Sedang Membaca
Hari Anak: Masih Ingat AT Mahmud? Jangan Dilupakan Yaa…
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Hari Anak: Masih Ingat AT Mahmud? Jangan Dilupakan Yaa…

1 At Mahmud

Pada suatu masa, Tasya menggemaskan penonton. Ia bersenandung lagu-lagu gubahan AT Mahmud. Para penonton menduga Tasya adalah ahli waris sah atau (paling) cocok membawakan lagu-lagu riang persembahan AT Mahmud. Kita masih memiliki ingatan kuat saat Tasya berdendang: “Kemarin, paman datang, pamanku dari desa…” Pada saat menonton, orang-orang diingatkan desa tapi memahami Tasya adalah bocah bertumbuh di kota.

Indonesia abad XX masih memungkinkan bocah-bocah bergembira bersama Tasya. Mereka mengenali artis cilik, belum tentu penggubah lagu. Di depan televisi, bocah-bocah bersenandung dan bergerak: “Libur telah tiba, libur telah tiba…” Lagu bakal sulit bermakna setelah setahunan lebih Indonesia menanggungkan wabah. Libur terasa hancur bagi bocah-bocah di seantero Indonesia. Mereka pun tak lagi mengingat Tasya  dan AT Mahmud.

Tasya berada pada masa keberuntungan berbarengan bocah-bocah masih ingin lagu-lagu berbahasa Indonesia: ceria dan enteng. Tasya tenar dalam kancah industri ditambahi film. Pada saat meraih sukacita dalam musik, Tasya bersedih atas kepulangan AT Mahmud. Tasya itu cucu. AT Mahmud itu kakek. Sosok sebagai kakek bagi jutaan bocah di Indonesia. Episode pernah teringat publik Indonesia, sekian tahun lalu.   

Kini, Tasya sudah dewasa. Para penonton dan pengagum pada masa lalu juga bertambah usia. Mereka tak lagu melantunkan lagu-lagu bocah. Pada pertambahan usia, lagu-lagu dewasa dengan beragam milik membentuk biografi. Lagu bocah adalah nostalgia. Di ingatan bersama, Tasya mungkin diinginkan tetap kecil saja dan AT Mahmud terus menggubah lagu-lagu merdu membahagiakan Indonesia. Puluhan tahun, AT Mahmud sudah memberi lagu-lagu. Pada saat bersua Tasya, ia sudah menua dan menikmati kenangan-kenangan.

Baca juga:  Dialog Imajiner Djaduk Ferianto dan Didi Kempot: Tak Ada Kaplingan di Surga

AT Mahmud juga mewariskan buku-buku mendokumentasi lagu-lagu pernah digubah. Puluhan lagu terus disenandungkan sampai sekarang. Di Bilik Literasi (Solo), tersimpan Gita Puspa dan tiga jilid Pustaka Nada terbitan Gramedia. Ada juga Pustaka Nada sejilid tebal terbitan Grasindo. Ratusan lagu diwariskan untuk anak-cucu di Indonesia. AT Mahmud beruntung masih memungkinkan membuat dokumentasi berupa buku cetak. Rekaman-rekaman di studio masa lalu mungkin masih sulit lengkap dikumpulkan.

Lagu teringat lirik dan nada: “Pelangi, pelangi, alangkah indahmu…” Lagu biografis termiliki bocah-bocah di Indonesia dengan memandangi langit. Lagu digubah dalam peristiwa naik sepeda motor bersama anak. Tiba di rumah, gitar dipegang untuk merekam peristiwa bersama menjadi lagu terkenang sepanjang masa. Lagu pendek tapu berusia lama.

AT Mahmud menjadi saksi sejarah di Indonesia. Kesaksian kadang menjadi lagu. Pada 1948, ia menggubah lagu berseru naasionalisme. Ia mengerti Indonesia memerlukan lagu-lagu pembangkit semangat. Ia berada dalam situasi berkesenian mirip Ibu Sud. Lagu demi Indonesia. Biografi penggubah lagu anak di Indonesia seperti dikodratkan di titian pendidikan-pengajaran. AT Mahmud pun guru seperti Pak Kasur. Ia mengajar dan berdendang.

Pada masa 1960-an dan Orde Baru, AT Mahmud beruntung sebagai pemberi pesan dan hiburan bagi anak-anak melalui majalah dan siaran di TVRI. Kita simak penjelasan di buku berjudul AT Mahmud Meniti Pelangi (2003) dengan editor YB Sudarmanto. Ia menghibur dengan acara “Ayo Menyanyi”. Di depan televisi, bocah-bocah bergembira dan belajar bersenandung. Acara itu memoncerkan lagu-lagu gubahan AT Mahmud, Ibu Sud, Pak Dal, dan lain-lain.

Baca juga:  Bu Prani dan Budi Pekerti

Kehadiran AT Mahmud dalam situasi Indonesia masih menginginkan lagu-lagu anak terdengar di radio atau ditonton di televisi. Buku-buku lagu juga diperlukan dalam pendidikan di sekolah-sekolah. Publik masih memiliki kemauan membeli dan mengoleksi kaset (pita). Acara-acara pentas hiburan atau lomba memungkinkan lagu-lagu anak terakrabi di desa dan kota.

Masa demi masa, pengakuan atas pengabdian dan persembahan AT Mahmud diberikan pemerintah dan pelbagai pihak. Pada 1999 saat Indonesia masih ruwet dan dirundung duka, AT Mahmud menerima Piagam Hadiah Seni dari pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Pada 2001, penghormatan diberikan kepada AT Mahmud bersamaan pemutaran film bertema anak garapan Garin Nugroho di Taman Mini Indonesia Indah. Ia menerima penghargaan diterangkan dalam lontar diserahkan oleh Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri. Di situ, terbaca: “Untuk yang mencipta melintasi keberagaman budaya, memberi keindahan dan kemuliaan keberagamaan hidup.” 

Puluhan tahun, AT Mahmud berada dalam ketekunan menggubah lagu anak. Sekian orang mengingat lagu-lagu digubah AT Mahmud. Sekian orang telanjur tak memikirkan nama penggubah setelah bersenandung sekian lagu biasa diajarkan saat bocah di TK atau rumah. AT Mahmud mungkin masih agak beruntung dikenali melalui kemonceran Tasya. Kita mengerti lagu-lagu kadang menakjubkan bila digarap dalam industri musik selain pendidikan-pengajaran sederhana. 

Baca juga:  Kisah Kuil Amun dan Alexander the Great 

Kita tentu masih ingat:

Ambilkan bulan, Bu, ambilkan bulan, Bu/ Yang selalu bersinar di langit/ Di langit bulan benderang/ Cahayanya sampai ke bintang/ Ambilkan bulan, Bu, untuk menerangi/ Tidurku yang lelap di malam gelap.

Lagu mengingatkan masa-masa kehangatan antara bocah dan ibu. Lagu itu membuka nostalgia pengasuhan masih memungkinkan bocah-bocah melihat dan mengamati bulan. Pada masa-masa berbeda, melihat bulan menjadi peristiwa tak wajar saat bangunan-bangunan tinggi membikin kota-kota terasa sesak. AT Mahmud merekam zaman, menaruh biografi, dan mengajak bocah-bocah mengerti nasib bakal teralami pada masa-masa tak selalu indah seperti silam. Begitu. 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top