Sedang Membaca
Melihat Engels dari Sudut Pandang Keislaman
Aan Afriangga
Penulis Kolom

mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi, Peminatan Jurnalistik, dan Ketua Umum Ikatan Keluarga Mahasiswa Islam (2019-2020) di Universitas Mpu Tantular, Jakarta.

Melihat Engels dari Sudut Pandang Keislaman

Cover Depan Friedrich Engels (2020) Aan Afriangga

Kali pertama membuka daftar isi buku ini, ada hal membuat saya mengernyitkan dahi. Hal itu adalah pembahasan mengenai pemikiran, kepribadian, dan kiprah Engels, yang dikaitkannya dengan diskursus Islam oleh salah satu penulis tersebut, Dede Mulyanto, bertajuk Empat Kelumit tentang Engels: Cerita tentang Kumis, Ibunda, Bahasa, dan Islam.

Dituliskan, Engels sempat mempelajari urusan Dunia Timur, kesulitannya saat mempelajari bahasa Arab, bahkan dugaan penulis mengatakan bahwa Engels (pernah atau mungkin) membaca terjemahan Al-Qur’an, namun dalam bahasa Jerman. Membuat saya, seperti halnya tadi: mengernyitkan dahi.

Mengapa saya mengernyitkan dahi? Sebab, di Indonesia sendiri (bahkan dunia), nama Engels (dan Marx) dikenang sebagai penggagas utama komunisme. Yang bagi kebanyakan orang Indonesia, anti-agama. Maka, jelas begitu sensitif terdengar bagi kalangan umat muslim konservatif, terutama sewaktu Soeharto berkuasa. Lantaran juga, kiprah Partai Komunis Indonesia (PKI) sewaktu itu diproyeksikan rezim Orde Baru begitu bringas dan sarat stigma (negatif). Bahkan, indoktrinisasinya (terkait bahaya latennya pun), masih sering kita lihat di berbagai ruang publik. Juga, digaung-gaungkan mereka yang memiliki kepentingan terselubung, jelang peringatan G30S PKI.

Alhasil, saya pun berkesimpulan sementara, bahwa si penulis hendak menyingkap tabir yang selama ini—barangkali diangkap sakral atau sarat sentimentalitas bagi kebanyakan orang. Khususnya di Indonesia.

Masih tentang pembahasan pemikiran, kepribadian, dan kiprah Engels. Pada bagian awal, Mas Dede memulai pembahasan ringkasnya mengenai perjalanan hidup Engels yang memilih berada di jalan pedang (meminjam istilah penulis). Maksud dari jalan pedang, adalah jalan penuh marabahaya. Yang menurut ayah dan ibunya juga, sangat bersebrangan dengan impian mereka—jauh panggang dari api.

Baca juga:  Semaoen dan Novel "Agamanya"

Engels dilihat Mas Dede sebagai seorang yang supel, berani, dan sangat peduli dengan lingkungan sekitarnya. Terlebih, Engels sering kali melihat kondisi sangat memprihatinkan. Yang terjadi di kalangan para pekerja, di perusahaan industri tekstil milik ayahnya. Dan dari keprihatinannya itu, Engels sampai menerbitkan Kondisi Kelas Pekerja di Inggris (1845), yang digambarkan olehnya, sebagai situasi kehidupan yang sangat jauh dari standar kelayakan.

Sampai-sampai, Engels sampai menulis begini: “… inilah tampakan luar lembah Wuppertal yang secara umum—terlepas dari jalan-jalan Elberfeld yang suram—memberi kesan amat menyenangkan. Tetapi, kota itu telah kehilangan jiwa penghuninya. Tidak ada jejak-jejak kehidupan sehat sentosa seperti keadaan orang-orang di kebanyakan wilayah Jerman. Memang benar, pada pandangan pertama yang tampak sebaliknya, karena setiap malam Anda bisa dengar kelompok-kelompok sekawan yang ceria berjalan bergandengan tangan sembari menyenandungkan lagu-lagu mereka. Tapi, lagu-lagunya itu lagu paling carut rampus (vulgar, obsence) yang keluar dari mulut orang mabuk.

Tak pernah kita dengar lagu-lagu rakyat yang populer seantero Jerman dan lagu-lagu yang layak kita kagumi. Semua kedai bir penuh hingga meluap (oleh orang-orang ini), terutama akhir pekan, dan tatkala kedai tutup sekitar pukul sebelas malam, para pemabuk berhamburan dan biasanya tertidur lantaran terlalu mabuk di tepi selokan. Yang paling terdegradasi dari orang-orang ini ialah mereka yang dikenal sebagai karrenbinder (pekerja kasar), golongan yang betul-betul kehilangan moral, tanpa tempat tinggal tetap atau pekerjaan jelas, yang merangkak dari tempat berlindungnya di balik tumpukan jerami, kandang kuda, dan sebagainya. Saat fajar tiba, itu pun jika mereka tidak habiskan malam di tumpukan kotoran ternak atau di tangga depan rumah orang lain.” (hlm 184-185)

Baca juga:  Sabilus Salikin (7): Tarekat, Cara Mengamalkan Syariah

Karena sering berhadapan langsung dengan kehidupan para pekerja di tempatnya. Hal tersebut membuat Engels banting stir untuk membebaskan mereka dari jerat yang membelenggu dan mengikat itu. Ketimbang, mengaminkan impian ayahnya guna meneruskan bisnis keluarganya. Yang sudah dirintis sejak zaman kakeknya di abad ke-18.

Sekilas, bila melihat upaya Engels dari sudut pandang keislaman. Agaknya Nabi Muhammad SAW sendiri pun, sering kali melakukan hal serupa. Namun perbedaannya, Nabi Muhammad SAW membebaskan para budak. Sedangkan Engels (dan Marx), membebaskan para pekerja.

Nabi Muhammad SAW memperlakukan para budak tidak sewenang-wenang, mencukupi kebutuhannya, bahkan sampai mengawinkannya. Sedangkan Engels (dan Marx), mendidik para pekerja, supaya mereka (segera) sadar akan kondisinya yang sangat memprihatinkan.

Engels memanglah bukan seorang Muslim. Tapi, dari tindakannya itu, mengingatkan kita pada umat Muslim sewaktu kekhalifahan Nabi Muhammad SAW tengah berlangsung. Yang menentang adanya penindasan dan kesewenang-wenangan. Bahkan, Engels sampai melihat manusia yang seharusnya dihargai hak asasinya, tercerabut sampai ke akar-akarnya. Akibat perilaku pihak perusahaan tersebut, yang seperti tidak peduli terhadap kondisi hidup para pekerjanya.

Semasa Indonesia belum merdeka. Kita melihat tokoh besar yang juga sempat memadukan antara ajaran Islam dengan Sosialisme (ideologi yang tujuannya kurang lebih sama dengan komunisme, namun berbeda cara), yakni Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Bagi Tjokro sendiri, sebagaimana termaktub dalam H.O.S Tjokroaminoto: Teladan Perjuangan, Kepemimpinan, dan Kesederhanaan (2020), prinsip dan nilai dasar sosialisme adalah kemerdekaan, kesamaan, dan persaudaraan.

Nilai-nilai tersebut, menurutnya, sudah dilaksanakan secara konkret pada masa Rasullah SAW dan para sahabatnya masih hidup. Tjokro juga berkata: “… bagi kita orang Islam, tidak ada sosialisme atau rupa-rupa isme yang lebih baik, yang lebih elok dan mulia, melainkan sosialisme yang berdasar Islam.” (hlm 124)

Baca juga:  Sabilus Salikin (105): Macam-macam Zikir Tarekat Histiyah (3)

Artinya, kendati Tjokro tidak sepenuhnya mengaminkan hal dimaksudkan Engels (dan Marx). Lantaran menurutnya, ajaran tersebut menegasikan hal-hal gaib (barangkali, maksudnya Tjokro adalah eksistensi Tuhan). Tapi Tjokro, tetap mengadopsi sebagian pemikirannya,  lantas memadukannya dengan ajaran Islam itu sendiri. Mungkin bisa dianggap berbeda cara. Tetapi, bukankah tujuan akhirnya tetap sama? Membebaskan kaum tertindas dari mereka yang menindas?

Dalam buku ini, terdiri 9 Bab. Masing-masing Bab, ditulis oleh penulis yang berlatar  belakang berbeda. Tema-tema yang disuguhkan, juga tidak melulu seputar kapitalisme, ekologis, atau sejenis. Tetapi, berhubung buku ini bertepatan dengan peringatan 200 tahun kelahirannya. Maka, para penulis dalam buku ini hendak menyajikan tema-tema baru yang lebih segar.

Semisal, terdapat kajian komprehensif tentang agama damai Buddhisme dan kekerasan politik yang terjadi di Sri Lanka. Membahas tentang betapa besarnya pengaruh nilai-nilai spiritual (dalam bahasa sehari-hari, kita mengenalnya dengan sebutan wejangan), yang jika ditanamkan pada seseorang secara tulus, tentu akan memengaruhi keputusannya, sebelum ia hendak melakukan sesuatu.

Jadi, jika para pembaca membaca buku ini. Niscaya akan menelusuri, dan mungkin menemukan hal-hal baru. Selain pembahasan, yang sudah saya sebutkan sebelumnya. [*]

Judul Buku: Friedrich Engels: Pemikiran dan Kritik

Editor: Dede Mulyanto & Fuad Abdulgani

Penerbit: Ultimus Bandung

Tebal Buku: xii + 204 hlm; 14,5 x 20,5 cm

Tahun Terbit: November, 2020

ISBN: 978-602-8331-65-4

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top