Sedang Membaca
Anak, Ibu, Alam
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Anak, Ibu, Alam

Anak Bajang Mengayun Bulan

Pertemuan dinantikan sejak lama. Anak menunggu ibu. Mereka terpisah gara-gara gagal memahami perbuatan asmara dan nafsu. Penafsiran tak sempurna atas peristiwa mencari pisang emas dan bersantap pisang emas (gedhang emas mawa teja). Perpisahan pun terjadi. Pembuangan anak setelah perintah dan dilema-dilema susah terjawab. Anak berwajah buruk dibuang di hutan, ditinggalkan dengan tanda-tanda. Waktu terus bergerak. Keterpisahan ibu dan anak menimbulkan pedih, sengsara, sengketa, kangen, dan kematian.

Pada suatu hari, anak buruk rupa dan bertubuh aneh dicap anak bajang telah lama tinggal di hutan kedatangan perempuan dinamakan ibu. Sindhunata mengisahkan babak menakjubkan dan mengharukan: “Tiba-tiba seberkas cahaya turun dari langit. Ketika menyentuh bumi, berubahlah cahaya itu menjadi sosok yang berjalan menuju raksasa bajang. Tak pernah raksasa bajang mengenal makhluk selain dirinya sendiri. Maka terheran-heranlah ia mengamati sesosok makhluk yang sedang menghampirinya.” Perempuan itu ibu lama ditunggu. Kedatangan bersama bulan.

Ibu mendekap anak. Si anak bajang “merasakan kehangatan yang sering ia rindukan.” Pertemuan ibu dan anak: berdekapan. Perempuan itu mengenalkan diri sebagai ibu. Anak bajang terpukau: “Tak dapat ia melukiskan keindahan perempuan itu kecuali dengan menangkapnya dalam keelokan bunga yang sering dijumpainya. Melihat dia, raksasa bajang seperti melihat bunga angsana yang sedang mekar di tepi sungai Cirapatra yang jernih mengalir bagaikan daun panjang sepanjang hutan Jatirasa. Di mata raksasa bajang, perempuan itu bagaikan setangkai angsana, yang sedang mengelopak kuntum-kuntum bunganya. Seperti percik-percik jernih air sungai Cirapatra, sari-sari serbuk bunga jatuh bertebaran, memendarkan perai-perai keharuman.” Ibu itu bunga dan sungai. Kita dibetahkan dalam umpama atau ibarat. Ibu memang pusat ibarat atau muara umpama. Sindhunata dalam Anak Bajang Mengayun Bulan (2022) sanggup melenakan pembaca untuk mengenali dan menghormati ibu.

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (41): Nihâyatus Sûl dan Sikap Obyektif Al-Isnawî

Orang terbiasa menikmati epos dan mitos lazim menemukan keajaiban-keajaiban. Ibu bukan sosok biasa. Tokoh jarang dihadirkan dengan deskripsi dan narasi sederhana. Ratusan atau ribuan kata tergunakan memuji ibu. Kalimat-kalimat mengenai ibu melampaui pengertian-pengertian ragawi atau tampak mata. Jagat batin pun dikalimatkan memberi pikat. Di epos Mahabharata dan Ramayana, kita mungkin betah atau pantang jemu bila menghadapi kata-kata untuk ibu. Sindhunata dalam pergumulan Jawa-Katolik makin memberi bobot dengan kemahiran bahasa.

Di majalah Utusan edisi Mei 2022, Sindhunata mengenang masa bocah dan remaja memiliki kesungguhan dan kegirangan belajar bahasa. Ia mengaku bukan murid pintar. Ia sekadar menuruti hasrat belajar bahasa dan menggerakkan bahasa. Masa demi masa, bahasa digunakan untuk menulis selaku wartawan dan pengarang. Kita tetap terpesona menikmati bahasa Sindhunata berumur 70 tahun dengan penerbitan Anak Bajang Mengayun Bulan. Ia tak sekadar tukang cerita.

Sindhunata menjuluki diri carik. Kita mengangguk tapi berhak memberi predikat tukang cerita. Ia hidup dalam beragam cerita: lisan dan tulisan. Mitos dan epos dimengerti dalam ketegangan bahasa (lisan dan tulisan). Sindhunata berbekal iman, filsafat, kejawaan, dan kesusastraan sanggup mengolah kehadiran bahasa untuk “memiliki” dan mengisahkan (ulang) cerita-cerita menginduk dalam epos-epos digandrungi jutaan orang, sejak ratusan tahun silam.

Kita mungkin bisa berpikiran sejenak mengacu penjelasan Walter Benjamin untuk mengerti peran Sindhunata. Di majalah Horison edisi Oktober 1992, kita membaca renungan filosof asal Jerman: “Tanda terawal dari sebuah proses yang berakhir pada keruntuhan cerita adalah berkembangnya novel pada permulaan zaman modern. Apa yang membedakan novel dengan cerita (epik dalam arti sempit) adalah ketergantungan hakiki pada buku.” Sindhunata tak berada di atas panggung. Ia bukan berperan sebagai dalang di pementasan. Ia menggunakan bahasa menghasilkan tulisan diterbitkan menjadi buku. Sekian orang menamakan itu novel. Sindhunata menulis dari acuan-acuan epos ternikmati lisan dan tulisan.

Baca juga:  Pluralisme Tanpa Kehendak Bersama

Kita berlanjut ke sosok ibu diceritakan Sindhunata. Ibu memiliki dua anak bernama Sumantri dan Sukrosono. Perpisahan lama dengan Sukrosono sebagai anak bajang terbuang. Di hutan, Sukrosono mendapat pengasuhan dan perlindungan dari binatang-binatang. Kita mengutip: “Dalam hati, Dewi Sokawati berkata: “Ternyata alam dengan binatang dan tumbuhannya bisa melindungi kehidupan dan menjadi teman bagi anaknya yang terbuang. Alam tak pernah membuang, malah memelihara siapa yang disingkirkan oleh manusia yang kejam.” Ibu insaf atas kesalahan. Ia berterima kasih kepada alam: mengasuh dan membentuk Sukrosono mengalami hari-hari tanpa sosok ibu.

Di epos-epos, alam itu molek dan menghidupi. Alam pun memberi siksa dan nestapa bila manusia bertindak salah, jahat, dan serakah. Sindhunata berpijak pembahasaan alam telah didahului para kawi, pujangga, atau tukang cerita masa lalu. Pengisahan alam susah khatam. Kalimat demi kalimat sulit sanggup menamatkan maksud atau sampai puncak makna. Halaman-halaman dalam Anak Bajang Mengayun Bulan terus menakjubkan bagi pembaca saat merasakan dan memikirkan alam. Sindhunata membuktikan kepekaan dan kesabaran menuliskan alam meski ada keberulangan. Kita membaca perlahan, merasakan pengalaman berada dalam cerita. Kita teringat pembahasan Zoetmulder dalam buku berjudul Kalangwan (1983). Di kesusastraan Jawa kuno, alam terceritakan menimbulkan puja dan pemuliaan.

Sindhunata menjadi ahli waris dalam pengisahan memukau. Pada suatu hari, Sukrosono meninggalkan hutan, menempuhi perjalanan nasib. Sindhunata menulis: “Atas semua anugerah alam itu, Sukrosono tak mempunyai kata-kata lain kecuali berterima kasih. Untuk menunjukkan rasa terima kasihnya, ia lalu bersujud kepada alam. Ia membungkukkan dirinya dalam-dalam. Selama ini tak pernah ia merasa bahwa alam telah memberikan diri dan meresapkan diri ke dalam dirinya. Sekarang dalam sujudnya ia benar-benar merasa, kekayaan alam itu memang sungguh ada di dalam dirinya. Kekayaan tetumbuhan, kekuatan binatang-binatang, kemerduan burung-burung, keindahan bunga-bunga, semua sungguh hidup dan ada dalam dirinya. Dan mereka semua itu bukan benda mati atau tak bernyawa. Mereka semua mempunyai nyawa. Nyawa itu yang membuat mereka hidup, ada dan berkembang.” Cara mengisahkan alam oleh Sindhunata mungkin melelahkan bagi pengarang-pengarang abad XXI makin kehilangan dan berjarak dengan alam sebagai pusat-cerita.

Baca juga:  Kemanusiaan dan Keadilan terhadap Eksistensi Perempuan

Sukrosono dalam perjalanan nasib makin terpikat alam. Kita mengikuti perjalanan Sukrosono dan peristiwa-peristiwa mengharukan. Pada suatu hari, ia ingin memindahkan Taman Sriwedari ke Maespati. Perbuatan penuh keajaiban. Pembahasaan Sindhunata membuat pembaca terpana menikmati Taman Sriwedari melalui tatapan Sukrosono: “Bunga-bunga merajuk, agar sinar matahari pagi tak terlambat lagi untuk segera membelainya. Tetes-tetes embun masih menyisa di helai-helai bunga, memercik bagaikan mata-mata cintamani. Di pohon-pohon, daun-daun mendesirkan sunyi, ditiup perlahannya angin pagi….”

Anak Bajang Mengayun Bulan itu buku tebal dan mahal. Kita mengerti ada keinginan Sindhunata “memanjakan” pembaca dalam membahasakan atau mengisahkan alam, selain mengundang keharuan saat bercerita anak dan ibu. Begitu.

 

Judul           : Anak Bajang Mengayun Bulan

Penulis        : Sindhunata

Penerbit      : Gramedia Pustaka Utama

Cetak          : 2022

Tebal          : 556 halaman

ISBN           : 978 602 06 5603 8

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top