Sedang Membaca
Kisah-kisah Petasan dalam Buku Lawas
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Kisah-kisah Petasan dalam Buku Lawas

Di Indonesia, petasan pernah didamba menjadi pemicu hiburan di hari atau bulan istimewa. Kini, kita sejenak ingin melacak sejarah pengenalan dan pemaknaan petasan, mercon, kembang api, atau segala benda mengandung bahan peledak di Indonesia dalam peringatan atau keramaian.

Ingatan bersumber dari bacaan-bacaan lawas. Ingatan agak penting setelah pihak polisi setahun lalu mulai melarang peredaran petasan.

Pada 2018, Ramadan tak lagi seberisik masa lalu saat bocah-bocah di jalan bermain petasan. Malam terasa tenang tanpa ledakan dan teriakan. Polisi terus mengadakan operasi di pelbagai kota agar petasan-petasan gagal beredar dan menimbulkan petaka: kebakaran, pertengkaran, dan tubuh terluka. Petasan dinostalgiakan demi Ramadan tanpa ledakan.

“Pada hari raja  sehari sebeloem Sjawal  akoe lihat bapakoe memasang petasan, diseboetnja ‘mertjoen tikoesan.’ Demi soemboenja dimakan api, ditjampakkannja mertjoen itoe ketanah, tiada berboenji. Segeralah akoe poengoet dan akoe tioep-tioep apinja itoe, tiada djoega berboenji. Laloe akoe benamkan dalam api bara didapoer, akoe golek-golekkan dengan sebatang bilah, tiba-tiba menjemboer boenga api, laloe berboenji mertjoen itoe seperti boenji bedil.”

Kalimat-kalimat itu bercerita urut tentang penasaran bocah untuk menikmati ledakan petasan. Bagaimana nasib si bocah? Kita lanjutkan ke dua kalimat mengejutkan:

“Demi tersemboer moekakoe oleh boenga api itoe, bangkitlah akoe sambil berteriak. Seketika itoe datanglah iboe bapakoe berlari-lari menengok, dilihatnja kain badjoekoe dimakan api, laloe ditanggalkannja dan diloemoernja moekakoe dengan poetih teloer mentah.” Bocah itu jadi korban: menangis dan terluka.

Baca juga:  Resensi Buku: Mbah Moen Sang Kiai Teladan

Petikan cerita itu terdapat dalam buku otobiografi berjudul Amiroeddin oleh Amiroeddin, diterbitkan G Kolff & Co, Batavia. Cerita berlangsung di Temanggung. Orang-orang memang sudah biasa bermain petasan saat Ramadhan dan Lebaran. Bocah sampai orang tua ingin mendapat sensasi “ledakan seperti boenji bedil” dan “semboeran boenga api”.

Tangisan dan luka jarang membuat kapok. Mereka ingin bulan suci tak sepi. Suara dan api dianggap membuat hari-hari berpuasa jadi meriah. Keramaian sangat diinginkan, bukan hening sepanjang hari. Amiroeddin menceritakan petasan pada akhir abad XIX.

Cerita tentang petasan tak cuma Ramadan dan Lebaran. Di tanah jajahan petasan sering meledak pada peringatan tahun baru Masehi dan Imlek. Suara-suara jadi tanda keramaian. Kebiasaan itu telah berlangsung sejak ratusan tahun silam.

Di Jawa dan Sumatra, bocah-bocah mudah tergoda membuktikan girang dengan bermain petasan. Ledakan dan bunga api ada di kota-kota dan desa-desa pedalaman. Marieke Bloembergen (2011) mencatat bahwa pernah terjadi keributan di Surabaya, 1912.

Keributan bermula dari larangan polisi pada penduduk keturunan Tionghoa saat membakar kembang api dan petasan saat Imlek. Setahun setelah kejadian, polisi memberlakukan pelarangan membakar petasan di jalan umum. Setiono (2008) menulis bahwa pelarangan petasan berakibat kemunculan konflik sosial-politik semakin rumit berlangsung di kota-kota di Jawa.

Baca juga:  Belajar Bijak Dari Kitab Belut Nusantara

Larangan diadakan pemerintah atau polisi tapi orang-orang di negeri jajahan tetap membuat ledakan dan bunga api. Petasan masih terlalu sulit sirna. Petasan masih diceritakan dalam bacaan bocah lawas berjudul Si Samin garapan Mohammad Kasim, terbitan Balai Poestaka, 1924. Cerita berlangsung di dusun di Sumatra. Bocah bernama Samin ingin mencoba turut berpuasa. Kedatangan bulan Ramadhan di dusun ditandai dengan suara beduk dan orang-orang mandi di sungai. Mohammad Kasim menceritakan:

“Mendjelang matahari terbenam, berboenjilah bedoek, menjatakan besoknja orang moelai poeasa. Orang poen ramailah pergi ke soengai akan berlangir, laki-laki dan perempoean. Akan anak-anak itoe boekanlah main girangnja, bergoeraoe senda sambil memasang mertjoen.” Hari itu mesti ramai, tak membisu atau hening. Petasan jadi pilihan untuk pembuktian bocah-bocah sedang girang. Mereka sadar risiko tapi memilih teriak dan tertawa bersama setelah ledakan-ledakan.

Masa demi masa, petasan sering jadi cerita khas di Indonesia. Korban-korban berjatuhan tapi kita sulit memusnahkan petasan. Larangan demi larangan terus dikeluarkan pemerintah meski tak manjur.

Pada masa 1950-an, cerita petasan masih ada bertokoh Koentjoeng, bocah di Pedan, Jawa Tengah. Koentjoeng itu tokoh dalam buku Tataran garapan R Wignjadisastra, terbitan JB Wolters, Groningen-Jakarta, 1950. Koentjoeng mendapat nasihat bapak agar tak membelanjakan uang untuk mercon atau petasan. Koentjoeng menjawab:

Baca juga:  Sabilus Salikin (97): Tarekat Kubrawiyah

“Pije ta, Pak? Wong bakda-bakda, djare ora toekoe mertjon.” Bapak memberi cerita bahwa Tegoeh jadi korban petasan, berakibat mata cacat. Koentjoeng pun menuruti nasihat. Bapak malah membelikan Koentjoeng “sandangan sing apik-apik.”

Petasan itu petaka! Kini, petasan terlarang meledak. Petasan atau mercon tak mutlak ada jika menghasilkan cerita duka dan kematian. Kita mungkin berpikiran mengakhiri ketagihan petasan atau kembang api. Ramadhan dan Lebaran tanpa petasan pun tetap bermakna istimewa. Begitu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top