musthofa

Pertanyaan seorang guru kepada muridnya tersebut adalah pertanyaan yang lumrah untuk generasi muda sebelum memulai perjalanannya di kehidupan masyarakat. dapat dikatakan bekal ilmu dan pengalaman sudah didapat dari pesantren, selanjutnya yang harus ditempuh adalah jalan yang mana. pertanyaan tersebut bisa dikatakan menjadi titik nol dalam melangkah setelah bahan bakar ilmu sudah ada.

Baca juga:  Sajian Khusus: 100 Tahun Soeharto (1921-2021)

Kemudian dari tiga pertanyaan tersebut ia memilih untuk menjadi petani. Setelah itu, Kiai Bisri Musthofa memberikan pesan bahwa kalau menjadi petani harus fokus, rajin bertani, pelajari dan pahami ilmu padi dan terakhir tentunya tidak meninggalkan ilmu-ilmu yang sudah diajarkan saat di pesantren. Pilihan Haji Umar ini adalah pilihan yang cukup realistis, karena desa Sukareja secara geografis dikelilingi oleh persawahan dan pekerjaan pokoknya adalah petani, bahkan di masa sekarang rata-rata masyarakat Sukareja mata pencaharian bertani atau merantau ke Ibu Kota.

Sepulang bertemu Kiai Bisri Musthofa, ia menguatkan tekadnya untuk bertani, bagi Haji Umar, pertemuan ini sangat berharga sehingga menjadi titik semangat berjuang di Masyarakat. Menarik untuk dibahas, berawal dari wejangan Kiai Bisri tersebut, ia benar-benar mempelajari ilmu pertanian dan langsung mengamalkannya.

Di lain sisi, Selang beberapa tahun, setelah menikah dan memiliki keturunan, ia memilih hidup mandiri, berpisah dengan orang tua dan saudara-saudaranya. Ia membangun rumah sekaligus musala sebagai sarana untuk beribadah bersama keluarga, perlu digaris bawahi bahwa orang terdahulu membuat musala ataupun majelis, niat utamanya adalah untuk mewadahi keluarga agar bisa mendapatkan akses beribadah dan ngaji bersama. Oleh karena itu rata-rata pesantren, musala dan majelis secara kepemilikan adalah milik pribadi dari pengampunya atau kiainya, bukan pendanaan dari eksternal seperti pemerintah atau lainya. Hal seperti ini dapat kita temui di beberapa pesantren dan mushola kiai-kiai salaf, adapun keikutsertaan masyarakat dan santri, itu setelah berjalannya waktu. Oleh sebab itu semangat berdakwah itu diawali dari dalam keluarganya lalu tetangganya kemudian masyarakat luas.

Selama musala berdiri, ia aktif melaksanakan berjamaah lima waktu bersama keluarganya dan diikuti tetangga-tetangganya. Kemudian juga membentuk otoritas keagamaan dengan mengisi berbagai tradisi, seperti Mauludan setiap tanggal 12 Rabiul Awal, Rajaban setiap bulan rajab dan Manaqiban setiap tanggal sebelas setiap bulan. Rutinan-rutinan ini selang beberapa tahun menjadi ciri khas atau tradisi yang terbentuk. Sehingga masyarakat memiliki kecenderungan yang positif dengan praktik keagamaan yang diajarkan oleh Haji Umar. Yang perlu diingat, selama ia menghidupi kemakmuran musala sebagai tempat beribadah, silaturrahim dan pertukaran ilmu, ia juga masih bertani sebagai bahan bakar atau bensin untuk terus menjalankan dakwah versinya.

Baca juga:  Ulama Banjar (170): H. Noor Asyikin

Karena baginya bertani adalah pilihan hidupnya saat bertemu dengan Kiai Bisri Musthofa. Dengan ilmu bertani, ia terus mendapatkan panen yang bagus dan mampu memperluas lahan pertanian sehingga dari hasil pertanian tersebut bisa untuk khidmah di masyarakat dan menunaikan ibadah Haji ke Baitullah.

Kisah ini apabila diamati, wejangan dari Kiai Bisri Musthofa secara tidak langsung memberikan instruksi kepada Kiai Umar untuk fokus dalam satu hal setelah bekal keilmuan dan pengalaman sudah didapatkan. Kembali ke pertanyaan Kiai Bisri di awal, “Kamu mau jadi orang kaya? Atau mau jadi Ulama? Atau mau menjadi petani? “tanya Kiai Bisri. Ketiga pertanyaan ini semuanya positif tergantung bagaimana melaksanakannya. Dan setelah Kiai Umar memilih menjadi petani, lalu Kiai Bisri Musthofa menuntut untuk fokus satu hal yang dipilih dan jangan meninggalkan ilmu yang diajarkan di pesantren.

Dapat kita tarik benang merahnya, selama kita sudah memiliki bekal keilmuan dan pengalaman, yang dilakukan selanjutnya adalah fokus dengan tujuan dan jangan meninggalkan ilmu yang sudah diajarkan. Dan kita tau ada pesan menarik dari kisah Kiai Bisri Musthofa dan Kiai Umar bahwa productivity is not about doing more but doing less, hal ini mengajarkan kita tentang pentingnya menerapkan skala prioritas dan membuat rencana-rencana yang diselaraskan dengan realitas

Belajar dengan Kiai Umar, ia adalah orang yang fokus dalam satu hal dan selaras dengan realitas yang ada sehingga secara tidak langsung ketika pilihan yang diajukan oleh Kiai Bisri Musthofa tercapai semuanya, dari menjadi petani ia bisa mendapatkan materi sehingga bisa menjadi bahan bakar dalam perjalanan dakwah, dan dengan ilmunya ia bisa menjadi rujukan masyarakat pada masanya.

Al Fatihah bil khusus untuk Kiai Bisri Musthofa, Kiai Amin Sepuh Ciwaringin, Kiai Sanusi Ciwaringin dan Kiai Umar Asiqin dan semua pendahulu kita.

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top