Di televisi, para penonton selalu mengingat wajah Iqbaal Ramadhan dalam siaran mengenai “guru” dan iklan. Ia berwajah imut dan bersih. Ia memang masih muda. Wajah itu “terhindar” dari kumis atau jenggot. Di film berjudul Bumi Manusia, kita melihat tokoh berkumis. Tokoh diperankan oleh Iqbaal Ramadhan. Kita diharapkan melihat tokoh dalam (imajinasi) sejarah, bukan lelaki ganteng sering tampil di televisi. Para lelaki pemilik kumis kaget. Mereka mau protes tapi “mustahil” gara-gara kumis bukan termasuk perkara penting untuk diperdebatkan menggunakan dalih “imajinasi” sejarah atau pengetahuan ragawi.
Kaum lelaki terpelajar di Hindia Belanda awal abad XX tak cuma dipusingkan soal bahasa, busana, ilmu, politik, dan asmara. Mereka pun harus memikirkan wajah. Di tanah jajahan, mereka sering melihat “tuan-tuan kulit putih” berpenampilan parlente. Sekian “tuan” tampak memiliki kumis dan jenggot. Para “tuan” sudah berumuran tua memang mau tampil sangar di hadapan kaum terjajah.
Di benua asal mereka, lelaki tampak gagah dengan kumis dan jenggot. Kaum filosof, seniman, dan politisi lumrah pamer wajah tak mulus. Di situ ada rambut, mengambil tempat di atas bibir. Jenggot pun bertumbuh ke bawah. Lelaki berambut di wajah tak wajib seheboh Karl Marx atau Nietzsche.
Di tanah jajahan, rambut subur di wajah turut menandai gerakan politik dan intelektual ingin “revolusioner”. Beragam dalih dimiliki para tokoh. Ingatan kita mengarah ke HOS Tjokroaminoto, pemilik kumis rapi dan lancip. Imajinasi keberanian terasa di kumis. Dulu, beliau suka berpidato di hadapan orang-orang berpikiran agama dan nasionalisme. Penampilan “sangar” di pamrih “melawan” pemerintah kolonial melalui Sarekat Islam. Ia selalu teringat dengan kumis gara-gara foto atau gambar sering beredar memang menampilkan pemimpin itu berkumis dengan busana rapi. Keampuhan Tjokroaminoto membuat Soekarno kagum dan “meniru” dalam orasi dan pemikiran politik. Pada saat menjadi murid HBS dan mondok di rumah Tjokroaminoto, Soekarno sungkan meniru sebagai lelaki berkumis. Ia berusia remaja dengan wajah tampan. Foto paling teringat adalah dandanan rapi dan mengenakan blangkon. Ia tak pernah bermimpi atau menjanjikan bakal menjadi pemimpin berkumis dan berjenggot.
Di Semarang, gerakan Sarekat Islam pun membara. Di sana, orang-orang ingat tokoh penting berusia masih muda. Ia bernama Semaoen, tampil menjadi pemimpin melawan kolonialisme. Foto Semaoen terekam di ingatan publik: mengenakan busana rapi agak berselera Eropa dan tutup kepala dari kain khas Jawa. Ia itu remaja berwajah mulus, terhindar dari kumis dan jenggot. Kumis mungkin menambahi kerepotan dalam gerakan politik dan intelektual.
Di sejarah, Semaoen tercatat manusia sangar, tak kalah peran dari Tjokroaminoto atau Agoes Salim. Ketiadaan kumis dan jenggot bukan menakdirkan ia lemah atau memikirkan gengsi. Semaoen malah lantang dan menantang kolonial tanpa jemu meski berulang masuk penjara. Ia memilih membuat tulisan-tulisan “berkumis” alias mengejek dan menghajar lakon kolonialisme. Ingatan ke Semoaen muda mustahil membawa cerita mengenai kumis. Ia sadar para tokoh gerakan kiri di dunia memiliki kumis. Peniruan belum wajib.
Tokoh-tokoh berusia muda tanpa kumis dan jenggot. Kita jangan terlena. Kembalilah melihat Iqbaal memiliki kumis! Ia memerankan tokoh bernama Minke. Suguhan imajinasi dari Pramoedya Ananta Toer mengantarkan kita menuju tokoh bernama Tirto Adhi Soerjo. Novel berjudul Bumi Manusia menginginkan pembaca ke pengenalan dan penghormatan kepada Tirto Adhi Soerjo.
Tokoh pers itu memang berkumis. Foto paling khas adalah mengenakan jas, dasi, dan blangkon. Di bawah hidung, kumis “molek” dan sangar. Kumis itu mungkin referensi di pemunculan tokoh Pak Raden saat membagi cerita ke bocah-bocah di TVRI. Tirto Adhi Soerjo berwajah cakep. Kumis dipelihara ketimbang jenggot.
Konon, foto diri berkumis di masa Tirto Adhi Soerjo belajar di Stovia. Muda sudah berkumis. Kita ingat lagi tokoh dalam filmBumi Manusia pun berkumis tipis. Kita belum mengetahui Iqbaal menumbuhkan kumis dengan obat atau “dipasangi” kumis agar tampak berwibawa. Duh, kita mulai terjebak mengimajinasikan kumis tipis dan tebal di kalangan elite terpalajar dan kaum gerakan politik kebangsaan masa lalu! Kita mendingan mengingat dua tokoh bernama Tirto Adhi Soerjo dan Semaoen, tak usah terlalu memusingkan kumis milik Iqbaal saat bermain film.
Buku berjudul Sang Pemula edisi Lentera Dipantara (2003) menampilkan sampul mengesankan. Sampul dikerjakan M Bakkar Wibowo menggunakan foto koleksi cucu Tirto Adhi Soerjo. Foto bersejarah mengisahkan masa lalu kaum lelaki sedang mengalami zaman “kemadjoean” dan “bergerak”.
Tirto Adhi Soerjo pasti merawat kumis secara rutin dan serius. Kumis berujung lancip mengarah ke atas. Kumis menambahi kesangaran ide-imajinasi Tirto Adhi Soerjo. Kita mengandaikan ia kadang memelintir kumis saat bicara atau menulis. Tangan sibuk mengurusi kumis. Di hadapan cermin, ia mengagumi diri berkumis. Penampilan itu tak ditiru oleh “murid” bernama Mas Marco Kartodikromo saat muda.
Kita berlanjut mengingat Semaoen melalui Hikayat Kadiroen edisi terbitan Narasi dan Pustaka Promothea (2018). Foto lawas masih tampak jelas. Semaoen tanpa kumis atau jenggot. Ia masih remaja.
Di Semarang, ia sudah berpaham keras dalam melawan kolonial dan mengentaskan nasib kaum terjajah. Semoen belum sempat memelihara kumis. Kita menduga jenis wajah itu memang tak memungkinkan pertumbuhan kumis dan jenggot. Tindakan membeli obat mungkin dianggap pemborosan dan memalukan. Ia tetap saja pemberani.
Biografi para lelaki berkumis ada di album sejarah Indonesia. Cerita berkumis di masa kolonial berbeda dengan masa setelah proklamasi. Di buku-buku sastra kita mendapat rekaman pemilik kumis kadang ditimpa malu. Rusman Sutiasumarga dalam buku berjudul Jang Terempas dan Terkandas (1951) menceritakan para lelaki berkumis masuk sekolah, setelah mereka rampung turut berperang. Di tingkat sekolah menengah, mereka tampak tua ketimbang murid-murid berusia remaja. Kumis terus bertumbuh dan membuktikan janji mereka memuliakan Indonesia dan berilmu. Kumis sempat jadi lelucon bercorak revolusioner.
Puluhan tahun berlalu, kita tergoda memikirkan kumis lagi gara-gara melihat Iqbaal berkumis di film. Duh, kumis itu wagu! Sejarah “revolusioner” belum terasa di kumis tipis. Begitu.