“Ketika kesewenangan dan ketidakadilan dilegalkan para penguasa selama puluhan tahun, maka kesaksian akan kebenaran hanya mungkin didapatkan dari rakyat biasa yang tak mau menonjolkan dirinya ke ranah publik.” (Hafis Azhari, penulis novel Pikiran Orang Indonesia).
Sebutan “sastrawan” yang lazim disematkan kepada para pengamat perilaku manusia dan alam sekitar, dapat disejajarkan dengan cendikiawan, budayawan, pemikir atau orang-orang berilmu. Sebagai kaum yang berilmu, mereka mesti memiliki ruang lingkup dakwah, serta dituntut agar sanggup mengomunikasikan ilmunya dengan bahasa yang baik dan sederhana. Kemampuan ini sangat urgen bagi para sastrawan yang hidup di negeri dengan ribuan pulau, etnik dan bahasa yang super kompleks. Irosnisnya, tidak sedikit sastrawan kita – baik senior maupun yunior – yang merasa terdidik dalam iklim pendidikan modern, sehingga mengidap bias “orang kota” yang kadang semakin menjauh dari kesederhanaan berbahasa maupun gaya bahasa orang kebanyakan.
Ini tak terlepas dari persoalan asal-usul pengetahuan yang dimiliki para sastrawan, yang kebanyakan merujuk pada buku-buku berbahasa Inggris dari pemikiran Eropa dan Amerika (Barat). Mereka pada umumnya, akan merasa pas jika berada di lingkungan elit terpelajar, dan merasa kurang nyaman untuk berbaur dengan masyarakat awam. Kelemahan sastrawan kelas elit, mereka akan kesulitan menemukan model komunikasi atau gaya bahasa ringan dan sederhana, yang dapat menjabarkan pesan-pesan rumit ke dalam karya-karya sastra.
Karena itu, seringkali karya-karya mereka dianggap njelimet dan membingungkan, dan pemikiran mereka yang mendalam itu, dianggap mengawang-awang di angkasa raya.
Tipikal novel Perasaan Orang Banten atau Pikiran Orang Indonesia, yang kritik dan resensinya terus berseliweran hingga hari ini, dianggap mampu menjembatani para pemikir elit dengan kaum awam melalui bahasa Indonesia yang merakyat dan apa adanya. Dari sisi kecendikiawanan, penulisnya juga enggak kurang-kurang amat. Dia adalah seorang lulusan filsafat di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, juga pernah bekerjasama dengan Ben Anderson, Peter Dale Scott dan Noam Chomsky untuk penulisan buku Liber Amicorum 100 Tahun Bung Karno (Hasta Mitra, 2001).
Sebagai seorang analis, peneliti dan otodidak, ia juga pernah mengadakan penelitian historical memories bersama Goenawan Mohamad, Asvi Warman Adam, Hermawan Sulistio, juga dengan para tahanan politik (tapol) di era Orde Baru, seperti Pramoedya Ananta Toer, Joesoef Isak dan Hersri Setiawan (www.kompas.id, 14 November 2021). Dalam penelitian tersebut, mereka berhasil mewawancarai ratusan rakyat-rakyat kecil yang dimarjinalkan, serta diperlakukan sebagai tahanan politik (tapol) semasa Orde Baru berkuasa. Sebagian mereka dikucilkan dan dibuang ke Pulau Buru tanpa proses pengadilan.
Saat ini, jika Anda ingin merndapatkan buku-buku Pramoedya Ananta Toer, sudah bisa Anda dapatkan dengan membelinya di toko-toko buku elit seperti Gramedia, Gunung Agung, Tisera dan lain-lain. Tetapi, jika Anda ingin mendapatkan buku Pikiran Orang Indonesia yang dianggap “tendensius” oleh sebagian kalangan (terutama ahli waris Orde Baru), maka Anda hanya akan menemukannya di toko-toko buku sederhana dekat kampus maupun di loper koran, sebagaimana nasib Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa di era 1990-an lalu.
Tentu bukan perkara mudah melahirkan karya sastra yang dirumuskan oleh sang penggerak yang tak bergerak. Sebagaimana Tuhan Sang Kreator sejati yang tak nampak di permukaan (tak kasatmata), namun Dia tengah menggenggam timur dan barat, keawaman sekaligus kecendikiawanan. Hal ini mengingatkan kita pada sosok Gus Dur yang tak merasa berkecil hati (inferior) untuk mondar-mandir secara keilmuwan, antara pemikiran langit dan bumi, hingga timur dan barat.
Sehaluan dengan banyak ulama dan cendikiawan NU yang kadang menulis buku canggih untuk orang-orang elit (khawas), namun di saat lain, mereka juga mampu menulis kitab-kitab tipis dan sederhana untuk murid-murid di tingkat dasar atau madrasah ibtida’iyah.
Seorang sahabat Gus Dur, Y.B. Mangunwijaya pernah menyinggung soal sastrawan elit yang kadang memisahkan aspek teoritis tentang ilmu sastra yang mengacu dari Barat, ketimbang praksis pengalaman hidup bangsa kepulauan yang sarat takhayul dan khurafat (tak terkecuali di kalangan seniman juga). Baginya, dunia Barat menganggap sesuatu yang lumrah ketika ilmu kesusastraan dipelajari sebagai keasyikan teoretis. Tetapi, ia kurang tepat jika diadopsi ke dalam praksis lapangan bagi setiap bangsa, termasuk Indonesia.
Ungkapan senada disampaikan Pearl S. Buck dalam novelnya “The Good Earth”, yang secara lugas menggugat ketundukan para penulis Asia pada ideologi Eropa setelah abad pertengahan hingga zaman neokolonialisme ini. “Mengapa mereka begitu mudah menganut paham yang didakwahkan oleh para pemikir dan filosof Eropa. Padahal, tidak sedikit dari orang-orang seperti kami, para penulis Eropa yang merasakan keterpurukan manusia-manusia Faust sebagai pahlawan dan ksatria menyedihkan, dengan hati dan jiwa-jiwa muram dan gersang.”
Terkait dengan ini, filosof Jerman, Juergen Habermas pernah menandaskan bahwa dunia Barat seringkali memanfaatkan ilmu sebatas untuk tujuan instrumental, dan bukan strategis, apalagi komunikatif. Seorang akademisi atau guru besar sastra dianggap kurang pas jika memberi materi sastra di kalangan seniman daerah (lokal), tetapi mereka akan dianggap top markotop jika mengisi acara simposium, seminar atau diskusi di kalangan akademisi dan kaum sastrawan dan intelektual Taman Ismail Marzuki atau Gedung Kesenian Jakarta (GKJ).
Padahal, untuk konteks saat ini, sangat layak untuk digugat dan dipersoalkan, masih adakah “bintang-bintang” di langit Jakarta? (*)