Sedang Membaca
Haji Naik Kapal Laut, Bisa Khatam Alquran
Iip D Yahya
Penulis Kolom

Peminat budaya Sunda dan penulis sejarah. Bukunya yang telah terbit di antaranya "Biografi Oto Iskandar Di Nata: The Untold Story" dan "Ajengan Cipasung: Biografi KH. Moh. Ilyas Ruhiat".

Haji Naik Kapal Laut, Bisa Khatam Alquran

Menunaikan ibadah haji adalah idaman semua umat muslim. Bagi sebagian mereka, pergi ke Tanah Suci juga merupakan satu-satunya kesempatan pergi ke luar negeri. Tak heran jika pengalaman itu sangat berkesan dan tak terlupakan.

Demikianlah yang dirasakan oleh almarhumah Hj. Hafsoh, istri almarhum KH. Bunyamin Gufron, warga Simpangsari Cisurupan Garut. Sekalipun kepergiannya dilaksanakan pada 1964, tetapi saat ia diminta menceritakan kembali pengalamannya, seolah perjalanan itu baru saja dilakukannya.

 

Kapal Setiabudi

Pada 1964 suami Hafsoh, adalah seorang imam tentara yang berdinas di Kodam Siliwangi. Pemerintah saat itu memberlakukan sistim undian untuk membatasi jamaah yang berangkat. Setelah mendapat undian keberangkatan dengan nomor urut 27 dan 28, keduanya mendapat pinjaman dana perjalanan dari keluarga.

Saat itu, dari penjualan 4 ton padi, dihasilkan emas sebanyak 200 gram. Biaya untuk satu orang adalah 200 ribu rupiah atau setara dengan 100 gram emas.

Dari ONH sebesar itu, mereka mendapat devisen masing-masing 1.500 real. Harga emas di Makkah waktu itu 5 real per gram. Setelah dipotong untuk membeli emas 200 gram, mereka masih menyisakan dana 2.000 real yang sangat memadai untuk keperluan selama di Tanah Suci dan membeli oleh-oleh untuk keluarga yang lebih dari cukup.

“Kami naik kapal tentara bernama Setiabudi, bersama 800 jamaah yang lain,” kenangnya.

“Perjalanan ditempuh dalam 11 hari. Mungkin karena kapal perang, perjalanan kami lebih cepat dibanding kapal jamaah yang lain. Selama perjalanan, kami gunakan waktu untuk mendalami manasik dan ibadah yang lain.”

Untuk perbekalan, Hafsoh membawa sebuah peti ukuran 70 x 100 cm untuk pakaian dan peti yang lebih kecil untuk makanan. Tiba di Jeddah rombongan dijemput oleh Ali Iraqi, syekh pemondokan mereka di Makkah.

Baca juga:  Teologi Muktazilah dan Kepemimpinan Negara di Era Kontemporer

Syekh memisahkan barang yang akan dibawa ke Makkah dan Madinah. Sementara syekh kembali dengan barang ke Makkah, rombongan didampingi stafnya menuju Madinah. Selain itu, Syek Ali juga menganjurkan agar mereka menitipkan sebagian uang bekal kepadanya.

Menurutnya, untuk di Madinah cukup 500 real saja, sisanya untuk keperluan selama di Makkah. Kalau dibawa semua, dikhawatirkan uang tersebut akan habis dipakai belanja atau hilang. Di Madinah mereka tinggal selama 9 hari. Setelah menyelesaikan Arbain rombongan melanjutkan perjalanan ke Makkah.

“Selama di Tanah Suci, saya bisa mengkahatamkan baca Alquran. Mungkin karena waktunya leluasa. Saya mulai di Masjid Nabawi dan khatam di Mesjid Haram,” ujarnya.

Ia masih ingat ada anggota rombongan yang sengaja membawa kain kafan dan mencucinya di tepi sumur zamzam. Setelah dicuci lalu dijemur, semuanya dilakukan tanpa tergesa.

“Saya juga sempat belajar bahasa Arab. Karena harus memasak setiap hari bersama istri syekh yang dipanggil Ummi, mau tak mau harus selalu berkomunikasi. Waktu itu, rasanya saya jadi lancar berbahasa Arab, walaupun setelah pulang ke rumah menjadi lupa lagi. Saya juga sering diikutkan oleh Ummi dalam kegiatannya bersama perempuan-perempuan Arab yang lain. Ijlis sawa-sawa, katanya mengajak saya untuk selalu duduk di dekatnya,” sambungnya.

Keseluruhan perjalanan itu dijalani Hafsoh dalam 3 bulan 10 hari. Sekalipun pada 2002 ia berkesempatan menjalankan umrah, perjalanannya dengan kapal laut itu tetap tak terlupakan.

Apalagi pada saat itu sejumlah tempat bersejarah masih seperti aslinya. Saat berkunjung ke bukit Uhud misalnya, ia masih bisa membayangkan bagaimana dua pasukan yang bertempur berebut menguasai bukit.

Baca juga:  Lebaran yang Selalu Kami Rindukan

 

Lebaran di Atas Kapal

Karena memerlukan waktu perjalanan lebih lama, jamaah sudah berangkat menjelang hari Iedul Fitri. Mereka merayakan lebaran di atas kapal. Dalam catatan perjalanan almarhumah Hj. Dedeh Fuadah Ilyas (2006) diungkapkan:

“Malam lebaran di kapal sangat terharu bercampur gembira. Gembiranya melihat umat Islam yang patuh akan agamanya, giat melakukan ibadah. Terharu mendengar gemuruh suara takbir dan tahmid, di atas kapal, bercampur dengan gemuruh air lautan yang membiru. Pada hari Jumat 19 November 1971 (hari Lebaran) pagi-pagi para jemaah sudah siap pergi ke musala untuk melakukan sembahyang Iedul Fitri, berlebaran di atas lautan Sabang. Pulang dari sembahyang ied, para jemaah menuju kamar masing-maisng dengan perasaan gembira, terharu, bersyukur dan tafakur atas nikmat Tuhan sambil makan-makan seadanya.”

Selain mematangkan pemahaman atas manasik haji, jamaah juga bisa melaksanakan kegiatan lain yang bermanfaat, misalnya MTQ. Dalam catatan Dedeh dituturkan:

“Pada malam Sabtu, di kapal diadakan Musabaqah Tilawatil Quran untuk para ibu jamaah haji. Pagi-pagi jam 06.00 diadakan ceramah manasik haji oleh K. Ilyas Ruhiat di musalla. Jam 09.00 diadakan ceramah bidan (kewanitaan).”

Karena perjalanan yang lebih lama, wajar kalau kepergian dengan kapal laut lebih mengesankan. Selain tuma’ninah dalam beribadah, kesempatan untuk bersoaialisasi dengan sejumlah orang dari berbagai negara juga lebih banyak. Jamaah bisa lebih menikmati perjalanan, sehingga ada kesempatan untuk mengabadikannya dalam sebuah catatan.

 Perjalanan Haji Ajengan Ilyas Ruhiat

Sebagai perbandingan, berikut catatan perjalanan yang ditulis oleh KH. Moh. Ilyas Ruhiat (2006) saat menunaikan haji yang pertama.

Sabtu, (13/11/1971), berangkat dari Cipasung menuju Cirebon dengan diadakan upacara sederhana oleh K. Khoer Affandi dan doa oleh K. Hambaly Cintaraja.

Minggu, (14/11), pemeriksaan barang di Asrama PHI Cirebon. Senin, (15/11), barang-barang diangkut ke pelabuhan. Selasa, (16/11), naik kapal “Mei Abeta”. Jumat, (19/11), Hari Raya di atas kapal “Mei Abeta”. Sembahyang Id diimami oleh Moh. Ilyas Ruhiat, sedangkan khatibnya adalah MPH Haji Sanusi. Siang hari menghadiri upacara Hari Raya yang diselenggarakan oleh nakhoda kapal dan dihadiri oleh kepala palkah, ulama, dan awak-awak kapal.

Baca juga:  Frank Lampard, Identitas, dan Agama

Senin, (29/11), kira-kira jam 3 sore berlabuh di pelabuhan Jedah dan sesudah magrib berangkat ke Madinatul Hujjaj dan diterima oleh Syekh Abbas dan KH. Ma’mun. Selasa, (30/11), membereskan barang-barang yang akan dibawa ke Makkah oleh Syekh dan yang akan langsung dibawa sendiri ke Madinah.

Rabu, (1/12), pagi-pagi berangkat ke Madinah dengan pakai bus dan sampai di Madinah kira jam 5 bada asar. Jumat, (10/12), sesudah Jumat pergi ke Makkah dengan niat ihram dari Bir Aly. Sampai di Makkah kira-kira jam 3 dinihari. Sabtu, (11/12), sesudah sembahyang subuh langsung thawaf umrah/qudum dan sa’i lalu tahallul.

Kamis, (10/02), berangkat dari Makkah ke Jedah. Di Jedah tinggal selama dua hari dari Sabtu kira-kira jam 10 pagi diberangkatkan ke pelabuhan, dan baru bakda magrib naik kapal untuk selanjutnya besoknya kapal berangkat. Dalam perjalanan pulang, singgah di Jibouti untuk mengisi air. Pada tanggal (20/02/1972), kapal sampai di Pelabuhan Cirebon. (atk)

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top