Junaidi Abdul Munif
Penulis Kolom

Pengurus Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Semarang

Marbot Mahasiswa di Masjid Perkotaan

Apa jadinya masjid tanpa marbot? Mungkin kita akan mendapati masjid yang kotor dengan lantai bau anyir karena tidak pernah dipel. Azan akan sering telat karena tidak ada orang yang bertanggung jawab mengumandangkannya tiap waktu shalat tiba. Marbot menjadi elemen penting dari eksistensi masjid dan mushala.

Gambaran marbot (garin) hadir dalam cerpen masterpiece AA Navis, Robohnya Surau Kami. Seorang kakek tua menghabiskan sisa umurnya untuk menjadi pengabdi Allah di surau. Waktu menunggu dicumbu Izrail digunakannya untuk beribadah, dan meninggalkan kerja duniawi.

Hidupnya menggantungkan sedekah Jumat, panen ikan dari kolam surau, dan belas kasih orang-orang yang meminta jasanya mengasah pisau. Lalu datanglah Ajo Sidi yang memorakporandakan pemikiran fatalis sang marbot tua. Ajo Sidi menuduh pemikiran kakek sebagai salah satu penyebab kemunduran Islam dan tertinggal dari negara maju. Sang marbot meninggal dengan menggorok lehernya dengan pisau cukur.

Cerpen tersebut menghadirkan juga kondisi surau setelah sang kakek meninggal. Navis menulis: “Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari.”

Kisah lebih kiwari, sinetron Para Pencari Tuhan yang dibintangi Deddy Mizwar (Bang Jack) yang menjadi marbot di sebuah mushala. Bang Jack tinggal bersama 3 pemuda mantan preman yang tobat dan ikut tinggal di mushala. Lika-liku cerita menghadirkan orang-orang di luar masjid yang juga mencari Tuhannya.

Baca juga:  Obituari: Hamsad Rangkuti, Kebohongan yang Indah

Tinggal di tempat ibadah dimaknai sebagai cara untuk mencari dan menemukan Tuhan. Karena di situ akan terjamin bisa shalat jamaah lima waktu, mendaras Alquran, dan mengikuti pengajian keislaman.

Realitas yang berbeda

Namun kini marbot tidak hanya melulu diisi oleh orang tua yang menghabiskan sisa usia untuk beribadah. Di Semarang, -sebagai contoh kecil- kerap ditemui marbot muda yang kinyis-kinyis dan stylish. Mereka masih menyandang status mahasiswa. Tidak sulit menemukan marbot masjid dari kalangan mahasiswa, terutama di masjid perumahan dan sekitar kampus Perguruan Tinggi Agama Islam.

Orang-orang kaya (aghniya’) di kota sangat mudah membangun masjid. Namun mereka tidak memiliki waktu untuk meramaikan dan merawat masjid. Beban perawatan masjid diserahkan pada mahasiswa. Muncul simbiosis mutualisme antara orang kaya dan marbot mahasiswa yang memiliki waktu dan ilmu untuk menghidupkan suasana keislaman di masjid.

Marbot mahasiswa bertanggung jawab pada kebersihan dan kegiatan keagamaan di masjid. Mengumandangkan azan lima waktu dan mengajar ngaji di TPQ yang diselenggarakan di masjid. Mereka memastikan jadwal khatib dan imam shalat Jumat. Yang berpengalaman bahkan harus siap menjadi badal saat sang khatib terjadwal berhalangan. Di luar itu mereka bisa mengajar ngaji secara privat di rumah-rumah jamaah.

Mengapa banyak mahasiswa yang memilih menjadi marbot? Alasan sederhana adalah mereka tak perlu membayar uang kos. Dengan menjadi marbot, mahasiswa mendapatkan fasilitas ruang tidur di salah satu bangunan masjid.

Tugas mereka berat. Di kala mahasiswa bisa nongkrong, mereka mesti stand by untuk azan. Tidak sedikit yang izin di tengah perkuliahan karena harus azan. Di malam Idul Fitri, mereka disibukkan dengan menjadi panitia pengumpulan dan pembagian zakat. Mereka mesti mempersiapkan shalat Idul Fitri dan baru mudik setelah shalat id selesai.

Baca juga:  Wakaf sebagai Jalan Reforma Agraria (2/3)

Dengan jaringan jamaah masjid, -yang kebanyakan adalah orang kaya, membuat mereka sering dimintai tolong  mengorganisir teman-temannya untuk khataman Alquran, membaca manaqib, tahlilan. Karena di kota, berkat dan amplopnya tentu beda dengan di kampung. Tidak jarang dapat sarung, sajadah sebagai berkat.

Nahdliyin

Dari teman-teman kuliah dulu yang memilih menjadi marbot, adalah anak-anak muda nahdliyin yang sebelumnya mengenyam pendidikan di pesantren. Sebagian adalah hafidz (penghafal Alquran), mahir qira’ah, dan lihai menabuh rebana. Oleh sebab itu marbot yang multitalenta akan menambah semaraknya kegiatan masjid.

Namun, sebagian mereka sesungguhnya menghadapi ketegangan eksistensial terhadap tradisi. Sebagai marbot, mereka hanya pelaksana kegiatan masjid. Mereka tidak memiliki wewenang untuk menentukan amaliah kelompok Islam yang dijalankan di masjid. Kebijakan model pengajian, ustaz yang dipilih, ditentukan oleh takmir.

Sering disalahpahami bahwa marbot sama dengan takmir. Padahal keduanya jelas berbeda. Jumlah rakaat tarawih adalah kasus yang sering muncul. Di masjid perkotaan beberapa masjid memilih tarawih 8 rakaat. Namun marbot tidak begitu mempermasalahkannya karena itu merupakan persoalan khilafiah. Mereka sesungguhnya yang menjalankan tasamuh, bersedia mengikuti amaliah furu’iyah yang bukan tradisi Nahdliyin.

Hidup di lingkungan muslim perkotaan yang multi-tradisi dan multi-golongan keislaman, mereka acapkali mendapat pertanyaan dari jamaah tentang dalil amaliah-amaliah NU. Mereka awalnya gelagapan karena sejak di pesantren dalil-dalil amaliah NU bukan kajian utama. Meskipun jawaban-jawaban dalil itu telah tersedia banyak dengan buku hujjah NU ataupun dari situs-situs bercorak nahdliyin.

Setelah menikah

Marbot juga bisa menjadi pilihan meskipun sudah menikah. Beberapa teman kuliah saya dulu yang menjadi marbot, sebagian tetap menjadi marbot setelah menikah. Dede adalah salah satunya. Setelah menikah, istrinya ditinggal di kampung. Dede menjadi guru. sempat mengontrak dan kini kembali menjadi marbot. Masjidnya kini menyediakan tempat yang cukup layak, dan ruko kecil agar istrinya berjualan.

Baca juga:  Meneroka Lokalisasi Melalui Kehidupan Lalat Buah

Rohmat pun setali tiga uang. Setelah malang melintang dari satu masjid ke masjid lain, setelah menikah dia membangun usaha ayam penyet yang cukup laris. Namun apa daya, pemilik lahan berjualannya tidak memperpanjang sewa tempat. Dengan ijasah sarjana pendidikan, dia menjadi guru agama di sebuah MI. Istrinya tinggal di desa bersama anaknya. Dia kini menjadi marbot kembali.

Menguatnya ekonomi masyarakat muslim perkotaan, nalar filantropis yang dibentuk ustadz melalui televisi dan internet, secara langsung berdampak tingkat kesejahteraan marbot mahasiswa. Menjadi marbot tidak lagi menjadi pilihan orang tua dalam mengisi usia senja.

Di tengah konstestasi ideologi keislaman tekstualis yang mengental di muslim perkotaan, marbot mahasiswa ini bisa menjadi juru bicara nahdliyin. Mereka bisa menjelaskan dalil-dalil amaliah NU dan menunjukkan Islam yang ramah dan toleran. Sejauh itu merupakan ibadah ghairu mahdhah dan menyangkut masalah furu’uddin

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top