Sedang Membaca
Jarwo Dhosok dan Gejala Cocoklogi
Hairus Salim HS
Penulis Kolom

Esais. Bekerja di Yayasan LKiS dan Gading Publishing, Jogjakarta.

Jarwo Dhosok dan Gejala Cocoklogi

Masalah mengotak-atik kata-kata, menghubungkan dan mengaitkan satu sama lain, sehingga tampak terasa pas dan sesuai dengan sebuah nama, istilah, konsep, dll atau yang kini banyak disebut orang-orang sebagai ‘cocoklogi’ sebenarnya bukanlah hal baru. Seorang teman mengingatkan saya bahwa dalam bahasa Jawa dikenal apa yang disebut sebagai ‘jarwo dhosok’ atau ‘kreta bahasa’, yaitu kegiatan atau ikhtiar mencocokkan sebuah kata, dengan kata lain atau penjelasan yang lebih luas, sehingga tampak terasa cocok.

Jarwo dhosok ini merupakan praktik berbahasa yang hidup, nyata dan terus berkembang serta ditransmisikan dari generasi ke generasi secara lisan maupun tulisan. Sebagian mungkin sifat awalnya semata hiburan, permainan, lucu-lucuan, teknik komunikasi menyampaikan sesuatu agar mudah dimengerti, dll. Saya tidak sekali dua mendengarkan penceramah –yang saya harus hadiri karena bagian dari kegiatan sosial aqiqahan anak tetangga, pelepasan berangkat haji teman, haul dll– yang menyampaikan materi penceramahnya dengan cara jarwo dhosok ini. Misal ia menjelaskan kata ‘TAKWA’:

T : Tetaplah dalam iman
A : Amanah jadikan sifat dalam pergaulan
K : Kuat menghadapi cobaan
W : Warisi sifat rasul
A : Adil dalam setiap perkara

Si penceramah kemudian menjelaskan setiap huruf tersebut. Dipadu dengan humor, penjelasan menjadi panjang lebar, sehingga tak terasa sekian puluh menit berlalu.

Penggunaan jarwo dhosok di situ tampak lebih merupakan strategi komunikasi. Kenyataannya para jamaah pemirsa cukup bisa menerima sekaligus terhibur.

Tentu saja kata Takwa dalam Bahasa Arab bukan lima huruf, tetapi hanya tiga huruf: Ta, Qaf, dan Wawu. Karena itu kata ‘takwa’ tidaklah demikian makna harfiahnya. Namun berdiri sendiri sebagai sebuah penjelasan, apa yang dikemukakan si penceramah jelas benar dan tidak keliru. Mirip kata ‘guru’ yang jarwo dhosoknya terkenal sebagai ‘digugu lan ditiru’. Tetapi kata ‘guru’ secara harfiah tidak terbentuk dari perpendekan dua kata tersebut. Bahasa Jawa dalam hal ini sangat canggih dan luar biasa. Lebih-lebih di tangan seorang ahli. Di dalam pertunjukan ketoprak atau dagelan sering kita jumpai jarwo dhosok ini.

Baca juga:  Covid-19 di Pesantren (6): Adakah Manusia yang Doanya Bisa Menghentikan Wabah Corona?

Sekali lagi, jarwo dhosok di sini berfungsi sebagai strategi komunikasi, hiburan, permainan, lucuan-lucuan dan lain-lain. Tak salah kalau ‘jarwo dhosok’ diklaim merupakan bagian dari ‘kearifan Jawa’, karena dari sana sering muncul penjelasan-penjelasan yang penuh pembelajaran.

Sebenarnya dalam toponim, ilmu yang mempelajari asal-usul sebuah nama tempat atau daerah, banyak juga unsur ‘pencocokan’ ini. Terutama yang sumber-sumbernya cerita rakyat, mitos, dll. Tapi sekali lagi ia lebih berfungsi sebagai hiburan, permainan, lucu-lucuan dan lain-lain.

Masalah muncul jika usaha pencocokan itu menjadi landasan yang diyakini sebagai pembenaran dan kebenaran. Seorang ahli gamelan Jawa, pernah menunjukkan banyaknya jarwo dhosok dalam isu yang berkaitan dengan asal-usul wayang dan kaitannya dengan Islam. Misal tokoh punakawan ‘Petruk’ diyakini berasal dari bahasa Arab ‘fatruk’, yang artinya “tinggalkanlah!” Maksudnya di situ tinggalkanlah segala maksiat. Baginya, itu jelas jarwo dhosok, yang boleh-boleh saja jika sebagai permainan, hiburan, dan lucu-lucuan, tetapi akan meleset jika diyakini sebagai kebenaran.

Nah meyakini sebagai kebenaran inilah yang tampaknya merupakan masalah. Dan istilah ‘cocokologi’ benar-benar merupakan sebuah ejekan terhadapnya.

Namun apa yang penting di sini, ‘pencocokan’ merupakan alam berpikir masyarakat kita. Dan sekali lagi ia positif, sejauh dimaknai sebagai strategi komunikasi, hiburan, lucu-lucuan, permainan, dll. Tetapi menggejalanya ‘cocoklogi’ sekarang ini, yang menggunakan teknik ‘jarwo dhosok’ itu, membentangkan suatu masalah yang lebih serius di baliknya. Jauh sebelum ramai soal asal-usul nama pulau ini, kita sudah dengar misal klaim Borobudur sebagai bangunan Islam, yang bagian-bagian dari klaim itu adalah pernyataan bahwa nama daerah Sleman diambil dari nama Nabi Sulaiman atau bahwa Majapahit adalah kerajaan Islam karena Gajah Mada sebenarnya seorang patih Muslim bernama Gaj Ahmada.

Apakah makna yang lebih serius di baliknya itu? Itu adalah gejala inferior yang diidap sebagian kecil saudara-saudara muslim (tidak semua, bahkan bukan mayoritas muslim). Perasaan ini muncul karena keyakinan di satu sisi Islam bukan sekadar agama, tetapi suatu peradaban besar, tetapi di sisi lain, pada kenyataannya dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi sangat ketinggalan. Tentu tak ada yang membantah bahwa Islam memberikan sumbangan besar pada perkembangan dan peradaban dunia. Hampir seluruh sejarawan dunia mengakui hal ini. Jadi apa masalahnya dengan klaim ini? Masalahnya adalah Islam di sana diartikan sebagai satu-satunya peradaban besar tersebut, di sepanjang zaman dan di setiap kawasan.

Baca juga:  Anti-semitisme di Indonesia, Mengapa Meningkat? (Bagian 1)

Peradaban –katakan dalam bentuk sebuah ide sosial dan praktiknya atau temuan ilmu pengetahuan– dibentuk oleh banyak unsur dan disumbangkan oleh banyak kelompok. Sifatnya bukan tiba-tiba muncul dari ruang kosong. Ia lahir melalui proses akumulatif melalui dialog, saling belajar, tuar-menukar, juga saling mengambil, antarindividu dan antarkelompok. Menganggap itu hanya kerja seorang individu atau suatu kelompok akan terpeleset dalam kekeliruan sejarah.

Tetapi keyakinan yang terakhir inilah yang hendak ditegakkan. Refleksinya di antaranya adalah penolakan terhadap kehebatan Borobudur dan atau Majapahit sebagai buah karya umat Buddha dan Hindu, tetapi sebenarnya buah karya Islam. Kok bisa demikian? Selain melalui cocoklogi, pandangan itu dilandasi asumsi bahwa hal itu terjadi karena manipulasi sejarah yang dilakukan kaum kolonial. Bahwa kolonial melakukan dan mengembangkan pengetahuan yang sesuai dengan kepentingan mereka, tentu tak ada yang membantah, namun jelaslah tidak sevulgar dan senaif asumsi pandangan ini. Apapun juga yang jelas seluruh ilmu dan hasil riset pengetahuan; arkeologi, sejarah, filologi, dan lain-lain tidak berlaku di sini.

Ada pertanyaan mengapa orang-orang ini gemar mengotak-atik sejarah? Tidak juga, sebagai bagian dari rasa inferior, rendah diri itu, mereka juga melakukan serangan ke perkembangan ilmu pengetahuan masa kini dan di masa depan. Tentu metodenya bukan lagi cocoklogi. Biasanya serangan ini menggunakan ‘teori konspirasi’ dengan basisnya prasangka.

Kira-kira asumsinya begini, sebagian temuan dan produk ilmu pengetahuan adalah rekayasa licik untuk menghancurkan umat Islam, untuk melupakan mereka kepada pesan-pesan Islam, dan akhirnya berpaling dari Islam. Upaya penghancuran itu tidak lagi melalui perang terbuka, tetapi melalui rekayasa ilmu pengetahuan dan teknologi.

Baca juga:  Di Bawah Bayang-Bayang Paradoks Bonjol (1): Asal-usul Bonjol dan Tuanku Imam Bonjol

Dan pandangan curiga terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ini ternyata juga memiliki riwayat yang cukup panjang. Pada tahun 1980an, misal sebagai contoh, seorang peneliti LIPI menemukan pandangan di suatu masyarakat yang mencurigai bahwa kaset recorder merupakan strategi halus kaum Yahudi agar umat Islam melupakan hapalan dan bacaan Alquran. Ini karena waktu itu kaset juga banyak dipakai juga untuk melakukan perekaman pembacaan Alquran yang kemudian disiarkan melalui toa di berbagai masjid. Orang jadi tidak baca Alquran lagi dan cukup dengan rekaman kaset.

Memang yang paradoks dari konspirasi dan prasangka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah bahwa (umat) Islam sendiri menggunakan teknologi tersebut untuk kepentingan syiar Islam. Demikianlah yang kita lihat dalam soal keributan mengenai aplikasi fesbuk dan lain-lain beberapa waktu lalu. Paradoks lain tentu saja asumsi bahwa lawan sangat kuat, hebat, dan digjaya, sehingga bisa melakukan apa saja, terutama secara halus melalui jalan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sementara ‘kita’ demikian lemah, tidak punya apa-apa, dan tidak didukung siapa-siapa. Hanya Allahlah yang menjadi sandaran.

Pandangan konspirasi ini juga ditopang oleh kenyataan bahwa dalam seratus tahun terakhir perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ini, pusatnya memang di dunia barat dan sebagian dari negeri-negeri Cina, Jepang, dan Korea. Sumbangan (umat) Islam bisa dikatakan minim sekali.

Barangkali dalam hal ini pula kita bisa pahami kemunculan pandangan bahwa bentuk segitiga di masjid As-Safar itu adalah sebuah illuminati, yang bisa membengkokkan niat ibadah jamaah kepada selain Tuhan. Ridwan Kamil mencoba menjelaskan secara ilmiah dan kultural bahwa itu bentuk yang biasa saja dan bisa ditemui di banyak tempat serta bagian dari perkembangan di dalam dunia desain dan arsitektural. Percayakah mereka? Tentu tidak mudah, karena persis di sini masalahnya, justru melalui ilmu pengetahuan dan teknologi itulah, lawan diyakini merayap masuk untuk menghancurkan (umat) Islam. (RM)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top