Sedang Membaca
Ihwal Mitos Kebudayaan Arab dan Kebudayaan Lokal
Mukhammad Lutfi
Penulis Kolom

Alumnus Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Humaniora UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

Ihwal Mitos Kebudayaan Arab dan Kebudayaan Lokal

Mitos kerap kali bercerita ihwal kisah masa lampau yang mengandung penafsiran tentang alam semesta dan makhluk-makhluk yang ada di dalamnya. Rupa-rupanya kisah ini memang sengaja diproduksi dengan maksud dan tujuan tertentu. Sepertinya setiap bangsa, daerah, dan budaya memiliki koleksi mitos-mitos yang beraneka ragam.

Mitos juga dikenal dalam kebudayaan Arab. Namanya Usturah. Usturah bentuk tunggal dari Asatir (أسطورة، أساطير). Salah satu cerita tentang mitos yang pernah penulis baca adalah tentang pertemanan “Ayam Jago dan Burung Gagak”. Kisahnya begini;

Suatu hari Abdul Malik bin Quraib al-Ashma’i al-Bashri –nama tenarnya al-Ashma’i– didatangi seorang Arab Baduwi. Berjumpa lah keduanya. Kini si Arab Baduwi memulai perbincangan.

“Kamukah yang bernama al-Ashma’i?” tanya si Arab Baduwi.

“Iya” jawab al-Ashma’i singkat.

“Kamukah ulama yang memahami seluk-beluk kalam Arab?” tanya si Arab Baduwi lagi.

“Kira-kira begitulah orang-orang menganggap saya” timpal al-Ashma’i.

“Kalau begitu apa maksud syair lawas ini;

وَمَا ذَاكَ إِلَّا الدِّيْكُ شَارِبُ خَمْرَةٍ # نَدِيْمُ الغُرَابِ لَا يَمَلُّ الحَوَانِيَا

فَلَمَّا اسْتَقَلَّ الصُّبْحُ نَادَى بِصَوْتِهِ # أَلَا يَا غُرَابُ هَلْ رَدَدْتَ رِدَائِيَا؟

“Ayam jago itu tak lain adalah peminum khamr (arak)

Ia adalah teman karib seekor gagak, keduanya tak bosan-bosan di kedai khamr

Kini, kala waktu subuh datang, ayam jago itu memanggil-manggil

Hai gagak! Kapan kau kembalikan sayapku”

Mendengar pertanyaan si Arab Baduwi, al-Ashma’i yang faham seluk-beluk kalam Arab lantas menjelaskan.

Baca juga:  Dhugdheran: Dari Pasar Malam hingga Arak-Arakan

“Begini, dulu orang-orang Arab mengira kalau ayam jago itu bisa terbang dengan sayap yang ia miliki, sedangkan burung gagak meskipun ia memiliki sayap, sayapnya tidak bisa dipakai untuk terbang. Rupa-rupanya ayam jago dan burung gagak ini teman karib, keduanya sering nongkrong di kedai untuk minum arak. Di lain waktu, namun di tempat –kedai– yang sama, tetiba burung gagak meminta ayam jago untuk meminjamkan sayapnya kepada burung gagak. Si burung gagak menjanjikan akan menraktir arak jika ayam jago meminjamkan sayapnya kepadanya. Selidik punya selidik, ternyata burung gagak ingin mencoba terbang seperti ayam jago. Dipinjamlah sayap ayam jago itu, dan terbanglah si burung gagak itu tanpa kunjung kembali. Sebab itulah orang-orang Arab beranggapan, jika kokokan ayam jago menjelang fajar sebagai seruan menagih kepada burung gagak yang tak kunjung mengembalikan sayapnya” jelas al-Ashma’i menerangkan.

Si Arab Baduwi yang sedari tadi nyimak penjelasan al-Ashma’i tetiba tertawa terbahak-bahak dan lalu berkata, “Ma anta illa Syaitan –Wah setan sekali kau ini–” ucap si Arab Baduwi sambil terus tertawa.

Dari kalimat terakhir Arab Baduwi tadi, sepertinya ada prapemahaman (pre-understanding) yang berbeda antara al-Ashma’i dan si Arab Baduwi. Menurut Gadamer, setiap orang dalam memahami sesuatu, contohnya mitos, pasti diikuti oleh prapemahaman, sesuai tradisi pengetahuan, ruang, dan waktu. Inilah yang oleh Gadamer kemudian disebut asimilasi horison (fusion of horizons), suatu titik temu antara cakrawala pengetahuan atau horison dalam kisah mitos dengan cakrawala (pemahaman) pendengar/pembaca mitos.

Baca juga:  Besrik: Islam-Jawa di antara Ramadan dan Lebaran

Perbedaan prapemahaman antara al-Ashma’i dan si Arab Baduwi  ini sangat wajar terjadi, mengingat al-Ashma’i hidup di Baghdad tepatnya istana kerajaan Abbasiyah, sedangkan si Arab Baduwi hidup di desa pedalaman.

Dalam cacatan Sayyid Khidir di kitab Taraif wa Nawadir min Siyari al-Lughowiyyin wa an-Nuhat –sisi lain dan keanehan perjalanan para linguis dan ahli nahwu–, dialog al-Ashma’i dan si Arab Baduwi tentang mitos “Ayam Jago dan Burung Gagak” berhenti pada pendapat al-Ashma’i. Sedangkan si Arab Baduwi menutup dialognya dengan Ma anta illa Syaitan, si Arab Baduwi tidak mengkonter al-Ashma’i. Ini mengindikasikan si Arab Baduwi tidak begitu setuju dengan prapemahaman al-Ashma’i.

Itu tadi ihwal salah satu kisah mitos dalam kebudayaan Arab, bagaimana dengan mitos lokal Indonesia? Setidaknya penulis merekam ada dua mitos lokal yang masih terngiang-ngiang, dan cespleng –manjur– membuat penulis takut keluar waktu maghrib dan takut menduduki bantal. Ya, kedua mitos itu adalah tentang diculik Wewe Gombel dan larangan menduduki bantal karena bisa menyebabkan udunen –bisulan.

Tentu ketika masih kecil saya tidak perlu pikir panjang lalu memutuskan saja untuk pulang saat maghrib tiba karena takut diculik Wewe Gombel, dan takut duduk di atas bantal karena takut udunen. Namun dewasa ini, saya mulai memikirkan kembali mitos-mitos yang disampaikan oleh orang tua saya itu. Saya pun berangkat pada pertimbangan jika makhluk Wewe Gombel ini hanya makhluk imajinasi belaka, dan udunen karena menduduki bantal tidak benar-benar ada, sehingga saya menegasikan kisah mitos tersebut.

Baca juga:  Pulau Simeulue Menuju Kehancuran Ekologis

Inilah kesalahan pada prapemahaman saya ketika buru-buru menegasikan kisah Wewe Gombel dan udunen yang sebenarnya terkandung sebuah nilai yang penting pada kisah tersebut, yaitu agar anak kecil tidak main di malam hari karena takut tersesat dan tidak bisa kembali pulang ke rumah. Sementara tentang udunen mengandung nilai tata krama, karena bantal itu untuk kepala bukan untuk diduduki pantat. Ini juga hanya prapemahaman saya.

Mitos apa saja yang pernah kamu dengar?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0

Kisah-kisah Mitos di Yogyakarta

Tugu
Scroll To Top