Acara akbar menggunakan bahasa asing dalam penjudulan sedang digelar di Jakarta Convention Center, Jakarta, 18-22 April 2018. Orang-orang mengenali acara itu Islamic Book Fair 2018. Konon, acara perbukuan termasuk terbesar di Asia Tenggara. Sajian buku-buku Islam ingin mengumandangkan pengharapan mengubah lakon perbukuan di Indonesia. Ikhtiar semakin sah dengan kehadiran para pejabat dan ulama.
Acara itu diselenggarakan sejak 2001 oleh Ikapi DKI Jakarta. Setiap tahun, Islamic Book Fair diadakan tanpa memastikan menguak (lagi) sejarah penerbitan buku Islam dari masa lalu. Urusan pameran buku mungkin melulu penghadiran puluhan penerbit, diskusi buku, penjualan, atau berpotret diri demi hadiah.
Peristiwa berulang rutin belum mengundang suguhan imbuhan berupa penulisan dan penerbitan buku dokumentatif berisi kesejarahan penerbitan buku di pelbagai kota seantero Indonesia. Acara malah sering memberi laporan jumlah pengunjung, angka transaksi, dan penghargaan ke tokoh. Konon, berliterasi berarti insaf ingatan-dokumentatif ketimbang selebrasi menginginkan dipotret atau menghasilkan berita kecil di pelbagai koran.
Panitia Islamic Book Fair 2018 melaporkan bahwa peserta pameran ada 151 penerbit. Para pengunjung berdalih wisata literasi atau pembaca buku tulen disediakan menu berlimpahan: 53 ribu judul buku. Jumlah penerbit anggap saja sedikit menilik jumlah penduduk dan kerja memenuhi hak pembaca.
Laporan agak menggirangkan meski ada pemakluman sesuai penjelasan resmi panitia. Konsep pameran di Jakarta itu wisata literasi Islami (Republika, 19 April 2018). Kaum gandrung buku mungkin beranggapan terjadi “peremehan” dalam peradaban buku di Indonesia. Sebutan wisata terasa aneh.
Kita sejenak berjarak dengan Islamic Book Fair 2018. Pada masa lalu, penerbit-penerbit buku agama di pelbagai kota telah menunaikan misi literasi. Mereka belum sempat mengikuti acara-acara akbar tapi telanjur berpamit dari kancah perbukan di Indonesia. Penerbit-penerbit lama melulu milik masa lalu.
Kita jarang lagi menjenguk berpamrih mengetahui geliat literasi atau memberi penghormatan atas kerja beraksara saat Indonesia masih berlakon tanah jajahan. Mereka itu masa lalu tak mendapat penceritaan atau tempat di pameran-pameran buku bercap Islam bertaraf lokal atau internasional.
Di Solo, sejarah itu bergerak dan “menghilang” tanpa selebrasi tabur bunga atau ucapan duka. Dulu, penerbit terkenal di kota pernah mencipta sejarah bernama AB Sitti Sjamsijah. Penerbit itu menentukan arus perbukuan di tanah jajahan, mengadakan terbitan buku-buku agama dalam kemasan bersahaja, tipis, dan harga terjangkau.
Penerbit beralamat di Solo itu pernah bersemi meski harus pamitan tanpa sempat memicu pendokumentasian berupa buku. Ingatan belum tercatat utuh saat kita mendapati pasang-surut penerbit buku agama di Indonesia abad XXI.
Kita sejenak mengingat sekian buku terbitan AB Sitti Sjamsijah dan penerbit-penerbit partikelir di Solo. Pada 1927, AB Sitti Sjamsijah menerbitkan buku berjudul Igama dan Pengetahoean garapan Kyai Moechtar Boechary. Tampilan buku sederhana, memiliki tradisi dengan memasang foto penulis. Buku berbahasa Melajoe dan beraksara Latin.
Kita menduga orang-orang sudah melek aksara, sadar zaman “kemadjoean” ditandai pikat mesin cetak, dan kesanggupan berliterasi Islam. Taraf pendidikan di Indonesia perlahan maju memungkinkan pemenuhan hak berliterasi mengacu ke agama. Islam pun terpahamkan dengan bacaan, tak tergantung khotbah-khotbah atau seruan di pertemuan-pertemuan akbar. Orang membaca buku berdalih mengerti agama.
Kita mengutip dulu penjelasan maksud Kiai Moechtar Boechary menulis buku:
“Sebenarnja ini karangan hanja menoeroet dari karangannja orang-orang pandai, seperti Sajid Rasjid Ridla, Farid Wadji sesamanja, saja laras dengan keadaan bangsa kita. Sedapat-dapat semoea masalah akan saja beri alasan dari ajat Al Qoeran, hadits, qaoel oelama dan kata orang-orang pandai di Europa dan Amerika.”
Si penulis tampak memiliki pergaulan buku dari pelbagai penjuru peradaban literasi, tak cuma berkiblat ke Mesir atau negeri-negeri di Timur Tengah.
Pada masa berbeda, AB Sitti Sjamsijah menerbitkan buku berjudul Kitabun Nijjati Wal Ichlashi Wash Shidqi ditulis oleh Raden Ngabehi Ihsanudin. Buku tipis, 20 halaman. Dulu, orang membaca buku tipis mungkin terasa mengena ketimbang membaca buku-buku tebal dan berat.
Pembuatan buku tipis secara serial berdalih agar buku-buku bisa dibeli umat dan berlangsung kesinambungan dalam pembacaan. Buku itu menggunakan bahasa Jawa dengan aksara Latin. Pengutipan dari Alquran menggunakan aksara Arab. Kita mengandaikan penerbit di Solo mengerti pilihan mesin cetak, aksara, dan dampak literasi bagi umat Islam dengan pendidikan modern atau pesantren.
Dua buku terbitan AB Sitti Sjamsijah memiliki sasaran pembaca berbeda: berbahasa Melajoe dan berbahasa Jawa. Pilihan ke aksara Latin mungkin demi teknis cetak dan penerimaan laju modernitas beraksara akibat pendidikan bentukan pemerintah kolonial Belanda dan pergaulan para ulama atau cendekiawan Indonesia dengan pelbagai pusat peradaban di Asia, Eropa, Timur Tengah, dan Amerika.
Penerbit memiliki kebijakan dalam memajukan umat Islam di titian literasi, bersimpang jalan dengan perintah-perintah keaksaraan dari kolonial melalui Balai Poestaka.
Penerbit-penerbit partikelir berpanji Islam di tanah jajahan memiliki tata cara berbeda dari penerbit milik pemerintah. Puluhan sampai ratusan judul diterbitkan memenuhi keinginan umat Islam terpelajar membaca buku. Di Solo masa lalu, ada penerbit-penerbit berbeda dalam pengadaaan buku agama.
Pada 1926, Taman Poestaka Soerakarta (Moehammadijah) menerbitkan buku berukuran saku berjudul Wangsoelan Kang Titis. Buku ditulis oleh R Ihsan. Penulisan buku menggunakan pustaka dari pelbagai negeri. Penulis tampak telaten membaca buku-buku dan menuliskan ke pembaca di Indonesia.
Tahun demi tahun berlalu. Pada 1935, terbit buku berjudul Risalah Valakijah oleh Al Maktabatoel Ma’moerijah. Penulis buku bernama Mohammad Amien. Buku berukuran besar dengan isi 55 halaman. Buku berbahasa Jawa. Dulu, orang-orang ingin mengerti dan mendalami agama dengan membaca buku memiliki pilihan bahasa: Melajoe, Jawa, Belanda, dan Arab. Di Jawa, AB Sitti Sjamsijah dan penerbit-penerbit partikelir sering menerbitkan buku dalam bahasa Melajoe dan Jawa.
Pilihan bahasa memang berkonsekuensi ke pemahaman pembaca dan keinginan mendakwahkan ke sesama. Pengakuan Mohammad Amien:
“Menggah oekaranipoen koela damel kanti ngoko kemawon, bok manawi saged anggampilaken toemrap para ingkang sami njinaoe. Boten langkoeng saking pamoedji saha pangadjeng-adjeng koela moegi-moegi kitab risalah karangan koela sadajadipoen tampi dening Allah Soebchanahoe Watangala, minangka leladoes koela dateng agama Islam saha para moeslimin.”
Penggunaan bahasa Jawa bertaraf ngoko disengaja agar isi buku mudah dimengerti pembaca.
Ingatan pada sekian penerbit dan buku dari masa lalu itu belum pernah lengkap dan muncul di buku-buku dokumentatif. Kini, para penggerak literasi Islam mungkin cenderung berpikir mutakhir ketimbang “memanggil” sejarah perbukuan agama masa lalu untuk disampaikan ke umat.
Pembuatan sekian pameran buku akbar dan diskusi-diskusi buku agama terasa gampang meninggalkan “sejarah” di sepi dan kemurungan. Begitu.