Sedang Membaca
Surat-Surat Politik Imam al-Ghazali
M. Fauzi Sukri
Penulis Kolom

Penulis buku Pembaca Serakah (2018), bergiat di Bale Sastra Kecapi dan Pengajian Malem Senin Solo, Jawa Tengah

Surat-Surat Politik Imam al-Ghazali

Dalam satu surat politiknya kepada Sultan Sanjar Saljuqi, bekas muridnya yang naik tahta setelah chaos politik mahahebat yang meremuk begitu banyak nyawa, sang sufi-filosof Imam al-Ghazali (tahun-) menulis:

“Perlu Anda ketahui bahwa sekarang ini saya berumur lima puluh tiga tahun. Empat puluh tahun daripadanya telah terhabiskan di berbagai tempat kediaman yang damai dari para ulama terkenal yang kepada mereka saya belajar sehingga orang mulai mengenal saya dan memahami perubahan di dalam gagasan-gagasan saya.Selama dua puluh tahun saya hidup di dalam pemerintahan ayahanda raja yang telah berusaha melakukan apa saja yang bisa diperbuatnya untuk menjadikan Isfahan dan Baghdad kota-kota yang paling maju di dunia. Dalam beberapa kesempatan saya telah bertindak sebagai seorang duta besar, mewakili ayahanda untuk istana Khalifah Abbasiyah Mutadar Billah. Dengan segala cara berusaha menghilangkan kesalahpahaman tertentu antara Kerajaan Seljuq dan Kekhalifahan Abbasiyah.”

Sanjar sebenarnya mengundang sang guru besar, meski sudah berumur 53 tahun, agar sekali lagi berkenan bersama-sama mengurusi politik sebagaimana pernah dilakoni sang guru besar bersama Nizam al-Mulk. Mungkin dengan alasan demi kepentingan umat Islam, rakyat kecil, orang-orang yang terkerdilkan sistem politik, atau alasan-alasan apologetis keintelektualan: tiap yang berilmu punya kewajiban atas perbaikan sosial-politik masyarakatnya, jangan sampai yang bodoh, serakah, bahkan jahat yang memimpin. Sanjar bermaksud mengundang al-Ghazali ke istananya, meski sekadar memberikan nasihat politik.

Namun, masalahnya, Imam al-Ghazali sudah berikrar di makam Nabi Ibrahim alaihissalam bahwa:

(1) “Saya tidak akan lagi mendatangi istana seorang raja,

Baca juga:  Bagaimana Fikih Menghisab Eks Korputor yang Nyaleg?

(2) tidak pula akan menerima sesuatu yang bersifat upah dari pemerintahan-pemerintahan dalam bentuk apapun, karena hal-hal seperti itu akan mengurangi nilai jasa-jasa yang saya sumbangkan kepada masyarakat.

(3) Saya tidak akan melibatkan diri dalam segala sesuatu yang bisa memancing pertikaian-pertikaian keagamaan.” Itulah sumpah termasyhur Imam al-Ghazali.

Banyak sarjana (dari barat dan timur) mencari tahu alasan sumpah seorang yang selama 20 tahun telah mengabdi kepada seorang pemimpin politik, menjadi duta, dan sebagainya, tapi kemudian mundur dari politik padahal banyak orang masih berharap kepadanya.

Ada beberapa alasan yang dikemukakan para sarjana: mulai dari alasan teologis, alasan keilmuan, sampai alasan sosial-politik dalam perseteruan Kerajaan Seljuq dan Kekhalifahan Abbasiyah yang berakhir dengan banyak sekali pembunuhan manusia.

Meski sudah bersumpah, al-Ghazali sudah sampai ke Masyhad Radha tapi akhirnya membatalkan tidak pergi ke istana raja dan kembali ke Thus.

Namun, al-Ghazali tetap beberapa kali menulis surat kepada para sultan, pemimpin politik, atau kepada sesama agawaman. Banyak yang bersifat nasihat, beberapa bersifat rekomendasi jabatan bagi seorang yang dianggapnya cakap, bakal bisa memperbaiki keadaan, tapi banyak juga yang sifat kecaman tajam.

Dalam satu suratnya kepada Sultan Sanjar Saljuqi (tahun), al-Ghazali mengutip hadis Nabi Muhammad saw: “Sehari yang dihabiskan oleh seorang raja yang taqwa untuk menyelenggarakan keadilan, setara dengan enam puluh tahun yang dihabiskan oleh seorang suci untuk ibadah dan shalat.”

Tindakan keadilan seorang pemimpin, yang sangat mungkin akan mempengaruhi masyarakat banyak dan biasanya dalam jangka waktu lama, memang pantas dinilai lebih baik dan mulia daripada ibadah suci yang egoistik.

Baca juga:  Dinasti Safawiyah: Silsilah Raja dan Sumbangan Peradaban

Sedangkan kepada Nizamuddin Fakhrul Mulk, al-Ghazali menasihati dengan tajam sekali:

“Jika seseorang memutarbalikkan fakta-fakta dan menyalahtafsirkan keadaan yang sebenarnya kepada Anda, maka percayalah bahwa dia adalah musuh dan bukan teman Anda. Jagalah urusan-urusan Anda dengan baik. Allah telah memberi Anda pengetahuan, sehingga dengan cahayaNya, Anda tidak hanya menyembahNya, tetapi juga melihat kelemahan-kelemahan dan kekuatan diri Anda. Setiap hari lihatlah ke dalam kesadaran Anda dan perbaikilah kesalahan-kesalahan Anda. Jika Anda gagal dalam tugas ini, berarti Anda telah bersikap tidak jujur terhadap pengetahuan dan akal budi yang Anda miliki. Waspadalah terhadap diri Anda seakan-akan Anda adalah musuh Anda sendiri, karena Anda tidak akan pernah bisa belajar untuk mengatur orang lain kecuali jika sebelumnya Anda telah belajar mengatur nafsu-nafsu Anda dan menaati perintah-perintah kesadaran Anda.”

Pada kesempatan yang lain, dalam suratnya kepada Syihabul Islam, Imam al-Ghazali menceritakan kisah kepemimpinan satu pemimpin tauladan:

“Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah seorang moralis praktis. Sebelum berkuasa, ketika sepotong pakaian yang berharga seribu dinar dibawa kepadanya, ia berkata: “Aduh, pakaian ini terlalu kasar untuk kupakai.”

Tetapi setelah berkuasa, jika sepotong pakaian yang hanya berharga lima rupee dibawa kepadanya, ia akan berkata: “Aduh, pakaian ini terlalu baik untuk kupakai. Anda tidak tahu betapa aku ingin pakaianku terbuat dari karung yang sedemikian kasar, sehingga dengan memegangnya saja kulitku sudah akan tergores di sana-sani.” Ada pengekangan terhadap diri (nafs) yang begitu teguh dan gigih dalam diri Umar bin Abdul Aziz.

Baca juga:  Sejarah Diturunkannya Syari’at (4): Antara Kengeyelan Bani Israil dan Keistimewaan Umat Muhammad

Tentu, banyak sekali yang bisa dipelajari dari surat-surat politik al-Ghazali, terutama saat dia membicarakan tokoh politik yang selalu saja terjatuh dalam sosok tiran dan meninggal tragis. al-Ghazali selalu menghimbauan bahwa dunia begitu durjana dan kepemimpinan manusia begitu sebentar, sedangkan akhirat adalah keabadian: tapi kenapa sungguh begitu banyak sekali yang begitu berhasrat bahkan sampai saling bunuh. Pesan-pesan moralitasnya sampai sekarang tetap penting, terutama bagi para pemimpin masyarakat.

Nada-nada surat-surat politik al-Ghazali hampir semuanya suram, kelam, terkadang mengerikan, meski tetap terbingkai ayat Alquran, hadis, doa, dan renungan filosofis. Banyak nada suratnya seperti suara putus asa seorang ilmuwan besar dan bekas pejabat yang merasa gagal menata sistem politik.

“Sungguh zaman di mana kita hidup sekarang ini adalah zaman yang paling kritis dalam sejarah Islam,” kata al-Ghazali dalam suratnya kepada Mujiruddin.

Tentu saja, bagi pembelajar politik apalagi sudah mempelajari sistem politik modern, dari surat-surat al-Ghazali mereka tahu bahwa moralitas betapapun canggih, komprehensif, dan bagusnya, sungguh seringkali gagal mengontrol dan menghindari kelahiran seorang pemimpin tiran yang begitu berambisi pada kekuasaan, kekayaan, dan akhirnya jadi sang makhluk haus darah. Ilmu politik modern, sedikit banyak, sudah berhasil mengatasi masalah ini, tentu setelah ilmuwan banyak belajar dari sistem politik sebelumnya termasuk dari sistem politik dalam komunitas Islam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top