Sedang Membaca
Seabad Usmar Ismail (1): Di Lubuk Film…
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Seabad Usmar Ismail (1): Di Lubuk Film…

1 Di Lubuk Film

Pada 20 Maret 2021, orang-orang tak berkumpul untuk menonton film-film lawasan atau menggelar seminar. Mereka masih menahan diri di rumah atau sengaja belum perlu membuat kerumunan. Pidato-pidato tak terdengar, tergantikan oleh seruan-seruan bertema wabah oleh pihak pemerintah dan para tokoh. Kita mungkin bersedih tak mengadakan acara besar dalam peringatan seabad Usmar Ismail. 

Ia terakui dan tercatat dalam sejarah film di Indonesia. Pada saat peringatan seabad, kita pun bakal mengulang peringatan Hari Film Nasional setiap 30 Maret. Pilihan tanggal mengacu kerja membuat film oleh Usmar Ismail, sejak masa 1950-an. Sekian judul film teringat tanpa ada janji ada pemutaran lagi di televisi atau saluran-saluran istimewa diselenggarakan oleh pemerintah atau komunitas-komunitas film: Tjitra, The Long March, Enam Djam di Djogja, Krisis, Tiga Dara, Liburan Seniman, dan lain-lain.

Usmar Ismail berada dalam babak awal gerakan “kemesraan” dalam sastra, teater, dan film. Ia mengawali sebagai penggubah puisi, sibuk berteater dengan mempersembahkan naskah-naskah penting, bersambung ketekunan menggarap film. Pergaulan bersama para seniman memungkinkan “kemesraan” terjalin, bergerak bareng dalam babak-babak pertumbuhan seni modern di Indonesia. “Kemesraan” dari pelbagai kalangan seni itu perlahan “membara” akibat kisruh ideologi atau politik-seni berlatar revolusi.

Di Intisari edisi 17 Agustus 1963, Usmar Ismail mengenang film berjudul The Long March atau Darah dan Doa. Film diputar di Istana Negara, ditonton oleh Soekarno dan tokoh-tokoh politik. Sutradara kondang itu mengingat: “Darah dan Doa mungkin adalah film Indonesia jang pertama jang mendapat kehormatan untuk diputar ditempat kediaman Bung Karno jang baru. Peristiwa itu adalah suatu hal jang sukar saja lupakan karena buat saja itulah pertama kali film jang saja sutradarai akan dinilai oleh para pemuka bangsa.” Film masuk ke ruang kekuasaan, mendapat tatapan mata dan pemaknaan berkaitan keindonesiaan. Film menandai gairah untuk mengisahkan (manusia) Indonesia. Film-film perlahan memberi pesan atas keinginan bercap kemajuan, revolusi, kemodernan, dan lain-lain. 

Baca juga:  Pengaruh Besar Sayid Ahmad Zaini Dahlan bagi Nusantara

Usmar Ismail berada dalam titian pembentukan sejarah. Film di Indonesia masih “urusan” baru. Orang-orang Indonesia belum berpengalaman dalam membuat film meski pembentukan umat penonton sudah berlangsung sejak awal abad XX. Keberanian mengalahkan hal-hal belum dimengerti selama mengerjakan film. “Saja sendiri, selain dari produser-sutradara-penulis skenario, seringkali harus mendjadi sopir, kuli angkut, make-up man, pentjatat skrip, asisten sendiri,” pengakuan Usmar Ismail. Ia berhasil menggarap film saat orang-orang cuma geleng-geleng kepala, meragukan, dan meledek. Episode bersejarah membuat film Darah dan Doa itu memberi hikmah:  “… meskipun kita adalah madjikan kita sendiri, tidaklah dengan sendirinja kita dapat berbuat sekehendak kita, karena masih banjak lagi ikatan-ikatan jang lain, seperti terbatasnja modal, peralatan, kemampuan dan lain-lainnja.”

Tahun demi tahun, Usmar Ismail membuat film. Ia pun wajib memikirkan nasib film dalam perbioskopan dan kebijakan pemerintah. Film butuh penonton. Pengusaha-pengusaha bioskop memiliki taktik bisnis. Pemerintah sering salah tingkah dalam menghormati film Indonesia atau memanjakan film-film asing. Film garapan Usmar Ismail berjudul Krisis (1954) pernah digemari para penonton di Indonesia, bersaing dengan film-film asing. Capaian belum menjamin bioskop-bioskop di pelbagai kota mengutamakan pemutaran film-film Indonesia. 

Nasib film Indonesia belum pasti. SM Ardan dalam buku berjudul Dari Gambar Idoep ke Sinepleks (1992) mencatat bahwa film Krisis memicu para penonton memuji film-film Indonesia. Mereka dibingungkan oleh ulah pengusaha, tak mungkin selalu memutar film Indonesia di bioskop dalam hitungan bisnis. Penonton mulai terbentuk selera tapi film-film Indonesia masih terbaikan. Ardan mengutip pengumuman dimuat dalam Star News edisi 1 Februari 1956: “Dewan Film telah mengirimkan surat edaran kepada semua pengusaha bioskop mengenai soal pemutaran film Indonesia jang pada azasnja telah disetudjui, baik oleh PPFI maupun PPBSI. Peringatan mengenai wadjib-putar film Indonesia bagi semua bioskop di seluruh wilajah RI ini diserukan lagi, mengingat kedudukan industri film nasional dewasa ini jang terdjepit disebabkan membandjirnja film-film import…” Film berjudul Krisis menandai para penonton berselera film Indonesia tapi dalam industri bioskop malah mengalami krisis.  

Baca juga:  Musdah Berjumpa Para Tokoh Lintas Agama di Wuppertal Jerman

Masalah film Indonesia dan bisnis bioskop terus berulang sampai sekarang. Film-film Indonesia sulit “menguasai” bioskop-bioskop di seantero Indonesia atau terpuji setinggi langit mengalahkan film-film asing. Pada masa 1950-an, Usmar Ismail sudah mengingatkan dan meramalkan: “Karena Indonesia dengan penduduknja jang 80 djuta djiwa adalah tempat jang subur bagi perkembangan film sebagai alat komunikasi, sebagai hiburan ataupun sebagai pernjataan kesadaran kebudajaan kebangsaan dan sebagai projek industri. Dewasa ini hanja kira-kira 15% dari film jang diputar di bioskop-bioskop jang berdjumlah kira-kira 600 itu bikinan dalam negeri, hingga tidaklah dapat diduga besarnja kemungkinan-kemungkinan film Indonesia di masa depan.” Masa demi masa, film Indonesia sulit mendapatkan tempat istimewa meski disokong dengan rutinitas Festival Film Indonesia dan pelbagai penghargaan. 

Semula, film Indonesia dimasalahkan dalam mutu. Masalah lanjutan terbesar adalah laku. Pada masa 1990-an, publik masih maju-mundur untuk memuji film-film Indonesia. Suguhan film-film “panas” menambahi jengkel atas kesulitan terhormat di negeri sendiri. Kejutan muncul melalui garapan-garapan film Garin Nugroho tanpa jaminan laku atau digemari jutaan penonton. Film-film bermutu sering bagi kritikus film atau penikmat film taraf serius. 

Philip Cheah (2002) memberi pujian: “Garin Nugroho adalah seorang yang unik. Ia melahirkan tampilan gelombang Indonesia baru mulai lewat film Cinta Dalam Sepotong Roti (1991). Ia menjadi anging segar perjalanan film Indonesia.” Garin Nugroho berjarak puluhan tahun dari keberanian dan kesanggupan Usmar Ismail mencari martabat film Indonesia. Ketokohan Garin meluas di pelbagai seni: tari, seni rupa, musik, teater, dan sastra. Pada 2021, ia setara dengan Usmar Ismail gara-gara  menerbitkan buku puisi berjudul Adam, Hawa, dan Durian. Dulu, Usmar Ismail ada di kancah sastra dengan buku puisi berjudul Puntung Berasap (1950).  

Baca juga:  Mengenang Murid Hadratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy'ari

Publik terlalu lama mengenali Usmar Ismail adalah tokoh film, jarang mengingat lagi sebagai pengarang mewariskan puisi-puisi, selain naskah pentas sandiwara. Pada 1966, Usmar Ismail turut memberi pengertian dan tempat bagi seniman di Indonesia, setelah malapetaka 1965. Ia mengatakan: “Sumber perasaan dan pemikiran si seniman adalah tanggapan jang murni daripada kehidupan batiniah, lebih lagi dari kehidupan lahiriah, jaitu tanggapan dari lubuk hati jang terdalam, hingga tanggapan itu mendjadi kegairahan jang sangat untuk dilahirkan dan dilontarkan ke dunia lepas.” Usmar Ismail, seniman berpengaruh dan menentukan arus sejarah film di Indonesia meski kadang dirundung kecewa demi kecewa.

Kini, kita mengingat Usmar Ismail. Ingatan tanpa acara besar dan meriah. Kita mungkin tergoda membuat album ingatan dalam menghormati Usmar Ismail dalam sastra, teater, dan film. Kita tak melupa bahwa Usmar Ismail pernah suntuk bersastra meski lekas “terdiam” di buku-buku lama dan bunga rampai Gema Tanah Air susunan HB Jassin. Ingatan dan penghormatan kita mendingan melalui pengutipan dari puisi berjudul “Seketika” saja. Usmar Ismail masih muda menulis: Djangan djadikan hidupku, Tuhan/ Bagai buah meranum semasa muda/ Djatuh sebelum sempurna/ masak didahan. Doa itu melecut Usmar Ismail memberi persembahan-persembahan untuk Indonesia, dari masa ke masa. Begitu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top