Sedang Membaca
Hari Anak: Mengenang Ibu Sud, Ibu Senandung Indonesia
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Hari Anak: Mengenang Ibu Sud, Ibu Senandung Indonesia

1 Bu Suud

Kita menjelang seabad lagu-lagu gubahan Ibu Sud atau Saridjah Bintang Soedibjo. Ia mulai menggubah lagu anak-anak pada masa 1920-an. Lagu-lagu dengan lirik berbahasa Indonesia. Konon, lagu digunakan “melawan” atau “bersaing” dengan pengajaran lagu anak-anak di sekolah selalu berbahasa Belanda.

Pada masa muda, ia menggubah lagu dan turut dalam pergerakan kebangsaan. Pengabdian menghibur anak-anak dengan lagu menggerakkan sejarah merdu, terwarisi sampai masa sekarang. Lagu-lagu masih mungkin disenandungkan paling lawas bertahun 1930-an. Kita belum mendapat dokumentasi lagu-lagu digubah masa 1920-an.   

Ibu Sud lahir di Sukabumi, 26 Maret 1908. Ratusan lagu digubah menjadikan Indonesia bersenandung merdu sepanjang masa. Ia termasuk pemula. Kita malah bisa menjuluki Ibu Sud adalah “Ibu Lagu (Anak) Indonesia”. Tokoh penting dan berpengaruh tapi orang-orang jarang mengingat nama bila bersenandung “Kereta Apiku”, “Hai, Becak”, “Berkibarlah Benderaku”, “Menanam Jagung”, dan lain-lain. Jutaan orang gampang melupa. Sekian orang malah bertindak ngawur dan meremehkan dengan mencantumkan nama penggubah adalah “anonim”.

Pengakuan diberikan negara pada 27 Oktober 1992. Ibu Sud menerima Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama. Penghormatan atas jasa besar memberi ratusan gubahan lagu. Di majalah Bobo edisi 7 Januari 1993, kita simak penjelasan Ibu Sud:

“Sejak tahun 1924. Lagu-lagu yang telah ibu gubah mungkin sudah sekitar 300-an. Pada zaman Belanda dulu, lagu-lagu sering disiarkan oleh stasiun radio Belanda, VORO (Vereniging voor Oosterse Radio Oemroep). Kemudian dicetak untuk diajarkan di sekolah dasar. Sekarang, lagu-lagu ibu diterbitkan lagi berupa kumpulan lagu anak-anak: Ketilang, Seruling, dan Lagu-lagu Rohani untuk Anak-anak.”

Baca juga:  Selir, Gundik, atau Harem dalam Pandangan Islam

Rekaman lagu-lagu lama mungkin sulit ditemukan. Buku-buku lagu masih bisa ditemukan dalam edisi cetak, sejak masa 1950-an. Di Bilik Literasi (Solo), kita masih bisa membaca buku Ibu Sud berjudul Ketilang terbitan Gramedia, 1990. Buku tipis tapi “menebalkan” sejarah musik dan pendidikan-pengajaran bagi anak-anak di seantero Indonesia. Di situ, ada 60 lagu. Sekian lagu terkenal sudah diakrabi anak-anak dan para guru. Pengetahuan belum rajin dikabarkan adalah tahun-tahun menggubah lagu. Lagu berjudul “Kereta Apiku” digubah pada 1934, “Burung Ketilang” pada 1936, “Hujan” pada 1938, “Menanam Jagung” pada 1942, “Hai, Beca” pada 1942, dan “Tanah Airku” pada 1960.

Kita mengutip lirik lagu kondang tapi bocah jarang mengetahui nama penggubah lagu. Lagu berjudul “Pergi Belajar” digubah Ibu Sud pada 1943. Kita ingat itu masih masa pendudukan Jepang. Lirik mungkin merekam situasi zaman. Latar zaman itu jarang mendapat penjelasan. Kita mengutip lirik:

O, Ibu dan Ayah, selamat pagi/ Kupergi belajar sampaikan nanti/ Selamat belajar, Nak, penuh semangat/ Rajinlah selalu tentu kau dapat/ Hormati gurumu sayangi teman/ Itulah tandanya kau murid budiman. Lirik itu teringat jutaan orang meski jarang mengetahui lirik lanjutan. Kita mengutip: O, Ibu dan Ayah, terima kasih/ Kupergi sekolah sampaikan nanti/ Latihlah badanmu, Nak, supaya sehat/ Latihlah batinmu supaya kuat/ Tetapkan hatimu gagah berani/ Selalu gembira dan lurus hati.

Baca juga:  Sufi Perempuan: Umm Abdullah Putri Khalid ibnu Ma’dan

Lagu-lagu “penting” memiliki kaitan biografis dan situasi zaman. Kita membuka buku berjudul Sumbangsihku Bagi Pertiwi I (1982) dengan editor Lasmidjah Hardi. Ibu Sud mengenang: “Bagi saya, mengarang lagu bukanlah pekerjaan yang mudah walaupun musik adalah dunia saya… Dalam hal diri saya, mengarang lagu adalah suatu pengabdian, suatu kebaktian kepada dunia kanak-kanan. Dengan harapan bahwa apa yang saya ciptakan itu dapat membantu mereka bersemangat dalam hidupnya, untuk dapat mencintai tanah air, bangsa dan bahasanya. Semangat generasi tahun 1928 ketika itu meledak-ledak dalam diri saya. Saya ulangi, saya bukan ahli politik. Namun, apa yang diabadikan oleh Sumpah Pemuda adalah tujuan kita semua.”

Masa demi masa, Ibu Sud mengalami segala suka-duka dalam lakon kolonial Belanda dan pendudukan Jepang. Ia bersikap dengan gubahan lagu, selain bergabung dengan perkumpulang kebangsaan sandiwara. Kehidupan diri dan keluarga dalam gejolak, Ibu Sud tetap menunaikan pengabdian: menggubah lagu. Babak menentukan terasakan pada masa 1940-an. Kebijakan-kebijakan Jepang menimbulkan derita mendalam. Ibu Sud tetap tangguh dengan segala keterbatasan. Pengakuan: “Saya harus bekerja, saya tak dapat menganggur. Saya harus mencari nafkah. Selain itu, jika saya kembali mengajar, bukankah saya menjadi guru untuk anak-anak Indonesia. Pendidikan untuk anak-anak lebih baik terus berlangsung. Saya bekerja bukan untuk Jepang tetapi saya menjadi guru untuk bangsa saya sendiri. Tak apalah.” Kita mulai mengerti dalih dari penggubahn lagu berjudul “Pergi Belajar”.

Baca juga:  Kisah Sinta Nuriyah: Cinta, Toleransi Agama hingga Sahur Bersama

Di majalah Bobo, 7 Januari 1993, kita mendapat pengakuan bahwa lagu berjudul “Hujan” digubah “berdasarkan pengalaman pahit karena rumah sewaan bocor.” Ibu Sud enggan mengeluh dan kecewa. Melihat hujan masuk rumah, ia memilih memberi persembahan lagu. Bocah-bocah enteng saja bersenandung: “Tik, tik, tik, bunyi hujan di atas genting….” Ibu Sud peka alam dalam mengajar anak-anak melalui gubahan lagu. Sekian lagu mengenai nasionalisme dan biografis. Sekian lagu lagi bercerita alam.

Pada 1940-an, Ibu Sud menggubah lagu berjudul “Menuai”. Lagu lawas itu menang dalam festival lagu anak-anak di Jepang (1992). Di buku Ketilang, kita membaca lagu berjudul “Menuai” digubah pada 1938. Lirik sederhana:

Tengok padiku berjurai-jurai/ Warnanya kuning tandanya masak/ Ditiup angin lambai-melambai/ Bagaikan ombak beriak-riak.// Berduyun-duyun orang menuai/ Bersenda gurau bersuka ria/ Riuh bunyinya sorak dan sorai. 

Ratusan lagu diwariskan kepada kita. Malas dan lupa menjadikan warisan-warisan Ibu Sud sering kehilangan cerita dan latar zaman. Di sekolah dan rumah, bocah-bocah terus bersenandung menjadikan amal Ibu Sud tak terputus. Kita masih saja telat memberi penghormatan dalam mengisahkan sosok dan menemukan keterangan-keterangan di balik penggubahan lagu. Begitu. 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top