Kekayaan naskah kuno di Banyuwangi seakan tak pernah ada habisnya. Semakin dicari, semakin banyak yang bermunculan. Baik yang ada di tangan masyarakat, maupun yang ada di pesantren. Seperti halnya Pesantren Cemoro, di Desa Balak, Kecamatan Songgon.
Pesantren tersebut merupakan salah satu pesantren tua di Banyuwangi. Didirikan oleh KH. Abdullah Faqih (1878 – 1952) sepulangnya dari Mekkah pada 1911, namun baru mendapat legalitas dari Pemerintah Kolonial Belanda pada 17 Agustus 1917. Usianya yang lebih dari satu abad tentu saja berpotensi menyimpan naskah kuno. Keyakinan ini, begitu kuat di benak penulis.
Pada medio 2017, penulis bersama Komunitas Pegon berkunjung ke sana. Kami disuguhi empat kardus berukuran sedang yang berisi kitab-kitab kuno. Bentuknya sudah lusuh, berdebu dan tak sedikit yang sudah dimakan serangga. Kebanyakan berupa kitab cetak. Namun, juga ada yang berupa naskah.
Salah satu naskah tulis tangan yang ditemukan adalah Minhajud Dawin Nadlar fi Syarah Mandlumah Ilmu Atsar. Sebuah kitab syarah ilmu hadits yang ditulis oleh Syekh Mahfudz at-Turmusy atas kitab Mandlumah Ilmu Atsar yang dianggit oleh Imam Suyuthi. Kitab terakhir ini, lebih dikenal dengan julukan Alfiyah as-Suyuthi karena bentuknya berupa nazam (puisi) yang terdiri lebih dari seribu bait.
Naskah tersebut, besar kemungkinan disalin sendiri oleh Kiai Faqih. Mengingat beliau merupakan salah seorang muridnya ketika mukim di Mekkah (1904-1911). Hal ini diperkuat dengan stempel yang bertuliskan Abdullah [Faqih] bin Umar [Mangunrono] pada bagian depan. Sayangnya, tak ada kolofon yang memuat informasi lebih dari teks tersebut.
Penemuan naskah tersebut, berkumpul dengan sejumlah kitab cetak lainnya. Seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Jami’ Turmudzi, Ihya Ulumuddin, beragam kitab fiqih, serta karya-karya ulama Nusantara yang hidup semasanya. Salah satunya adalah karya Syekh Nahrawi Banyumas yang teramat langka.
Karya Syekh Nahrawi yang ditemukan itu berjudul lengkap “Taqliq ala Risalah Al-Alamah Maulana As-Sayyid Ahmad ibn Zaini Dahlan Mufti Syafiiyah Sabiqan bi Makkah wa Roisu Ulama’ihaa fil Isti’arati lil Aalam al-Fadlil as-Syekh Ahmad Nahrawi Al-Banumasi al-Jawi al-Maki.”
Dalam buku “Mahakarya Islam Nusantara”, Ahmad Ginanjar Syaban mengakui bahwa kiprah Syekh Nahrawi banyak yang tak terlacak, termasuk soal karyanya. Maka, karya yang diterbitkan oleh percetakan Tarraqi Al-Majidiyah di Mekkah ini, bisa dikategorikan kitab langka.
Kekayaan Pesantren Cemoro ternyata tak berhenti di sana. Ada tiga kardus lagi yang belum sempat diperiksa oleh penulis. Baru pada Oktober 2019 ini, kami berkesempatan lagi. Ternyata, di tiga kardus terakhir ini, tersimpan naskah-naskah kuno yang tak lagi ditemukan di dunia pesantren saat ini. Yakni, naskah yang berupa kasusastraan Jawa-Islam kuno.
Ada enam naskah yang ditemukannya. Pertama, adalah Babad Rengganis. Naskah ini cukup lengkap. Bagian sampul dan lembar awal masih ada. Namun, bagian akhir yang sudah rusak. Naskah yang disalin pada kertas daluwang ini, diawali dengan sebuah kolofon yang belum teridentifikasi secara tepat oleh penulis. Demikian tulisnya:
“Purwaning sastra wonten arba’ kathik ping saptu ing sa’ba(n?) nuju sasine, wolu likur mangsa tanggal ngidere, waras ehe ingkang lumastu, suci gurda resi cindera.”
Pada bagian atas sebenarnya terdapat petunjuk tahun berupa angka; 1764 pada bagian atas dan 1294 di bagian bawah. Besar kemungkinan yang atas adalah kalender Jawa, sedangkan yang bawah merupakan kalender Hijriyah. Jika dikonversi ke Masehi, diperkirakan pada paruh pertama abad 19 (1800-1850).
Naskah yang berupa tembang ini, ditulis dalam aksara Pegon dan berbahasa Jawa Kuno. Isinya mengisahkan seorang bangsawan muslimah bernama Ratu Rengganis yang hidup pada masa Majapahit akhir. Ia tinggal di Gunung Argopuro, Probolinggo, Jawa Timur.
Naskah kedua yang ditemukan bermedium kertas daluwang. Bagian awal dan akhirnya tak ada. Kolofonnya pun tak ditemukan. Dari ciri fisiknya, sepertinya lebih tua dari naskah yang pertama. Di dalamnya menceritakan tokoh bernama Raden Arjuna dan seorang putri bernama Citrawati.
Dalam bagian awal, Citrawati digambarkan sosok perempuan mulia, berilmu dan cantik jelita. Ia juga berani menolak lamaran seorang prabu yang membawa emas, perak, aneka perhiasan dan hewan peliharaan.
“Pan kaliwat ayunira // lan landepira samunira // lan kalimat ilmunipun // anging tanarsa asrama // Prabu Masara anglamar sami da tinulak sedaya // tan tingali gegawane // saking emas lan selaka // kinarya warna ing hewan // suco inten mutiara yaqut // wonten asangkeb negoro.”
Begitu juga dengan sosok Raden Arjuna. Ia digambarkan sebagai pria yang rupawan dan kuat.
“tumingal Raden Arjuna // tatkala turu ing bengi // kaliwat bagusing rupa // tan ana tumindangan // lan kalimat jayanipun // yen sampun injang angundang.”
Sedangkan naskah ketiga berisi kisah Pandawa. Namun, bukan sebagaimana dalam pewayangan yang umum dikenal. Pandawa ini, dikisahkan penuh dengan unsur-unsur keislaman.
Naskah ini ditulis pada kertas Eropa berjilid. Alat tulisnya menggunakan spidol dan bolpoint. Usianya relatif lebih muda. Pada bagian awal terdapat kolofon yang belum sepenuhnya penulis pahami.
“mumulan ingsun anulis ing wulan Rebahul Akhir // ….. puluh likur dadina nipun // ari atar pancara kliwon ehe // tampan wuku wayang iku // ejamipun pukul duwa siang.”
Besar dugaan penulis, naskah ini berasal dari Madura. Selain dari tata cara penulisannya yang mirip dengan beberapa teks dari Madura lainnya, penggunaan pupuh Artati juga identik dengan khazanah pulau garam itu. Dalam spektrum lagu di Jawa, Artati sama dengan pupuh Dandhanggula.
Naskah berikutnya berkisah tentang Putri Koneng (Putri Kuning) dari Sumenep, Madura. Dikisahkan, Putri Koneng adalah sosok perempuan jelita, berkulit kuning, dan berasal dari Cina. Ia dipersunting oleh Raja Sumenep bernama Panembahan Sumono atau Tumenggung Arya Noto Kusumo. Kisah ini berlatar pada abad 18 M.
Naskah yang berjumlah 118 halaman ini, lebih muda usianya. Media yang digunakannya sudah berupa buku bergaris. Pada bagian akhir, penyalinnya menulis waktu selesai penulisan:
“Sampun tumandang ing bulan Rabiul Akhir tanggalipun rung likur, dinten rabu, kira-kira jamipun sepuluh siang, wukune matal, pancabara kliwon. Sapunika atur kulo, menawi wonten kelepatan kulo, nyuwun sepunten. Sebapipun serat kulo luweh ala.”
Sedangkan naskah kelima dan keenam yang baru ditemukan itu berjudul Carita Pandita Rahmat. Naskah berbahasa Jawa Kuno dan menggunakan aksara Pegon itu, ditulis dalam kertas Eropa yang telah berbentuk jilidan buku.
Pada bagian awal, terdapat kolofon yang berbunyi demikian:
“Isun amimit anulis // ing dina senin punika // Pon niku pasarane // ing wulan Jumadil Awal // tanggal kaping enem belas // ngaleresi tahun wahu…”
(Saya memulai menulis pada hari Senin Pon, 16 Jumadil Awal, Tahun Wawu)
Naskah yang berkisah tentang seorang ulama bernama Rahmat itu, kemudian disalin ulang. Penyalinnya seorang dari Dasuk, Sumenep, Madura yang bernama Buasram. Naskah salinan tersebut dimulai pada 28 Februari 1972 dan selesai pada Selasa Pahing, 14 Maret 1972. Hanya dua pekan saja.
Buasram di halaman awal menuliskan pesan berbahasa Madura beraksara Latin. Nadanya penuh dengan ketawadluan.
“Badan kaula ngaberi oneng da’ sadadja manabi bada se’ korang dari tolesan atabe bada se sala dari tolesan. Walau aksarana kurang bagus. Tak langkong badan kaule anju’ona maaf lantaran gi’ adjar noles tjara Arab.”
[Saya memberi kabar ke semuanya, jikalau ada yang kurang atau ada yang salah dari tulisan saya ini. Meski tulisannya kurang bagus. Oleh karena itu, saya meminta maaf. Karena saya masih baru belajar menulis cara Arab].*
Temuan naskah-naskah yang berupa tembang di Pesantren Cemoro ini, menarik. Ini bisa menjadi jembatan penyambung antara kultur pesantren dan tradisi masyarakat.
Selama ini, muncul kesalahkaprahan di beberapa kalangan. Terutama di Banyuwangi sendiri. Tradisi menembang, seperti Mocoan Lontar Yusup, Mamaca Serat Mi’raj dan lainnya, tak lebih hanya laku kebudayaan belaka. Tentu, dengan segala ritual dan mistifikasinya. Hal tersebut tak pernah dianggap sebagai bagian dari dakwah keislaman.
Kalangan Pesantren pun demikian. Naskah-naskah berupa tembang itu, beranggapan hanyalah produk tradisi. Bukan bagian dari turats keagamaan yang sepatutnya dipelajari dan dilestarikan diinstitusi pendidikan keislaman tersebut.
Tak jarang, dua komunitas ini, terjebak pada kesalahpahaman akut. Tradisi mocoan dicampur dengan ritual mistik oleh kalangan non-pesantren, sedangkan para santri menggeneralisir jika semua praktik mocoan adalah bagian dari kemusyrikan.
Pemahaman demikian, muncul akibat ketakpahaman dan tak adanya jembatan. Para pegiat mocoan terkadang hanya terjebak pada ritualistik belaka. Tanpa adanya upaya untuk menggali lebih dalam hakikat dari naskah tersebut (hal ini biasanya terkendala bahasa pengantarnya yang berupa Jawa Kuno). Begitu juga dengan kalangan pesantren yang tercerabut dari akar kesejarahannya. Menganggap bahwa teks keislaman hanyalah teks fiqih, nadzam, dan sejenisnya saja.
Padahal, kasusastraan Jawa-Islam yang berupa tembang seperti Lontar Yusup, Serat Mi’raj, Rengganis, Carita Pandita Rahmat dan lain sebagainya itu, lahir dari rahim pesantren. Nama-nama pujangga Jawa seperti Ronggowarsito, Yosodipuro dan lainnya itu adalah santri. Sebelum kemudian karya-karya kesusastraan mereka diklaim sebagai bagian dari keraton.
Maka, penemuan sejumlah naskah berupa tembang di Pesantren Cemoro ini, menjadi sebuah titik temu penting antara dua entitas yang selama ini berdiri masing-masing. Penemuan ini menjadi bukti otentik bahwa antara tradisi mocoan (tembang) dan pesantren pernah berada pada titik yang sama.
Oleh karena itu, tradisi tembang bukanlah tradisi yang berdiri sendiri. Terlepas dari bagian dakwah keislaman. Sehingga keterlibatan pesantren di dalamnya tak perlu lagi dianggap virus yang bakal mendistorsi keluhuran tradisi.
Begitu pula kalangan pesantren tak boleh lagi abai. Tradisi tembang adalah khazanah keislaman yang terwariskan sejak masa Walisongo. Sehingga sudah sepatutnya untuk mulai turut serta melestarikannya.