Guru Sejati
Javad Nurbakhsy, penulis buku Psikologi Sufi dan Belajar Bertasawuf yang juga seorang syekh tarekat Ni’matullah, menyebutkan guru (dalam pemaknaan spiritual) adalah manusia sempurna yang sekurang-kurangnya telah pernah menempuh semua fase perjalanan spiritual.
Menjadi seorang guru bukanlah sekadar pengakuan belaka. Ia harus dicapai melalui didikan seorang guru yang sempurna. Dikatakan, guru sejati mempunyai silsilah guru-guru spiritual yang berpangkal pada Nabi.
Makna silsilah ini menjadi penting, karena dengannya ia ditopang secara spiritual oleh mata rantai (sanad) keilmuan dan pengetahuan (ma’rifah) yang kuat, yang menjadi isyarat pesan dari perkataan Nabi Saw, “al-‘ulama waratsat al-anbiya (ulama adalah pewaris para nabi)”. Seorang guru spiritual setidaknya bisa menyebutkan mata rantai silsilah keilmuannya dari seorang guru kepada guru di atasnya, terus naik ke atas hingga sampai kepada Nabi Saw sebagai seorang “maha-guru” kehidupan.
Adapun peran (kewajiban) seorang guru menurut Syekh Abdul Qadir al-Jailani dalam kitabnya al-Gunyah Lithalibi Tharîq al-Haqq, pertama adalah menerima murid karena Allah, bukan untuk kepentingannya sendiri. Memberi murid nasihat bijak, memperhatikannya dengan mata penuh kasih, memperlakukannya dengan lembut ketika murid tidak mampu menanggung riyadhah (latihan spiritual), lantas mengasuhnya seperti seorang ibu mendidik dan mengasuh bayinya dan seperti seorang ayah penyayang nan bijak terhadap anaknya yang masih kecil.
Seorang syaikh membimbing muridnya secara bertahap, dengan perintah dan rukhshah (keringanan), jika diperlukan, sampai murid benar-benar bisa keluar dari belenggu wataknya dan masuk dalam lingkaran syariat. Pantang bagi guru, kata al-Jailani, mengambil keuntungan materiil maupun jasa pelayanan dari muridnya dalam kondisi apa pun. Jika pun soal-soal ekonomi menjadi kendala, maka jalan terbaik dalam hal ini adalah mempekerjakannya dalam pekerjaan produktif, sejauh dalam koridor yang telah diatur Allah, yang memberikan hasil materiil bagi si murid dan guru.
Terkait dengan kelebihan yang bersifat keajaiban atau biasa disebut karamah (keramat) seorang guru, Imam al-Haddad dalam Adab Suluk al-Murid mengatakan, hati-hatilah dari perbuatan meminta kepada syaikh agar menampakkan keramatnya atau menebak lintasan-lintasan hati. Karena sesungguhnya, sesuatu yang gaib tidak ada yang mengetahui kecuali Allah.
Kebanyakan keramat pada para wali terjadi tanpa kehendak mereka. Jika tampak suatu keramat pada diri mereka, kata al-Haddad, mereka mewasiatkan kepada yang melihatnya agar tidak menceritakan kepada orang lain, kecuali jika mereka telah meninggal dunia.
Syaikh yang sempurna (guru sejati) adalah seorang syaikh yang memberikan manfaat kepada muridnya dengan semangat, perbuatan, dan ucapannya, serta menjaga para murid dalam kehadirannya ataupun tidak (yang bersifat ruhaniah).