Sedang Membaca
Belajar Toleransi kepada Orang Desa
Dani Ismantoko
Penulis Kolom

Guru dan tinggal di Panjangrejo, Pundong, Bantul.

Belajar Toleransi kepada Orang Desa

“Desa mawa cara negara mawa tata.” Desa mempunyai cara tersendiri di dalam penyelenggaraannya, negara mempunyai aturan yang jelas di dalam penyelenggaraannya.  

Kalimat tersebut adalah khasanah budaya yang sudah cukup tua dan secara tidak langsung menjelaskan perbedaan antara desa dan negara yang agaknya secara khusus dilihat dari cara penyelenggaraannya.

Ejawantah dari khasanah tersebut bukan hanya terwujud di dalam tata aturan umum saja, semisal tamu menginap 1 x 24 jam wajib lapor kepada RT setempat. Tetapi juga secara sosio kultural. Salah satunya adalah dalam hal berpartisipasi untuk mengurus orang meninggal sampai tuntas.

Di kota, kesadaran mengurus orang meninggal hanya dimiliki oleh kerabat keluarga saja, dan tetangga sekitar yang peduli karena pernah bersua dengan orang yang meninggal tersebut semasa hidup. Tidak dimililki keseluruhan orang satu kampung.

Di desa (termasuk dusun) kesadaran untuk berpartisipasi mengurus orang yang meninggal dimiliki orang satu desa. Ketika ada salah satu warga desa yang meninggal setiap orang yang tinggal di desa tersebut merasa wajib untuk berpartiaipasi.

Dalam proses tersebut biasanya akan terjadi pembagian tugas secara otomatis. Bapak-bapak memasang tenda. Ibu-ibu mengurus logistik. Takmir dan para stafnya mengurus pemandian jenazah. Pemuda membuat surat pemberitahuan lelayu untuk diberikan ke desa-desa sekitar dan seluruh kerabat jauh, baik yang mempunyai hubungan darah atau sekadar mempunyai keluarga di desa tersebut.

Baca juga:  Menjaga Wariga Sasak, Menjaga Harmoni

Tanpa ada yang mengomando—sebagaimana organisme—peran yang diemban secara dari setiap kelompok masyarakat yang ada desa tersebut dijalankan secara maksimal.

Khusus untuk pemuda, dalam membuat surat pemberitahuan lelayu, yang jumlahnya selalu lebih dari seratus lembar, biasanya ada kendala khusus ketika ada orang meninggal sekitar pukul 1–3 dini hari. Kendalanya pada penggandaan surat lelayu.

Beberapa pemuda, yang karena kebutuhan tertentu, seperti kuliah biasanya terpaksa harus memiliki laptop dan printer. Sehingga proses pengetikan dan printing bisa dilakukan di salah satu tempat warga tersebut. Karena kertasnya hanya terbatas maka harus menggandakannya di tempat fotokopi.

Biasanya—kecuali desa yang menjadi pusat ekonomi sebuah kecamatan—tidak ada satu pun yang memiliki mesin fotokopi. Di mana bisa menggandakan surat pemberitahuan lelayu? Ke kota tidak mungkin, terlalu jauh, terlalu lama, deadline waktu—minimal 5 jam sebelum pemakaman harus terbagi semua—tidak tercapai.

Maka, mau tidak mau harus memberanikan diri untuk mengetuk pintu rumah pemilik mesin fotokopi jam 1-3 dini hari walaupun berada di desa lain dan tidak dikenalnya.

Sepengalaman saya sebagai warga dusun, ini tidak mudah. Tidak semua pemilik fotokopi mau menerima order dengan cara seperti itu. Terkadang karena takut tidak bisa menolak, pemilik fotokopi memberitahukan kepada seseorang secara lisan supaya tersebar dari mulut ke mulut bahwa dia tidak menerima order pada waktu dini hari dengan alasan apa pun.

Baca juga:  Kearifan Lokal Warga Dusun Pandanderek Ponorogo: Dari Slametan hingga Cara Merawat Keberagaman

Saya, sebagai salah satu pemuda di dusun merasa bahwa kesulitan tersebut hilang begitu saja ketika suatu saat salah seorang pemilik mesin fotokopi mengatakan, “Kalau ada lelayu dan butuh untuk memperbanyak surat lelayu silakan datang ke sini, kapan pun, jam berapa pun…”

Hal yang membuat saya pribadi merasa senang selain karena kesediaan beliau untuk dimintai tolong kapan pun adalah beliau non muslim dan seluruh warga desa saya semuanya beragama Islam, juga jenazah yang dimakamkan adalah muslim.

Setelah mendapatkan pernyataan dari pemilik fotokopi tersebut saya merasa bahwa sebenarnya bagi warga desa toleransi adalah hal yang sudah menjadi makanan sehari-hari. Toleransi adalah sebuah kewajaran. Sebagaimana wajarnya kesadaran menolong siapa pun yang membutuhkan.

Saya jadi merasa aneh, ketika ada generalisasi berupa anjuran supaya belajar bersikap lebih toleran kepada siapa pun terutama terutama kepada orang yang berbeda agama dengan kita.  Itu kan permaslahan kelas menengah ke atas saja.

Permasalahan kaum intelektual entah apa pun basik keilmuannya, yang karena begitu kukuh memepertahankan pendapatnya akhirnya bersikap tidak toleran. Mengapa orang-orang desa diseret-seret untuk menjadi bagian dari permasalahan-permasalahan tersebut?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top