Sedang Membaca
Jelang 100 Tahun Saifuddin Zuhri: Berdakwah dan Berpolitik
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Jelang 100 Tahun Saifuddin Zuhri: Berdakwah dan Berpolitik

Di hari-hari menjelang peringatan 100 tahun Saifuddin Zuhri, kita mengalami hajatan demokrasi dan Ramadan. Perkara politik hampir berbarengan dengan semaian dakwah selama bulan suci.

Konon, politik tak pernah mau istirahat, jeda, atau tidur. Politik selalu ada. Kita cuma ingin mengartikan politik itu berkaitan dakwah. Politik dalam takaran terbatas. Kita sudah capek mengalami bulan-bulan ruwet dan amburadul. Politik masih kita artikan asal berkaitan dakwah mumpung Ramadhan.

Tokoh kelahiran Sokaraja, 1 Oktober 1919, memiliki biografi sebagai santri, guru, wartawan, ulama, dan politikus. Ia membentuk diri sejak masa kolonial sampai masa Orde Baru.

Berdakwah dan berpolitik menjadi paket dalam memahami Islam dan Indonesia. Ia berasal dari keluarga berlatar pedagang dan petani kecil tapi sanggup menempuhi jalan besar: dakwah dan politik.

Bermula dalam menempuh pendidikan di Madrasah Mambaul ‘Ulum (Solo), Saifuddin Zuhri sadar situasi tanah jajahan dan menunaikan maksud-maksud pemuliaan Indonesia. Solo menjadi ruang memikirkan pelbagai hal dan membuat keputusan-keputusan di pembentukan biografi.

Pada masa berbeda dan dewasa, ia pernah menjadi Sekjen PB NU dan redaksi Duta Masyarakat. Ia pun berjalan di politik. Kita mengingat Saifuddin Zuhri adalah anggota parlemen, DPA, dam Menteri Agama. Pelbagai predikat dimiliki dengan tumpukan tanggung jawab dan risiko.

Ia selalu ingin memajukan Islam dengan dakwah dan memuliakan Indonesia di kerja-kerja politik. Sekian pengalaman dan pemikiran diwariskan pada kita melalui buku-buku sudah terbit: Agama Unsur Mutlak dalam Nation Building, Guruku Orang-Orang dari Pesantren, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, Kaledioskop Politik Indonesia, dan Unsur Politik dalam Dakwah. Kita memilih untuk mengulas sepintas dua buku berjudul Guruku Orang-Orang dari Pesantren dan Unsur Politik dalam Dakwah.

Kita mulai dengan peristiwa menghebohkan tapi kadang terlupa. Kita mencuplik dari buku garapan Tempo berjudul Apa dan Siapa: Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982. Kita membaca sikap beragama dan berpolitik Saifuddin Zuhri:

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (24): Kitab Sakti Mujarobat Karya Syekh ad-Dairobi

“Pada suatu bulan puasa di tahun 1962, RRI memberitakan: Presiden Soekarno bersantap siang dengan Jaksa Agung AS Robert F Kennedy. Esoknya dalam omong-omong dengan anak buahnya di kantor Duta Masyarakat, Saifuddin Zuhri menyesalkan tingkah Presiden yang makan siang itu – justru di saat umat Islam Indonesia berpuasa.”

Kita berhak memberi tanggapan sikap itu cenderung menginginkan keejawantah agama atau keinsafan atas tata politik global. Saifuddin Zuhri berani bersikap meski masa 1960-an agak mengabaikan hak-hak protes atau menggugat ke penguasa.

Keberanian dalam dakwah dan politik dibentuk oleh para teladan di pesantren, pergaulan pers, komunitas politik, dan keranjingan membaca buku. Konon, ia malah terkena asma gara-gara alergi terhadap debu buku.

Tapi a emoh kapok. Saifuddin Zuhri malah rajin menulis buku-buku. Di situ, ia memberi persembahan pemikiran dalam dakwah dan politik, bukan “demi” membikin para pembaca “sakit” dalam beragama dan berbangsa-bernegara.

Saifuddin Zuhri (1974) menerangkan para guru dan teladan dalam membentuk kemauan berdakwah dan berpolitik, selama puluhan tahun:

“Orang-orang dari pesantren itu adalah warga masyarakat kita. Mereka seperti juga yang lain-lain telah berbuat sesuatu untuk bangsanya, untuk tanah airnya. Mereka bukanlah segolongan manusia yang mengasingkan dirinya karena pesantren bukanlah suatu ‘benteng’ tertutup.”

Baca juga:  Mengenal Muhammad Zekki, Gen Z dari Madura di Tanah Suci

Ia pun membuktikan dengan pelbagai kerja dan pemaknaan selama menempuhi jalan dakwah dan politik.

Buku berjudul Guruku Orang-Orang dari Pesantren memuat pengakuan bahwa selama di pesantren dan kampung, Saifuddin Zuhri mendapat pengaruh dari kaum pergerakan nasional. Gambar, poster, dan tulisan-tulisan mereka masuk ke pesantren.

Saifuddin Zuhri dan para santri bergairah mengobrolkan tema-tema imperialisme, kapitalisme, nonkooperatif berbarengan dengan diskusi mengenai fa’il, naibul fa’il, anwa’uz zakat, mad wajib muttashil. Sejak mula, politik dan dakwah itu dua sejoli.

Kita mengutip pemikiran politik Saifuddin Zuhri dari buku berjudul Unsur Politik dalam Dakwah. Pengertian baku tanpa ragu:

“Politik sebenarnya tidak ubahnya dengan upaya menata masyarakat. Melandasi masyarakat dengan al karimah, menggugah mereka dengan hikmah yang mulia, mempersatukan mereka dengan sikap persaudaraan dan kasih sayang.”

Ingat, politik bukan dalih dan pamrih meraih kekuasaan atau menjadikan diri adalah pejabat bergelimang harta. Ia berlanjut memberi ketegasan: “Politik bukanlah benda yang tercecer dari haribaan Islam.”

Sekian hari lalu, jutaan orang sudah mencoblos mengesahkan agenda demokrasi. Pemilu berlalu dan kita menunggu hasil dengan sabar. Pengertian pemilu masa lalu dan masa sekarang mungkin tak terlalu beda. Kita ingin menampilkan lagi pemahaman Saifuddin Zuhri berlatar masa Orde Baru:

Baca juga:  NU dan Tradisi Otokritik: KH M. Hasyim Asy'ari Saja Dikritik

“Pemilu yang bertujuan membina kehidupan politik dan ketatanegaraan yang demokratis, yang mengembangkan pemerintahan yang adil dalam mengayomi sekalian rakyat untuk meratakan penunaian amanat keadilan dan kemakmuran kepada yang berhak menerimanya, untuk menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan, maka pemilu yang bertujuan demikian itu bukan lagi urusan duniawi akan tetapi telah berubah menjadi urusan ukhrowi, maka melaksanakannya termasuk ‘ibadah’ juga.”

Indonesia diinginkan berdemokrasi dengan keragaman adat, agama, dan ideologi. Pemilu itu bermisi mulia, bukan melulu kekuasaan.

Di pelbagai peristiwa politik, pemberian pemikiran dan tanggapan bermisi dakwah memang penting untuk mengajak umat Islam santun, bertanggung jawab, toleransi, dan memenuhi hak-kewajiban.

Ikhtiar menunaikan dakwah bukan dengan cara-cara sembrono seperti berlangsung selama 2018-2019: politisasi agama atau politisasi dakwah. Saifuddin Zuhri justru mengesankan ingin menjadikan dakwah itu “menghaluskan” politik.

Di gelanggang politik, orang-orang gampang bersengketa dan bermusuhan. Semua ingin berpengaruh, menang, berkuasa.

Saifuddin Zuhri sengaja membentuk politik itu santun, lembut, dan ramah. Referensi agama digunakan dalam mengartikan politik agar memungkinkan kehidupan bersama secara harmonis dan demokratis. Begitu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top