Sedang Membaca
Pemetik Puisi (25): Yudhistira ANM Massardi, Ya Allah, Orde Baru
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Pemetik Puisi (25): Yudhistira ANM Massardi, Ya Allah, Orde Baru

Yudhistira Anm Massardi

Pada saat ia muda, sastra Indonesia pernah terguncang gara-gara sajak dan novel. Abdul Hadi WM dan Sutardji Calzoum Bachri pernah “meributkan” buku puisi Yudhistira ANM Massardi. Geger di koran dan majalah! Pada masa 1970-an, perseteruan sengit dalam sastra Indonesia. Yudhistira kadang mendapat pujian, kadang “dimarahi” mengacu estetika dan politik-sastra. Ia terus saja menggubah puisi sampai sekarang. Buku-buku terbaru berkurang lucu, bertambah religius. Kita mungkin kehilangan kenakalan masa lalu. Di novel, ia pun bikin sewot dengan Arjuna Mencari Cinta. Sejak muda, Yudhistira mengerti nasib dipertaruhkan dalam sastra.

Di Jogjakarta dan Jakarta, ia bertumbuh menjadi pengarang tangguh. Buku demi buku terbit: tipis dan tebal. Para kritikus rajin memberi pendapat. Ia mengalami masa “pemanjaan” dalam sastra Indonesia. Pada usia tua, ia mengurusi pendidikan, tak lupa tetap bersastra. Puisi dan novel masih dipersembahkan meski berkurang pesona dibandingkan masa lalu. Yudhistira tercatat dalam sejarah, “tukang bikin onar” tapi menggairahkan sastra di Indonesia dengan pembuktian-pembuktian, bukan tebar omong kosong.

Pada 1978, ia menggubah puisi berjudul “Syukur”. Puisi mengandung protes atau kritik. Dulu, ia sulit menjadi pengarang “santun”, “kalem”, “baik”, dan “luhur”. Teks demi teks membuktikan kelucuan dan kritis. Yudhistira adalah penghibur. Yudhistira adalah “penghasut” atas masalah-masalah sosial-politik-kultural. Ia menempatkan diri sebagai pemberi kritik, mengiringi babak-babak Orde Baru. Puisi berjudul “Syukur” agak membuktikan kemauan menulis kritik tak jemu-jemu. Kita membaca: Ya, Allah/ Bumi ini nyaris tragis/ Jika tidak Kau batasi. Kita membaca biasa saja, tata cara ribuan orang menggubah puisi bertema religius masih berulang dengan awalan: “Ya, Allah” atau “Ya, Tuhan.” Yudhistira belum melucu, belum pamer kemahiran berbahasa.

Baca juga:  Menjawab Polemik Radikalisme melalui Pendekatan Good Looking

Kita mulai masuk ke masalah besar: doa, kerja, nasib. Yudhistira menulis: Kemarin seseorang menyebutmu/ Jauh di belakang/ Dan Kau sedang bercakap dengan Akhmad. Manusia-manusia di Indonesia sedang bingung mengikuti perintah-perintah Soeharto untuk bekerja, bekerja, dan bekerja. Pembangunan nasional itu himpunan manusia bekerja demi raihan kemakmuran, kesejahteran, dan kemonceran. Indonesia meminta orang bekerja. Keringat-keringat memajukan Indonesia. Orang bekerja mendapat rezeki. Orang bersyukur, mengerti Tuhan memberi kebaikan dan kebahagiaan. Di Indonesia, bersyukur itu penting tapi biasa dicampuri keluhan dan permintaan. Berdoa berbeda dari usaha-usaha mematuhi segala perintah rezim Orde Baru memiliki seribu satu tanda seru. Orang bekerja pantas bercakap dengan Tuhan dalam mengerti kepuasan, kebahagiaan, kekurangan, dan keamburadulan.

Yudhistira melaporkan nasib orang-orang beruntung mendapat pekerjaan dan sulit mencari pekerjaan. Ia mencontohkan: Sukra sedang mencari kerja, ya Allah/ sejak dua bulan yang lalu. Sukra belum beruntung. Ia masuk daftar pengangguran. Soeharto tak suka orang menganggur. Di Indonesia, Sukra termasuk beban atau “sampah” bagi pembangunan nasional. Pengangguran mungkin”diharamkan” dalam pemenuhan impian-impian rezim Orde Baru. Yudhistira melanjutkan: Ya, Allah, dengarkan mereka semua/ Biarkan giliranku paling akhir. Tokoh berlagak ikhlas dan sabar. Ia bernasib belum baik tapi memilih berbahagia bila teman-teman berhasil mendapat pekerjaan. Ia belakangan saja.

Baca juga:  Alif.Id, Jurnalisme Budaya, dan Keislaman Kaum Santri (2): Ilmu, Energi, dan Waktu

Orang-orang berdoa, berharap bahagia saat bekerja dan terhindar dari sial bila masih menganggur. Yudhistira mengajak bersyukur atas nasib. Ajakan berbeda dari slogan-slogan Orde Baru ingin jutaan orang bekerja memajukan Indonesia. Bekerja itu baik. Menganggur itu buruk. Kita pun ingat rezim Orde Baru mencipta imajinasi terparah selama 30-an tahun mengenai kerja. Konon, bujukan termanjur adalah memicu orang-orang menjadi PNS. Kaum partikelir tetap penting tapi mengerti ada peruntungan berbeda. Orang dikutuk menganggur berhadapan dengan tuduhan dan fitnah ciptaan penguasa dalam misi “membasmi” dan “menghinakan”. Begitu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top