
Di tengah dunia yang mengagung-agungkan kebebasan dan kemajuan, tubuh manusia—terutama tubuh perempuan—semakin sering dijadikan objek dominasi dan komoditas. Kekerasan seksual, pelecehan, dan perselingkuhan bukan lagi sekadar persoalan moral individu. Ia adalah cerminan kelumpuhan kolektif kita dalam menjaga martabat manusia. Hasrat dibungkus atas nama cinta, budaya, bahkan agama—seolah memberi legitimasi atas penaklukan terhadap tubuh dan batin orang lain.
Pertanyaannya sederhana, namun menyakitkan: bagaimana mungkin dalam masyarakat yang mengaku religius dan menjunjung nilai luhur, kita masih menyalahkan korban dan melindungi pelaku? Sampai kapan kita menoleransi kekerasan dengan menyebutnya kesalahan kecil, godaan sesaat, atau “ujian rumah tangga”?
Data dari Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2024 yang dimuat Media Indonesia menunjukkan peningkatan pelaporan kekerasan terhadap perempuan sebesar 10 persen, dengan total 445.502 kasus. Kekerasan seksual mengalami lonjakan paling tajam—meningkat 50 persen dari tahun sebelumnya. Mayoritas terjadi dalam relasi personal: antara pasangan, guru dan murid, tokoh agama dan pengikutnya. Ini bukan sekadar statistik. Ini adalah wajah luka yang tak terlihat, tapi hidup di sekitar kita—di rumah, sekolah, tempat ibadah, dan ruang publik.
Kekerasan seksual bukan semata tindakan menyimpang. Ia adalah perpanjangan dari struktur kekuasaan yang menormalisasi dominasi. Michel Foucault menyatakan bahwa seksualitas tidak pernah netral; ia selalu menyatu dengan kuasa. Dalam masyarakat patriarkal, relasi kuasa ini dibungkus dalam bahasa moral: perempuan dituntut menjaga kehormatan, sementara pelaku dimaklumi sebagai manusia biasa yang khilaf. Inilah mekanisme yang tidak hanya membungkam korban, tetapi juga menyusun ulang narasi: pelaku sebagai pusat empati, dan korban sebagai gangguan atas stabilitas sosial.
Simone de Beauvoir, dengan tajam, menyebut perempuan sebagai “yang lain”—bukan sebagai subjek yang menentukan, melainkan sebagai objek yang ditentukan. Perempuan dijadikan cermin dari hasrat laki-laki, dan tubuhnya menjadi arena pembuktian maskulinitas. Dalam sistem ini, kekerasan menjadi bentuk tertinggi dari perampasan identitas. Ia bukan sekadar pelanggaran fisik, tetapi pengingkaran total atas kemanusiaan.
Namun lebih dari sekadar mengutip pemikir Barat, kita perlu menghadirkan keberanian untuk berpikir dari pengalaman sendiri. Saya percaya bahwa tubuh adalah wilayah yang paling sakral dalam kehidupan manusia. Ia bukan hanya daging dan tulang, tetapi ruang spiritual di mana harga diri dan rasa aman tumbuh. Saat tubuh dilanggar, luka yang tercipta bukan hanya fisik, tetapi eksistensial. Rasa kepemilikan atas hidupnya sendiri runtuh. Ia merasa asing terhadap dirinya, terhadap orang lain, terhadap dunia.
Kekerasan seksual merampas hak dasar seseorang untuk merasa utuh. Ia memecah tubuh dan jiwa, menyisakan rasa malu, marah, dan kehilangan kendali. Masyarakat yang mengabaikan hal ini bukan hanya gagal melindungi, tetapi juga ikut mencederai korban melalui diamnya. Diam bukanlah sikap netral. Dalam konteks ini, diam adalah bentuk keterlibatan yang pasif namun aktif: ia membiarkan luka menjadi norma, dan kekuasaan menjelma sebagai kebiasaan.
Lebih jauh, kita harus mempertanyakan: mengapa tubuh begitu mudah dilanggar, tetapi begitu sulit dibela? Mengapa budaya kita begitu terobsesi mengontrol tubuh perempuan—apa yang dikenakan, ke mana ia pergi, bagaimana ia berbicara—tetapi abai ketika tubuh itu dilukai secara nyata? Mungkin karena tubuh perempuan telah lama direduksi menjadi simbol moral kolektif, bukan sebagai ruang otonom milik pribadi. Dalam pandangan ini, tubuh bukan manusia, tetapi lambang. Dan ketika simbol dilanggar, yang diadili bukan pelaku, tetapi si “penjaga simbol” yang dianggap lalai menjaga “kesucian”-nya.
Kita juga perlu menggugat gagasan cinta yang selama ini diwariskan secara keliru. Cinta bukan pengorbanan sepihak. Cinta yang sejati tidak memaksa, tidak menekan, tidak menghukum. Cinta adalah ruang tumbuh yang saling menguatkan, bukan struktur vertikal yang melanggengkan ketimpangan. Cinta, pada dasarnya, adalah pertemuan antara dua kehendak bebas yang saling menghargai batas.
Dalam banyak narasi budaya populer, kita sering mendapati perempuan yang diminta bertahan dalam relasi yang menyakitkan atas nama cinta. Ia harus sabar, memaafkan, mengerti. Sementara pelaku diberi waktu untuk “menjadi lebih baik.” Ini bukan cinta. Ini adalah pembenaran atas kekuasaan yang menyaru sebagai kasih sayang. Ketika relasi tidak dibangun di atas kesetaraan dan penghormatan terhadap tubuh dan kehendak, maka cinta hanya menjadi topeng yang memanipulasi.
Dunia seni pun tidak kebal terhadap kekerasan ini. Banyak perempuan dalam industri kreatif dipaksa menampilkan sensualitas bukan karena kebutuhan artistik, tetapi karena tekanan struktural yang dibungkus jargon kebebasan berekspresi. Ketika mereka menolak, mereka dikucilkan, dituduh tidak profesional, atau dianggap tidak “terbuka.” Di sini, seni justru menjadi alat dominasi baru—bukan pembebasan, tapi penaklukan dalam estetika.
Apa yang bisa kita lakukan? Pertama-tama, berhenti membungkam korban dengan kata-kata yang tampak lembut tapi melukai: “mungkin kamu terlalu ramah,” “kamu harus hati-hati,” “itu kan suamimu sendiri.” Kita harus menciptakan ruang aman, bukan hanya secara fisik, tapi juga secara psikis dan kultural. Pendidikan seksualitas berbasis nilai, etika, dan konsen harus menjadi bagian dari kurikulum. Bukan sebagai wacana liberal, tapi sebagai kebutuhan untuk membentuk relasi yang setara dan manusiawi.
Kita juga harus membongkar sistem impunitas yang melindungi pelaku. Apapun posisinya—tokoh agama, seniman ternama, akademisi, pejabat—pelaku kekerasan seksual harus ditindak. Jika hukum ragu menegakkan keadilan, maka masyarakat harus menjadi suara alternatif. Karena keadilan tidak akan lahir dari rasa takut atau kompromi, tapi dari keberanian untuk berkata: cukup.
Kita tidak sedang bicara tentang moralitas orang lain. Kita sedang bicara tentang keberanian menolak kekuasaan yang menyamar sebagai cinta. Kita sedang bicara tentang tubuh sebagai rumah yang tak boleh dijarah. Dan tentang cinta—yang jika sungguh cinta—tak akan pernah melukai.
I like the efforts you have put in this, regards for all the great content.