Sedang Membaca
Baliho di Masa Pandemi dan Empati Politisi

Muhammad Abdun Nasir. Alumnus Ponpes Baitur Rahim Bungah Gresik dan Magister di Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. Pegiat Halaqoh Literasi Malang Jawa Timur. Pernah menjadi Asisten dosen, dosen luar biasa, dan dosen tamu di FE Universitas Brawijaya, dan sudah lebih dari 18 tahun bekerja di perusahaan swasta yang bergerak di Sales Marketing dan sekarang menggeluti usaha properti.

Baliho di Masa Pandemi dan Empati Politisi

Img 20210812 Wa0000

Baliho merupakan salah satu media yang lazim digunakan oleh siapapun untuk membuatnya makin dikenal. Dalam konteks ilmu marketing, baliho adalah salah satu alat yang digunakan dalam taktik periklanan ATL  atau above the line.

Taktik ATL ini akan menyasar audiens yang cakupannya sangat luas, sehingga biaya yang digunakan juga tidaklah murah. Dengan tujuan meningkatkan brand awareness. Sang pengiklan berharap agar dengan auidiens yang luas, maka keterkenalannya akan meningkat.

Di dunia politik, teknik iklan semacam inipun pasti akan digunakan. Karena politisi sebagai representasi partai politik, yang mengatasnamakan perjuangan untuk rakyat, harus membuat diri mereka lebih luas dikenal oleh rakyat yang menjadi target audiensnya. Dalam istilah politik disebut sebagai tingkat popularitas.

Dengan mengiklankan dirinya melalui baliho, maka politisi mendesain dirinya sebagai sebuah merek atau personnel branding. Gambar foto diri yang terbaik biasanya akan ditempel dengan proporsi yang paling besar, di samping logo partai dan juga rangkuman janji yang diwujudkan dalam bentuk tag line yang semuanya itu akan dijual ke target audiensnya.

Baliho bagi politisi masih menjadi pilihan favorit para politisi karena sifatnya yang sangat mudah dijangkau oleh pandangan mata dan kemungkinan untuk bisa dilihat oleh banyak orang juga sangat tinggi. Karena baliho tersebut akan ditempel di pinggir jalan umum yang merupakan tempat berlalu lalang masyarakat. Sehingga menjadi tidak mengherankan, ketika dalam masa akan memasuki musim pemilihan, di jalan jalan menjadi sangat semarak dengan baliho yang terpampang foto dan janji terbaik mereka.

Baca juga:  Cak Nun juga Bisa “Kesambet”

Baliho di masa pandemi

Dalam konteks waktu yang normal, apalagi mendekati waktu pemilihan, mengiklankan diri menggunakan baliho adalah hal yang lumrah. Meskipun sudah ada beberapa pilihan lain yang semestinya bisa lebih efisien digunakan, utamanya di era digital seperti sekarang ini.

Kembali lagi, bahwa pilihan dengan beriklan melalui baliho dianggap menjadi salah satu alat yang paling efektif untuk bisa manjangkau target audiens yang lebih luas. Meskipun, para politisi itu sudah paham bahwa biaya yang digunakan untuk beriklan dengan baliho tidaklah murah.

Sebagai gambaran, bahwa untuk memasang baliho di jalan utama kota besar dengan ukuran jalan kelas utama, harga per meter persegi bisa mencapai lima puluh ribu per harinya. Sehingga untuk memasang baliho dengan ukuran paling umum dalam sehari, para politisi pengiklan tersebut harus mengeluarkan uang tidak kurang dari dua setengah juta per titik baliho.

Uang sebesar itu bagi para politisi yang sudah memiliki tingkat popularitas tinggi dan apalagi kalau mereka menjadi petinggi partai ditambah dengan posisi publik yang sudah mereka miliki, maka bukanlah jumlah yang besar. Bahkan bisa jadi uang sejumlah itu hanya menjadi uang sekali lewat saja bagi mereka.

Bagi para politisi yang sudah punya tingkat popularitas tinggi, apalagi ditambah dengan posisi sebagai petinggi partai dan bahkan pejabat politik sebenarnya secara teori taktik periklanan sudah tidak begitu diperlukan. Karena mereka sudah sangat luas dikenal. Artinya, ini akan menjadi langkah pemborosan.

Baca juga:  Posisi NU dan Muhammadiyah di Era Priayisasi Islam

Namun bisa jadi langkah mereka dengan masih menggunakan media baliho ini memiliki maksud untuk menjadikan diri mereka sebagai nilai merek politik ingin diperluas jangkauan keterkenalan untuk mencapai kekuasaan yang lebih tinggi lagi.

Upaya tersebut apakah sah sah saja? Apalagi semaraknya baliho tersebut saat ini dilakukan oleh beberapa politisi yang sedang di puncak pimpina partai. Tentu secara taktik pemasaran politik tetap satu hal yang sah, meskipun dari beberapa hal menjadi bahan pertanyaan dari sudut etika di masa pandemi yang sebagian besar audiens mereka yang disebut sebagai rakyat dalam posisi yang sangat sulit. Dimanakah letak pertanyaan dari segi etika itu bisa dimunculkan?

Pertama, dari sisi tujuan pemilihan media baliho yang jangkauannya adalah audiens seluas luasnya untuk mendapatkan tingkat popularitas tinggi saja sudah bermasalah. Bagaimana tidak bermasalah, sebagai pimpinan partai, dan hampir semua juga sedang menjabat pada posisi publik yang tak kalah mentereng dengan posisinya di partainya sendiri. Dengan demikian, mereka sering muncul dihadapan publik, dan itu adalah iklan gratis untuk semakin menaikkan popularitas mereka.

Kedua, pemilihan waktu juga sangat bermasalah. Jika melihat aktor politik yang sedang rajin pasang baliho sekarang ini, bisa ditebak memiliki agenda bukan hanya menaikkan tingkat popularitas mereka sebagai pejabat publik atau partai saja, tetapi jelas mereka punya agenda untuk menaikkan level kekuasaan tertinggi sebagai pemimpin negara. Hal ini sangat jelas terselip dalam konten singkat mereka yang akan menyongsong pilpres 2024. Jelas ini adalah merupakan pencurian terhadap waktu untuk memulai.

Baca juga:  Pilpres 2024: Akankah Politisasi Agama “Islam” Terulang Kembali?

Ketiga, yang juga merupakan hal terakhir ini adalah permasalahan yang cukup serius secara etis. Di saat masa pandemi, dimana hampir semua masyarakat sedang mengalami kesulitan yang sangat serius, namun justru mereka dipertontonkan dengan banyaknya baliho yang secara tujuan maupun biaya cukup mengusik hati sebagian masyarakat.

Di saat ini, banyak rakyat kesulitan bertahan hidup karena sulit bergerak akibat kebijakan untuk menghentikan laju wabah ini. Meskipun pemerintah dan banyak elemen lain yang ikut turun membantu meringankan kesulitan bertahan hidup ini, akan lebih elok jika biaya pembuatan baliho per titik tersebut bisa ditambahkan untuk membelikan rakyat beras. Dan itu setara dengan dua ratus lima puluh kg beras per hari. Angka ini cukup berdampak jika diberikan ke masyarakat di sekitar area pemasangan baliho.

Di saat beberapa elemen masyarakat yang bergerak dalam hal kemanusiaan sedang membutuhkan media untuk menyebarkan informasi tentang pencarian donator dan bahkan target donasi masyarakat terdampak, kenapa baliho yang digunakan politisi tersebut tidak dihibahkan saja buat gerakan kemanusiaan semacam ini.

Harapan harapan yang muncul dari fenomena baliho dan politisi ini tentu akan bertemu dengan kenyataan, jika dalam fatsun politik mereka menngedepankan etika yang di dalamnya mengandung empati. Semestinya, dalam hal empati dalam politik ini mereka belajar dari ajaran Gus Dur, bahwa yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top